maaf email atau password anda salah


Kekerasan Berulang di Ruang Tahanan

Penyiksaan untuk mengorek pengakuan masih terjadi di kepolisian. Tewasnya Dul Kosim adalah fenomena gunung es kultur kekerasan.

 

arsip tempo : 171478195326.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 171478195326.

Dari waktu ke waktu, tindakan kepolisian semakin sewenang-wenang. Tidak lagi menjadi pengayom dan penjaga keamanan seperti diamanatkan undang-undang, perilaku anggota institusi ini belum lepas dari kultur kekerasan. Metode penyiksaan untuk mengorek pengakuan dalam pemeriksaan mengindikasikan reformasi kepolisian hanyalah slogan.

Tewasnya Dul Kosim, 38 tahun, di tangan polisi membuktikan bahwa perilaku biadab itu masih terjadi. Polisi menuduh Dul Kosim sebagai kurir narkoba. Selama interogasi, ia mendapat siksaan. Pukulan berkali-kali menghunjam wajahnya. Begitu pula tendangan dan sundutan rokok di sekujur tubuhnya.

Ia tewas keesokan harinya setelah sempat disekap di sebuah posko di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Yang mengenaskan, polisi membuang mayat Dul di tepi jurang di Jalan Raya Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Mereka kemudian merekayasa kematian itu seolah-olah kecelakaan.

Hasil autopsi menunjukkan sebaliknya. Dul mengalami perdarahan di usus halus, pembendungan darah di paru-paru dan otak, tulang iga patah, otot jantung robek, serta memar pada permukaan otak besar. Kasus ini menyeret delapan polisi anggota Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Mereka dijerat dengan pasal berlapis: pembunuhan biasa dan berencana. Perkara ini disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.  

Cara-cara polisi menginterogasi untuk mengorek pengakuan Dul menabrak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Undang-Undang Polri. Polisi kerap menghalalkan segala cara demi mendapat pengakuan. Padahal dalam KUHAP disebutkan bahwa pengakuan tersangka bukan variabel utama dalam mengungkap sebuah kasus.

Yang lebih penting adalah alat bukti, keterangan saksi, serta dokumen pendukung lainnya. Dalam menyidik, polisi juga harus menghormati asas praduga tak bersalah—termasuk membuka askes bantuan hukum. Ini untuk menghindari kasus kriminalisasi dan salah tangkap.  

Karena itu, polisi mesti didukung bantuan teknis untuk memperoleh pembuktian secara ilmiah. Bantuan teknis itu antara lain laboratorium forensik, identifikasi, kedokteran forensik, psikologi forensik, serta digital forensik. Dengan begitu, penyidik tidak bergantung hanya pada pengakuan tersangka atau calon tersangka. Selain untuk menghindari praktik kekerasan dan kasus salah tangkap, pembuktian secara ilmiah membuat kerja kepolisian menjadi lebih profesional.

Kasus yang terjadi pada Dul Kosim merupakan fenomena gunung es dari budaya kekerasan di institusi kepolisian. Imparsial mencatat terjadi 32 kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian selama 2023. Jumlah kasus itu baru sebatas yang pernah diliput media. Wajah buruk kepolisian juga tergambar dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Selama 2019-2022, Kontras menemukan 27 dugaan rekayasa kasus oleh kepolisian, yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. 

Kekerasan yang berulang terjadi karena aspek kultural. Personel kepolisian belum memahami prinsip-prinsip HAM dalam kerja kepolisian. Mereka bahkan cenderung saling melindungi jika terjadi praktik penyiksaan dalam penyelidikan dan penyidikan.

Ketiadaan lembaga pengawas independen yang bisa menindak aparat kepolisian yang terindikasi menyiksa turut berkontribusi terhadap langgengnya budaya kekerasan. Selama ini Polri hanya mengandalkan Divisi Profesi dan Pengamanan. Dampaknya, tak jarang mereka yang terlibat kekerasan hanya dikenai sanksi ringan dan berpotensi mengulangi perbuatannya. Hanya segelintir yang berlanjut sampai proses persidangan.

Polisi harus mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap saksi ataupun calon tersangka dalam pemeriksaan—meskipun orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan. Kultur kekerasan akan semakin menjauhkan polisi dari wajah yang profesional serta mengubur reformasi kepolisian yang dicita-citakan lebih dari dua dekade silam. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan