maaf email atau password anda salah


Duri Demokrasi Pencalonan Gibran

Putusan DKPP menguatkan pencalonan putra Presiden Joko Widodo itu bermasalah sejak awal. Pemilu kehilangan legitimasi.

arsip tempo : 171461601134.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171461601134.

GIBRAN Rakabuming Raka benar-benar menjadi duri dalam demokrasi. Setelah putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden cacat etik. Pencalonan putra Presiden Joko Widodo itu sebagai pendamping Prabowo Subianto ini membuat Pemilihan Umum 2024 kehilangan legitimasi.

Putusan yang dibacakan DKPP pada Senin, 5 Februari 2024, menyatakan pemimpin KPU terbukti melanggar etik. Putusan itu merupakan buntut kelalaian KPU yang meloloskan pencalonan Gibran tanpa lebih dulu berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Respons pemimpin KPU ketika itu hanya mensosialisasi putusan MK kepada para pemimpin partai politik tanpa lebih dulu membuat aturan turunan PKPU.

Dengan adanya putusan MK tersebut, Gibran memenuhi syarat menjadi calon presiden. Majelis hakim konstitusi yang dipimpin Anwar Usman, paman Gibran, menambahkan ketentuan "pernah terpilih dalam pemilihan kepala daerah" dalam pasal tentang syarat calon presiden dan wakil presiden Undang-Undang Pemilihan Umum. Kendati usianya belum memenuhi syarat, dengan tambahan ketentuan itu, Wali Kota Solo yang baru menjabat dua tahun tersebut melenggang menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2024.

Belakangan, putusan MKMK menilai perubahan Pasal 169 huruf q yang meloloskan Gibran tersebut cacat formil. Majelis Kehormatan menilai para hakim konstitusi yang menguji pasal itu melanggar etik dan memiliki konflik kepentingan. Buntut pelanggaran etik tersebut adalah pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Dia dinyatakan terbukti mempengaruhi hakim lain agar setuju dengan frasa tambahan dalam pasal tersebut. Putusan DKPP menjadi bukti baru yang menguatkan skandal pencalonan Gibran. 

DKPP memberikan sanksi keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari. Enam komisioner lainnya diganjar sanksi peringatan. DKPP juga meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengawasi pelaksanaan putusan tersebut. Kendati implikasi terhadap pencalonan Gibran tidak ada, putusan DKPP ini bisa ditindaklanjuti oleh Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menjadi keputusan administratif dan hukum jika ada pihak yang mempersoalkan. Putusan DKPP ini juga bisa menjadi bukti bermasalahnya legitimasi pencalonan Prabowo-Gibran jika terjadi sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. 

Alih-alih memberi ruang pengaduan publik, Bawaslu terkesan "menutup pintu" dengan buru-buru menyatakan putusan DKPP itu tidak cacat hukum sehingga tak mempengaruhi pencalonan Gibran. Ada kesan bahwa KPU dan Bawaslu tak netral. 

Untuk Ketua KPU, sanksi dari DKPP ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, ia mendapat sanksi peringatan karena bertemu dengan calon peserta pemilu dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi ihwal keterwakilan perempuan. Tiga kali mendapat sanksi pelanggaran etik berupa peringatan keras terakhir, Hasyim Asy'ari sudah sepatutnya dipecat. Tak ada jaminan dia tidak melanggar etik lainnya yang bisa menguntungkan pasangan calon tertentu. Karena itu, kredibilitas Pemilu 2024 dipertaruhkan.

Pada akhirnya, rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih pada 14 Februari 2024 yang menentukan. Agar demokrasi di negeri ini tidak koyak, pasangan bermasalah karena pencalonannya cacat etika dan cacat hukum sudah selayaknya tak menjadi pilihan.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan