Penetapan label teroris untuk kelompok bersenjata di Papua tak akan menyelesaikan masalah. Selain melanggengkan pendekatan represif yang terbukti bertahun-tahun tak membuahkan hasil, cap terorisme untuk kelompok yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu bisa-bisa malah menjauhkan semua pihak dari upaya penyelesaian politik yang bermartabat.
Rencana menempatkan sayap bersenjata OPM dalam daftar kelompok teroris di Indonesia pertama kali disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 22 Maret lalu. Menurut Boy, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, gerakan bersenjata di Papua memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai terorisme. Usul tersebut langsung mendapat dukungan dari sejumlah anggota DPR dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Gagasan itu jelas keliru besar. Ada banyak konsekuensi negatif yang akan terjadi jika ide itu disetujui. Lontaran Boy juga mencerminkan ketidakpahaman banyak petinggi pemerintah perihal sejarah konflik dan akar masalah di Papua.
Pertama, menempatkan pasukan bersenjata OPM dalam daftar teroris mengirim sinyal yang keliru kepada khalayak di Papua. Kesan yang muncul adalah pemerintah Indonesia bersiap mengambil jalan konfrontatif dan menutup rapat-rapat pintu dialog. Pendekatan kekerasan yang kini mendominasi bakal berlanjut.
Kedua, rencana itu menunjukkan pemerintah tak sepenuhnya mengerti latar belakang perlawanan di Papua. Masalah paling mendasar di sana adalah banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sampai kini terkatung-katung penyelesaiannya. Karena itu, ketimbang sibuk memberi stigma teroris, pemerintah sebaiknya mengurai satu per satu persoalan di Papua dan Papua Barat serta mencoba mencari jalan penyelesaian yang memuaskan korban.
Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, sejak Februari 2018 sampai Maret 2021, setidaknya ada 49 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum di Papua. Pelakunya diduga aparat keamanan, dengan total 83 korban meninggal. Ini belum menghitung sejumlah pelanggaran HAM berat, sejak era Orde Baru hingga sekarang, yang sampai kini tak pernah berujung di meja hijau. Berbagai kerusuhan sosial dan perlawanan politik di Papua jelas dipicu oleh berbagai kasus pelanggaran HAM ini.
Bukan hanya itu. Beberapa kali pemerintah juga melakukan pelanggaran hak berekspresi orang Papua dan Papua Barat. Salah satunya adalah pembatasan akses serta pemblokiran Internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Agustus 2019. Dengan alasan meredam kabar bohong alias hoaks ketika kerusuhan meledak, pemblokiran itu terbukti tidak bisa meredam gejolak, dan kerusuhan justru meluas.
Sudah saatnya pemerintah meniru strategi Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika menjabat presiden (1999-2001), dia membuka ruang dialog yang setara antara pemerintah dan rakyat Papua untuk membahas berbagai isu penting dalam hubungan kedua belah pihak. Gus Dur mendengarkan aspirasi orang Papua dan mengabulkan banyak tuntutan krusial mereka soal pengakuan identitas, termasuk tentang pengibaran bendera Bintang Kejora.
Pada akhirnya, keadilan dan keterbukaan merupakan kunci penyelesaian persoalan di Papua dan Papua Barat. Untuk itu, pertama-tama pemerintah harus membangun kepercayaan orang Papua dan membuktikan kesungguhan dalam mencari solusi yang bermartabat. Menempatkan Tentara Pembebasan Nasional OPM sebagai teroris tak akan membantu upaya itu.
Editorial
Stigma Teroris buat Papua
Rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengkategorikan gerakan Papua merdeka sebagai kelompok teroris bisa memperkeruh keadaan di Papua. Menunjukkan ketidakpahaman pemerintah perihal akar masalah di sana.
Edisi, 25 Maret 2021

Tempo
