Tes kepegawaian karyawan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparat sipil negara (ASN) pada 9-10 Maret lalu sangat tidak profesional. Bukannya mencari tahu komitmen peserta terhadap pemberantasan korupsi, pertanyaan yang muncul terkesan lebih untuk menguji ketaatan mereka kepada atasan dan ideologi negara, serta mengukur sikap beragama yang dihubungkan dengan radikalisme.
Memang, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020, sebagai tindak lanjut dari revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Akan tetapi model tes yang diterapkan hanya menambahkan sisi negatif ke dalam proses yang sejak awal dinilai merupakan langkah sengaja untuk menghilangkan independensi lembaga antirasuah itu.
Tentu saja mencegah radikalisme di kalangan pegawai negara merupakan hal penting. Demikian pula wawasan kebangsaan yang menekankan pada moralitas ASN sebagai pelayan publik. Tapi seyogianya hal tersebut diupayakan melalui program-program yang membuka wawasan dan mendorong terbentuknya sikap mental yang baik.
Komitmen kebangsaan dan ketaatan seseorang terhadap ideologi Pancasila tidaklah cukup dipahami dengan sekadar memeriksa jawaban mereka dalam asesmen. Kita memiliki banyak pengalaman soal itu pada masa lalu. Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang berjenjang hingga ratusan jam, juga proses penelitian khusus (litsus) pada masa Orde Baru, terbukti tidak mampu menciptakan aparat negara yang antikorupsi dan antipenindasan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
KPK merupakan lembaga penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Keberhasilan lembaga ini sangat bergantung pada komitmen dan kompetensi para pegawainya. Ketimbang mengajukan pertanyaan verbal yang jawabannya bisa dibuat-buat agar sesuai dengan tujuan penanya, bukankah lebih baik jika tim penilai memelototi rekam jejak mereka selama bekerja di KPK?
Atau, jangan-jangan ujian tersebut memang sengaja dibuat untuk menjebak para pegawai KPK, yang beberapa waktu lalu diisukan oleh buzzer pendukung revisi UU KPK sebagai penyokong kelompok radikal. Sebagai contoh, ada pertanyaan yang membenturkan ideologi Pancasila dengan paham keagamaan kelompok Islam tertentu. Pada pertanyaan lain, mereka diminta berpendapat mengenai Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Ada juga pertanyaan yang mengkontradiksikan kesetiaan sebagai pegawai negeri dengan sikap kritis terhadap pemerintah.
Sejak pemerintah Joko Widodo mengesahkan perubahan UU KPK lebih dari setahun yang lalu, sejumlah capaian komisi antirasuah sebenarnya cukup membesarkan hati. Terakhir, mereka menangkap dua menteri yang diduga terlibat korupsi. Publik seolah-olah mendapat janji bahwa, meski kerja mereka jadi lebih sulit, mereka tetap independen dan komitmen untuk memberantas korupsi tidak surut.
Tapi sampai sejauh mana komitmen tersebut akan bertahan, setelah tes yang intimidatif, dan terlebih setelah mereka nanti akhirnya menjadi ASN? Sulit membayangkan para pegawai KPK dapat menjalankan tugasnya dengan baik, yakni menumpas para birokrat korup, jika sikap kritis dan korektif dipandang sama dengan tidak loyal.