PUTUSAN Pengadilan Tata Usaha Negara soal pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin tentang Tragedi Semanggi I dan II patut kita apresiasi. Hakim PTUN menetapkan bahwa kata-kata Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Januari lalu, yang menyatakan kedua peristiwa itu bukan pelanggaran berat hak asasi manusia, merupakan perbuatan melawan hukum. Majelis hakim pun mewajibkan dia meralat pernyataan ngawur itu dalam forum yang sama. Burhanuddin sebaiknya mematuhinya.
Berbagai fakta yang telah terungkap jelas memperlihatkan bahwa peristiwa Semanggi I dan II memenuhi kriteria pelanggaran berat HAM menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, yakni terjadi pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi sistematis.
Memang ada rekomendasi DPR periode 1999-2004 yang menyatakan bahwa kasus Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat HAM. Tapi siapa pun tahu itu keputusan politis yang jauh dari pertimbangan hukum. Dari sisi hukum, Komisi Penyidik Pelanggaran HAM Kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, yang menyelesaikan tugasnya pada 2002, sebaliknya menyimpulkan bahwa terjadi pelanggaran berat HAM pada kedua peristiwa tersebut.
Semanggi I, yang berlangsung pada 11-13 November 1998, merupakan gelombang protes massa menolak penunjukan Presiden B.J. Habibie serta menuntut penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata. Penyebutan Semanggi mengacu pada lokasi penembakan korban, yaitu kampus Atma Jaya, sekitar 200 meter di utara Jembatan Semanggi, Jakarta Selatan. Tentara dan polisi membangun barikade di sana untuk mencegah pengunjuk rasa bergerak ke gedung MPR/DPR di Senayan. Setidaknya 17 demonstran meninggal.
Kasus Semanggi II pada 24 September 1999 berbingkai sama: menuntut penghapusan peran sipil tentara. Sebanyak 11 demonstran tewas akibat tembakan membabi-buta dari truk tentara ke arah massa di Jalan Jenderal Sudirman. Salah satu korbannya adalah Yap Yun Hap, 21 tahun. Tim Pencari Fakta Independen menyebutkan rentetan penembakan tersebut terencana.
Penyangkalan Burhanuddin di hadapan Dewan bukan tanpa sengaja. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menyerahkan berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM Semanggi I dan II, juga Trisakti, kepada Kejaksaan Agung pada 2002. Sikap Burhanuddin konsisten dengan tindakan Kejaksaan yang mengabaikan laporan tersebut selama 18 tahun terakhir.
Karena itu, bagi publik, yang paling penting adalah sikap Presiden Joko Widodo terhadap kasus-kasus tersebut. Apakah pernyataan Jaksa Agung merupakan pendapat resmi pemerintahan Jokowi atau bukan? Kalau bukan, Jokowi semestinya menegur keras Burhanuddin dan memerintahkan dia untuk segera mulai menyidik kasus Semanggi I dan II serta kasus-kasus pelanggaran berat HAM lainnya.
Jika tidak, kita boleh menduga Presiden ikut menafikan pelanggaran berat hak asasi di Semanggi. Padahal banyak dari kita memilih Jokowi karena meyakini dia akan memperjuangkan hak asasi manusia dibanding pesaingnya, Prabowo Subianto, yang tersandung kasus penculikan aktivis pada 1998.