Masyarakat jangan berharap peraturan presiden mengenai supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menguatkan kembali lembaga tersebut. Peraturan yang terbit pada 20 Oktober lalu itu, sebaliknya, justru mengukuhkan posisi KPK sebagai lembaga hukum biasa di bawah rumpun kekuasaan eksekutif.
Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengkonfirmasi pandangan bahwa KPK telah ditaklukkan. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang kelahirannya diprotes masyarakat dengan unjuk rasa besar di mana-mana. Ia mengatur wewenang KPK dalam melakukan pengawasan, penelitian, dan penelaahan terhadap instansi yang menangani kasus korupsi. Selain itu, menetapkan tata cara pengambilalihan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian dan kejaksaan oleh KPK.
Penerbitan peraturan presiden ini merupakan kemunduran besar atas semangat reformasi. Kalau mengacu ke undang-undang lama yang terbit atas kemauan kuat untuk memberantas korupsi, KPK seharusnya merupakan lembaga independen. Ia tidak membutuhkan peraturan presiden untuk melakukan supervisi kasus korupsi. UU KPK yang baru mempreteli kemandirian tersebut.
Perubahan undang-undang membuat KPK seperti singa ompong. Tak tampak lagi etos kuat untuk memberantas korupsi seperti sebelumnya. Data terakhir Indonesia Corruption Watch menunjukkan, selama semester pertama 2020 KPK hanya menangani enam kasus korupsi baru. Padahal, pada periode yang sama setahun sebelumnya, lembaga ini menangani hingga 28 kasus baru.
Dalam hal operasional, KPK dilumpuhkan oleh keberadaan Dewan Pengawas yang ditunjuk oleh presiden. Undang-undang baru memberi Dewan kewenangan menjatuhkan keputusan terakhir dalam proses penanganan perkara, terutama untuk penyadapan dan operasi tangkap tangan. Padahal kedua kewenangan itulah yang selama ini menjadi andalan KPK dalam mengungkap kasus kakap.
Di sisi lain, Dewan tidak menjalankan fungsi pengawasan dengan baik. Ketua KPK Firli Bahuri, yang jelas-jelas melakukan pelanggaran etik bepergian dengan helikopter mewah, misalnya, hanya diberi peringatan tertulis. Firli, yang masih berstatus polisi aktif, sudah membuat banyak masalah, seperti bertemu dengan pihak yang sedang beperkara di KPK dan tidak melindungi pegawai yang disekap ketika akan melakukan penangkapan.
Pendirian KPK awalnya meniru Komisi Independen Anti-Korupsi (ICAC) di Hong Kong. Karakter utamanya adalah independensi. Dengan menjadi lembaga independen, KPK diharapkan menjadi seperti ICAC, yang mampu menangani berbagai kasus korupsi besar di semua lembaga negara. Tapi, sejak perubahan UU KPK, komisi antirasuah ini semakin jauh meninggalkan bentuk ideal tersebut.
Dan peraturan presiden yang baru diteken Jokowi menjadi bak prasasti kemenangan bagi kelompok yang sejak dulu hendak membunuh KPK. KPK kini sejajar dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, berada di bawah kendali politik kekuasaan.