Kenaikan tajam anggaran Badan Intelijen Negara (BIN) di era pemerintahan Joko Widodo seharusnya diimbangi dengan peningkatan akuntabilitas lembaga telik sandi itu. Tanpa rambu-rambu yang jelas dan pengawasan yang memadai, BIN rawan disalahgunakan untuk kepentingan penguasa ataupun kelompok politik yang dominan.
Sejak era Jokowi, anggaran untuk BIN naik terus secara drastis. Pada 2014, anggaran BIN hanya Rp 1,8 triliun. Dengan kenaikan tahunan rata-rata Rp 2 triliun, anggaran BIN pada 2021 menjadi Rp 9,2 triliun. Kenaikan anggaran BIN lebih cepat dari rata-rata kenaikan anggaran kementerian dan lembaga lainnya.
Pemerintah berdalih kenaikan anggaran itu, antara lain, digunakan untuk modernisasi peralatan, termasuk intelijen di ranah siber. Tapi, sejauh ini, dampak positif anggaran jumbo itu terhadap kinerja BIN belum terlihat, terutama bila ukurannya adalah peran lembaga intelijen di negara demokratis.
Dalam mengantisipasi serangan teroris, misalnya, kapasitas deteksi dini BIN masih sering kedodoran. Penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal Wiranto di alun-alun Menes, Pandeglang, Oktober tahun lalu, menjadi bukti nyata lemahnya kemampuan deteksi dini tersebut. Di luar itu, terjadi lebih dari 70 serangan teroris di Indonesia yang gagal diantisipasi aparat intelijen.
BIN memang secara rutin memasok informasi untuk “klien” utamanya: Presiden. Tapi akurasi informasi dari BIN kerap bermasalah. Laporan BIN juga masih sering berbasis asumsi yang keliru. Padahal, semua informasi intelijen seharusnya berbasis pada fakta dan minim asumsi.
Kelemahan lain yang mendasar adalah BIN kerap tak jelas mendefinisikan ancaman bagi keamanan negara. Akibatnya, sejumlah diskusi akademis tentang gejolak di Papua ataupun sejarah Partai Komunis Indonesia dibubarkan. Kritik atas kebijakan pemerintah pun dengan mudah dicap sebagai ancaman. Dalam konteks keamanan negara, BIN seharusnya lebih mewaspadai ancaman dari luar, bukan malah memata-matai warga negara di dalam negeri.
Celakanya, kontrol publik atas BIN lewat Dewan Perwakilan Rakyat—seperti lazimnya di negara demokratis—juga tak optimal. Dalih kerahasiaan intelijen kerap menjadi tameng untuk menghindari pengawasan atas anggaran dan operasi BIN. Padahal, tanpa kontrol, BIN rawan tergelincir menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Kegiatan intelijen memang tak bisa dipisahkan dari kerahasiaan. Tapi hal itu tak berarti BIN bisa lepas dari pertanggungjawaban. Di negara demokratis, lembaga intelijen harus bekerja dalam koridor hukum, menghargai prinsip universal hak asasi manusia, serta menjalankan tata kelola yang baik dan transparan. Semakin besar anggaran BIN, seharusnya semakin ketat pula audit atas penggunaan uang pembayar pajak itu.