Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) kembali membuat blunder. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih mengkhawatirkan, mereka lagi-lagi mengumpulkan pendukung dalam acara silaturahmi KAMI di Surabaya, Jawa Timur, Senin lalu. Acara tersebut, antara lain, dihadiri para deklarator organisasi ini, seperti bekas Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo dan bekas Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Sebelumnya, pada 18 Agustus lalu, kelompok yang digerakkan Gatot dan kawan-kawan ini juga mengumpulkan pendukung dalam deklarasinya di Tugu Proklamasi, Jakarta. Kegiatan yang mengabaikan faktor kesehatan tersebut berbanding terbalik dengan narasi mereka dalam deklarasi itu, yang menuntut pemerintah bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi.
Kegiatan berorganisasi, berpendapat, serta terlibat dan berkontribusi pada perbaikan dan kemaslahatan bangsa tentu saja baik dan dilindungi undang-undang. Masalahnya, frasa “menyelamatkan Indonesia” dalam nama organisasi ini bertolak belakang dengan isu yang diangkat serta tindakan para pendiri dan anggotanya.
Dengan terus-menerus membuat kerumunan, alih-alih menyelamatkan Indonesia, mereka sesungguhnya malah menuntun Indonesia kian jauh ke dalam krisis kesehatan. Kerumunan orang berpotensi menambah angka penularan dan menciptakan kluster-kluster baru Covid-19. Dalam konteks ini, pemerintah, lewat aparat dan pihak berwenang, jangan segan-segan untuk menegakkan protokol kesehatan, tanpa perlu bereaksi berlebihan.
Di sisi lain, jika KAMI memang peduli pada kemaslahatan bangsa, semestinya mereka memikirkan cara-cara berkegiatan yang aman dan taat pada protokol kesehatan. Juga mengangkat isu-isu yang penting bagi publik.
Kampanye anti-komunisme yang mereka koarkan malah buruk bagi publik karena berpotensi memecah belah. Masyarakat yang terprovokasi akan mudah saling curiga. Mereka, yang kakek-neneknya pernah berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), bisa menjadi korban amuk yang terprovokasi oleh kampanye tersebut. Padahal 55 tahun telah berlalu sejak Gerakan 30 September terjadi, dan selama itu pula PKI hilang dari bumi Indonesia.
Komunis bukan lagi ideologi yang seksi. Bahkan Cina sekarang terang-terangan mempraktikkan kapitalisme yang semestinya bertentangan dengan nilai-nilai komunisme. Mereproduksi isu komunisme semata-mata untuk tujuan politik praktis, dengan demikian, merupakan tindakan yang tidak bermoral.
Ada begitu banyak masalah penting yang patut diangkat sebagai kritik terhadap pemerintah saat ini. Salah satunya, yang belakangan menjadi kekhawatiran publik, adalah ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Kalau Gatot dan KAMI sungguh-sungguh hendak menjadi gerakan moral, yang memberi kritik dan masukan bagi pemerintah, semestinya mereka berfokus pada isu-isu penting tersebut.