Pemerintah harus menghentikan kriminalisasi dan pendekatan keamanan dalam mengatasi konflik agraria di Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Alih-alih menyelesaikan masalah, cara-cara seperti itu malah bisa mengobarkan konflik berdarah.
Kriminalisasi terhadap warga Laman Kinipan kembali terjadi pada Rabu lalu. Petugas dari Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah menangkap Effendi Buhing, Ketua Adat Laman Kinipan. Selama ini, Effendi getol menyerukan perlawanan dalam konflik lahan antara warga setempat dan perusahaan PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Total sudah enam tokoh Laman Kinipan yang dikriminalkan dalam konflik yang berlangsung sejak 2018 itu.
Langkah Polda Kalimantan Tengah itu jelas merendahkan martabat kepolisian karena membuat mereka terlihat seperti “satpam SML”. Padahal, dalam sengketa lahan hutan adat itu, kedudukan warga Laman Kinipan terlindungi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hutan tersebut adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi hutan negara. Artinya, pemerintah tak bisa memasukkan hutan adat itu sebagai obyek dalam pemberian izin pelepasan lahan dan penerbitan hak guna usaha (HGU).
Putusan MK itu diketok lebih dulu dari terbitnya izin lahan dan HGU untuk PT SML. Adapun SML baru mengantongi izin pelepasan lahan seluas 19.091 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 19 Maret 2015. Sedangkan izin HGU dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertananan Nasional untuk lahan seluas 9.435 hektare baru dikantongi SML pada 2017.
Masalahnya, putusan MK itu sulit ditegakkan karena Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat hingga kini belum disahkan DPR. Selain itu, warga Laman Kinipan baru mendaftarkan lahan adat mereka ke Badan Registrasi Wilayah Adat ketika konflik dengan PT SML muncul. Namun, jika pemerintah menghormati putusan MK itu, izin untuk SML seharusnya disetop dulu.
Penerbitan izin oleh KLHK untuk PT SML menjadi bom waktu bagi warga adat Laman Kinipan. Dengan adanya izin itu, SML bisa mengklaim bahwa siapa pun yang berada di atas lahan tersebut tanpa izin mereka adalah perambah. Dengan dalih itu pula, perusahaan bisa semena-mena menuduh masyarakat adat yang masuk hutan sebagai pencuri.
Klaim perusahaan yang berbasis izin dari KLHK itu tak seharusnya menghapus fakta bahwa masyarakat adat Laman Kinipan sudah ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Hal itu juga yang menjadi salah satu diktum dalam putusan MK pada 2012.
Pemerintah dan aparat negara seharusnya juga menimbang keragaman hayati yang sedang dilindungi masyarakat adat Laman Kinipan di hutannya. Kekayaan alam yang kasatmata dan bernilai tinggi antara lain kayu ulin. Selama ini, Effendi dkk menolak keras pembabatan pohon langka yang dilindungi itu. Di balik penangkapan mereka, patut diduga ada kepentingan kelompok yang mengincar kayu ulin, di samping rencana untuk berkebun sawit. *
Editorial
Stop Kriminalisasi Warga Laman Kinipan
Pemerintah harus menghentikan kriminalisasi dan pendekatan keamanan dalam mengatasi konflik agraria di Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Edisi, 28 Agustus 2020

Reporter: Tempo
