Terungkapnya perbedaan jumlah kematian pasien antara data Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membuktikan penanganan Covid-19 di Indonesia masih jauh dari harapan. Di tengah jumlah korban yang kian meningkat, tumpang-tindih data ini tentu kian mengacaukan penanganan Covid-19 di Tanah Air.
Data kematian akibat Covid-19 versi Kementerian Kesehatan di Jawa Tengah, misalnya, terpaut jauh dengan hitungan pemerintah setempat. Lewat situs Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Kementerian melaporkan kematian pasien Covid-19 di Jawa Tengah per 19 Juli 2020 adalah 323 jiwa. Sedangkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencatat korban meninggal sudah mencapai 611 orang pada hari yang sama.
Selain kematian, kedua situs mencatat perbedaan hitungan pasien yang mencolok. Kementerian Kesehatan mencatat jumlah kasus positif Covid-19 di Jawa Tengah sebanyak 6.932 jiwa pada 19 Juli 2020. Sementara itu, anak buah Gubernur Ganjar Pranowo telah mengumumkan 7.188 kasus. Ironisnya, jumlah yang disampaikan pemerintah pusat merupakan akumulasi data di Jawa Tengah pada 30 Juni lalu. Dengan segala sumber daya dan anggaran penanganan Covid-19 hingga ratusan triliun rupiah, Kementerian tak sepatutnya menggunakan data yang tertinggal nyaris tiga pekan.
Fakta ini berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 24 Juni lalu. Jokowi mengklaim data perkembangan kasus Covid-19 semakin baik dan lengkap. Jokowi pun sudah menyiapkan rencana strategis penanganan Covid-19. Namun sikap Kementerian Kesehatan yang mengabaikan pola penghitungan standar World Health Organization (WHO) justru menjerumuskan langkah pengendalian penularan Covid-19 pemerintah pusat dan daerah.
WHO sudah mengingatkan semua pemerintah di dunia agar memiliki database jumlah pasien Covid-19 yang akurat sejak Februari lalu. Mereka menginstruksikan agar semua orang yang meninggal akibat gejala klinis yang mirip Covid-19 dihitung sebagai satu kasus. Sementara itu, Kementerian Kesehatan masih menghitung angka kematian berdasarkan jumlah pasien yang meninggal setelah dites positif corona.
Kementerian Kesehatan seharusnya mengikuti anjuran WHO sejak dini. Karut-marutnya data pasien bisa membahayakan banyak orang. WHO merilis delapan alasan penting sebuah negara memiliki data yang akurat di masa pandemi. Salah satunya, mengoptimalkan pencegahan dan meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat, khususnya bagi pasien penderita dan kelompok yang terkena dampak pandemi. Kebijakan pemerintah bergantung pada data-data itu.
Di Tanah Air, pandemi tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Mara bahaya di depan mata. Jumlah pasien penderita Covid-19 di Indonesia sudah melampaui Cina, negara asal virus tersebut. Hingga Senin kemarin, pasien yang dinyatakan positif Covid-19 sudah mencapai sekitar 88 ribu orang. Angka ini lebih tinggi sekitar tiga ribu pasien dibanding di Cina.
Pemerintah pusat dan daerah harus terus bersiaga. Ketidakharmonisan penanganan wabah corona justru akan melambungkan angka pasien Covid-19. Kementerian Kesehatan harus segera melepas kacamata kudanya. Kepala daerah pun jangan berpuas diri jika mencatat kasus sedikit tapi minim tes Covid-19. Lebih baik bersusah-payah melawan corona dengan informasi yang aktual ketimbang ambruk berkalang data palsu.*
Editorial
Ambruk Berkalang Data Palsu
Terungkapnya perbedaan jumlah kematian pasien antara data Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membuktikan penanganan Covid-19 di Indonesia masih jauh dari harapan.
Edisi, 21 Juli 2020

Reporter: Tempo
