maaf email atau password anda salah


Usman, Hotman, dan Jengkol

Harsa Permata, alumnus Filsafat UGM. Kini bekerja sebagai dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

arsip tempo : 171426064453.

Ilustrasi. tempo : 171426064453.

Usman, Hotman, dan Jengkol
Harsa Permata

Namanya Hotman, lengkapnya Hotman Julianto, karena dia lahir bulan Juli, sepertinya. Dia adalah salah seorang teman akrab Usman. Hubungan pertemanan mereka tidak selalu mulus, terkadang berbeda pendapat, mereka saling menjauh, dan tak bertegur sapa. Akan tetapi, sebenarnya mereka masih saling mengingat dan teringat akan pertemanan mereka, yang terjalin semenjak 1996. Tepatnya, setelah Usman kembali dari Aceh. 

Ia memilih meninggalkan Aceh karena tak betah di sana, tak ada teman yang bisa diajak bergadang, dan berkeliaran dari malam sampai subuh. Rata-rata anak Aceh adalah anak-anak yang alim, taat beragama, dan tidak mau melakukan kenakalan-kenakalan seperti yang dilakukan Usman.

Pada Juli 1996, sepulang dari Jakarta, Usman mengunjungi rumah temannya, Alan, di sebuah perkampungan kecil di Kampuang. Alan ini sebenarnya lebih tua dua tahun dari Usman. Di sekolah, karena termasuk siswa tua, ia kerap dipanggil “Mamak” (paman dalam bahasa Minang), oleh teman-teman seangkatan. 

Usman sendiri kurang begitu paham sejak kapan ia mulai dekat dengan Alan. Mungkin karena Abu Sufyan sering mengajak main ke rumah Alan dan, kebetulan juga, ia dan Alan satu SMP (sekolah menengah pertama) dan sempat satu SMA (sekolah menengah atas) selama satu setengah tahun. Inilah mungkin yang membuat Usman jadi dekat dengan Alan. 

Saat Usman masih menunggu sekolah mana di Kampuang yang mau menerimanya kembali sepulangnya dari Aceh, waktu itulah Usman bertemu secara tak sengaja dengan Hotman di rumah Alan. Sebelumnya, mereka memang pernah bertemu saat Hotman mau menghajar teman Usman, yang bernama Roni, setahun sebelumnya, sebelum Usman pindah sekolah ke Aceh. 

Jadi ceritanya begini. Si Roni, sebelum kejadian itu, sempat meminjam jaket kulit milik bapak temannya Hotman yang bernama Brian. Ternyata si Roni ini entah kenapa tidak pernah mengembalikan jaket tersebut. Hal ini dianggap sebagai penghinaan oleh Brian dan keluarga karena jaket tersebut adalah jaket kesayangan Abak (panggilan bapak si Brian). 

Hotman, sebagai teman akrab Brian, tidak terima akan sikap Roni yang tidak mau mengembalikan jaket tersebut. Ia kemudian mendatangi rombongan Usman dan kawan-kawan yang sedang berjalan di pinggiran ruko-ruko di pasar Kampuang. 

“Hei Roni, dari mana kau? Kapan kau mau kembalikan jaketnya?” ucap Hotman dengan nada menghardik, tiba-tiba, sembari menghadang rombongan Usman dan kawan-kawan.

Roni menanggapi pertanyaan bernada menantang dan sedikit keras itu dengan sikap biasa, seolah-olah tidak paham situasi dan kondisi. 

“Nanti kukembalikan. Jaketnya terbawa ke Batu Sangkar,” jawab Roni dengan tenang. Dia memang berasal dari Kota Batu Sangkar. Ke Kampuang hanya untuk bersekolah di SMA Negeri 1 Kampuang. 

“Baik, kukasih kau waktu seminggu untuk mengembalikan, ya. Kalau tidak dikembalikan juga, kususul kau ke Batu Sangkar,” balas Hotman lagi dengan nada menggertak. 

Salah seorang teman Usman dan Roni, yaitu Martil (tidak tahu juga mengapa ia bernama seperti ini), mencoba mencairkan suasana, “Tenang Hotman, nanti aku yang ingatkan si Roni untuk mengembalikannya. Kami lanjut jalan dulu, ya.” Mereka kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Hotman yang menatap mereka dengan berkacak pinggang. 

“Untung kau tidak dihajar, Ron,” kata Martil, setelah mereka agak jauh dari Hotman.

“Silakan saja hajar aku kalau berani. Aku tidak takut,” ucap Roni dengan nada menantang.

Jaket itu ternyata tidak kunjung dikembalikan Roni sampai setahun kemudian, saat Hotman, Brian, Usman, dan teman-teman datang ke Batu Sangkar untuk memintanya.

***

Begitulah awalnya, Usman dan Hotman bertemu kembali di rumah Alan, sekitar pertengahan 1996. Mereka kemudian jadi akrab. Hotman, di balik tampang sangarnya, ternyata suka melucu. Jika dilihat dari bentuk fisiknya, orang yang baru kenal tidak akan mengira Hotman suka melontarkan celotehan humor. Dengan kulitnya yang gelap seperti orang Afrika, beberapa orang bahkan memanggilnya Ambon karena hal ini. Badannya tidak terlalu tinggi, bahkan cenderung pendek. Ia juga selalu mengenakan baret hitam, yang diklaimnya sebagai pemberian dari saudaranya yang anggota Marinir. 

Hotman sangat tinggi rasa percaya dirinya, bahkan cenderung berlebihan. Mungkin karena merasa pernah tinggal di Jakarta dan jadi anak Jakarte, dia dengan PD (percaya diri)-nya menggoda perempuan mana pun yang dianggapnya cantik dan menarik perhatiannya. Semua ini berakhir ketika ia pada akhirnya menemukan tambatan hatinya, calon istrinya, yang bernama Rani. Rani adalah pasangan yang cocok untuk Hotman. Mereka saling mengisi. Rani tahu apa isi hati dan perut Hotman, sementara Hotman sangat membutuhkan Rani untuk merajut masa depan bersama. Pernikahan keduanya membuahkan dua anak, perempuan dan laki-laki. 

Hotman kemudian berkembang menjadi pengusaha sukses. Ia mulai dari bawah, sebagai penjual pupuk untuk daerah-daerah perdesaan. Usahanya kemudian berkembang sampai merambah berbagai bidang. Rani juga sukses sebagai pengusaha kuliner, pastry, jajanan pasar, dan lain-lain. Pesanan selalu banyak datang untuknya. Hotman kemudian bergabung dengan partai politik, yang dipimpin salah satunya oleh Wilad, teman Usman juga. Dulu mereka pernah kuliah di kampus yang sama di Yogya. Mereka juga sama-sama pernah jadi aktivis mahasiswa dan beberapa kali terlibat dalam demonstrasi bersama.

Sebelum terlalu jauh ke masa depan, ada baiknya kita kembali ke masa-masa Usman dan Hotman berteman akrab. Seperti yang sudah diceritakan tadi, mereka, Usman dan Hotman, secara tidak sengaja membentuk kelompok atau geng tanpa nama baru. Para anggotanya, atau yang sering kumpul-kumpul, adalah Usman, Hotman, Kandar (teman SMP Usman), kadang-kadang Yusmar juga ikut gabung. Yusmar ini juga teman SMP Usman. 

Hotman ini berasal dari keluarga pedagang jengkol, yang memiliki lapak permanen di pasar bawah di Kampuang. Bapaknya adalah guru di sebuah sekolah, ibu dan saudara-saudaranya setiap hari mencari nafkah dengan berjualan jengkol di pasar. Setelah pensiun sebagai guru, bapak Hotman mendampingi ibu Hotman jualan di pasar.

Ada peristiwa lucu yang dialami Usman terkait dengan jengkol ini. Masyarakat Kampuang rata-rata adalah penyuka jengkol. Buah yang unik ini biasanya diolah menjadi berbagai macam lauk atau makanan lainnya, seperti rendang jengkol, kalio (rendang basah) jengkol, jengkol balado, dan kerupuk jengkol. Bisa dimakan dengan nasi ataupun dimakan begitu saja tanpa nasi. 

Produk olahan jengkol yang paling laku adalah kerupuk. Orang-orang Kampuang biasa menyebutnya dengan nama karupuak jariang (kerupuk jengkol). Jariang berarti jengkol dalam bahasa Minang. Kerupuk jengkol ini rasanya pahit agak gurih, mirip-mirip kerupuk emping. Hotman juga sering dipanggil dengan julukan “Jariang” atau si Hotman jariang. Ia kelihatannya bangga dengan julukan itu, bahkan menjadikannya sebagai nama Facebook-nya, Hotjar Jengkol (Hotman Jariang Jengkol). 

Kembali ke peristiwa lucu tadi. Suatu kali, sehabis bergadang semalam suntuk, Usman dan Kandar bangun siang setelah jam 12. Mereka berdua baru tertidur setelah salat subuh. Dalam kondisi kelaparan, mereka menemukan seember kerupuk jengkol yang telah digoreng di dapur Hotman. Sedianya kerupuk jengkol akan dijual di pasar, dengan disebar ke lapau-lapau nasi. 

Tanpa pikir panjang, terdorong rasa lapar, Usman dan Kandar memakan begitu saja kerupuk jengkol itu sampai habis. Tak berapa lama, mereka berdua mengeluh kesakitan karena terkena jengkolan, atau tersumbat saluran kencing, akibat penumpukan residu jengkol tersebut di saluran kencing mereka. 

Kemudian Hotman datang dari pasar dan keheranan melihat Usman serta Kandar mengeluh kesakitan.

“Kenapa kalian?” tanya Hotman.

Takabek jariang (jengkolan), Hot," jawab Kandar.

“Waduh, kalian habiskan, ya, kerupuk jengkol seember tadi?” tanya Hotman lagi.

“Iya Hot, kami lapar sekali. Karena yang ada hanya kerupuk jengkol, kami makan begitu saja,” jawab Usman.

“Makanya jangan rakus makan jengkol, kena batunya kalian, dikabek jariang, he-he-he,” ucap Hotman sambil tertawa.

Hotman kemudian pergi ke warung sebelah rumah untuk membeli soda.

“Nih minum, ini obat jengkolan,” perintah Hotman kepada Usman dan Kandar. Mereka kemudian meminum dua botol soda yang dibelikan Hotman sampai habis. Setelah itulah, tak berapa lama, mereka bergantian ke kamar mandi untuk buang air kecil. 

***

Hubungan pertemanan Usman dan Hotman mulai renggang karena satu peristiwa yang cukup membekas dalam ingatan Usman. Saat itu sepulang dari Yogya, Usman yang mahasiswa memiliki kesadaran baru, yaitu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Di Yogya, Usman kerap ikut diskusi dan demonstrasi menyuarakan hal itu. Ia menjadi seorang humanis yang fanatik. Ia tidak mau menyakiti manusia. Marah ketika melihat orang dipukuli atau dihajar secara fisik. 

Padahal, sebelum kuliah di Yogya, Usman dan Hotman kerap saling memberikan tantangan uji nyali untuk memukuli siapa saja yang tidak mereka sukai di jalanan. Usman melakukannya beberapa kali, salah satunya bahkan ia sempat hampir dipukuli oleh keluarga korban karena tidak terima anggota keluarga mereka dipukuli Usman. 

Sekitar 2003, saat Usman pulang ke Kampuang, dari Yogya, ia berjalan sendirian dari rumah orang tuanya ke pasar Kampuang. Ia mencoba mencari teman-temannya di pasar itu. Akan tetapi, tak satu pun berhasil ia temukan. Baru setelah berjalan ke pasar atas, ia menemukan Hotman tengah memukuli seseorang, dengan diawasi oleh dua petugas keamanan pasar, yang rupanya adalah saudara jauh Hotman. 

Usman sangat kecewa dan marah melihat hal itu. Ia mencoba melindungi orang yang dipukuli itu. Hotman kaget sekali melihat Usman yang datang tiba-tiba. “Awas, Man! Kau tidak usah ikut campur. Orang ini pantas dipukuli. Ia sudah mencoba mengganggu keluargaku yang perempuan!” ucap Hotman setengah berteriak.

Usman kemudian pergi begitu saja tanpa berkata-kata. Semenjak itulah ia tidak pernah lagi bertegur sapa dengan Hotman. Hotman juga tidak dimasukkannya dalam daftar tamu di undangan pernikahannya, beberapa tahun kemudian. 

***

Pada Juli 2023, Usman tiba-tiba mendapat telepon dari nomor misterius, yang belum ia simpan di telepon seluler miliknya. Setelah berdering beberapa kali, barulah ia angkat telepon itu.

“Halo, ini dengan siapa, ya?” tanya Usman di telepon.

“Halo Usman, ini aku Hotman, apa kabar?” rupanya yang menelepon adalah Hotman, setelah dua puluh tahun mereka tidak bertegur sapa.

“Oh, kau rupanya Hot, kabar baik, alhamdulillah. Dirimu bagaimana kabarnya?” tanya Usman lagi.

“Alhamdulillah, aku juga baik saja. Sudah berapa anakmu sekarang, Man?”

“Alhamdulillah sudah dua, Hot, laki-laki dan perempuan. Cuma jaraknya lumayan jauh, 13 tahun. Tuhan baru kasih kami anak lagi waktu pandemi corona dua tahun yang lalu.”

“Alhamdulillah, aku juga dua, sudah besar keduanya. Yang satu sudah bekerja sebagai tim hukum korporasi besar di Jakarta, yang satu lagi ikut jejakku jadi pengusaha di Kampuang,” ucap Hotman menanggapi Usman.

“Wah, luar biasa, selamat ya Hot, akhirnya ada juga pembangkit batang terendam (yang membanggakan keluarga/mengangkat derajat keluarga)," ucap Usman menanggapi dan mengapresiasi kesuksesan anak-anak Hotman.

“Di mana kau tinggal sekarang, Man? Tolong kirimkan alamat rumahmu ke nomor ini ya.”

“Baik, siap, mau mampir ke rumahku kau Hot?” tanya Usman.

“Nanti kau lihat sendiri saja, ya. Sudah dulu ya, aku mau mengantarkan istriku dulu.”

“Baik, salam buat Rani ya Hot.”

Beberapa hari kemudian, datanglah paket dari Hotman. Usman langsung membukanya dengan antusias. Ternyata isinya adalah kerupuk jengkol dan beberapa kaleng soda beserta sepucuk surat dari Hotman yang berisikan kata-kata dari Hotman, “Selamat menikmati kerupuk jengkolnya ya Man, kukirimkan juga minuman soda, untuk obat kalau kau jengkolan nanti.”

Usman hanya bisa tersenyum haru mengenang masa-masa pertemanan mereka di Kampuang dulu.


Yogyakarta, 2 Desember 2023

Harsa Permata, alumnus Filsafat UGM. Kini bekerja sebagai dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan