maaf email atau password anda salah


Meneer Zander van Kemproh

Dewanto Amin Sadono, guru dan penulis prosa. Ia tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya dimuat di sejumlah media.

arsip tempo : 171423665935.

Meneer Van Kemprooh. tempo : 171423665935.

Meneer Zander van Kemproh
Dewanto Amin Sadono

Belanda tak mau minggat dari Indonesia setelah dilangsungkan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dan Meneer van Kemproh tetap tinggal di salah satu bangunan yang kini disesaki oleh hantu dan tikus itu. Letak bangunan rumah dan kantor dagang itu di sebelah kanan jalan raya arah Semarang, lima ratus meter sebelum Exit Tol Ngasem, Colomadu. Orang-orang menyebutnya Tangsi Londo. 

Nama asli Belanda totok bertubuh besar ini Zander van Ambroose. Namun para inlander di sekitar Tangsi Londo lebih suka memanggilnya Menir Kemproh, sesuai dengan keringatnya yang bau dan kemeja putihnya yang hampir selalu kotor. Menir Kemproh bujang lapuk yang sudah berkali-kali ditolak cintanya oleh noni ataupun bukan noni. Situasi dan kondisi itulah yang membuat Menir Kemproh lebih suka keluyuran. Tempat favoritnya Sungai Pepe. Letaknya tak jauh dari Tangsi Londo, 1 kilometer. Selain cuci mata, Menir Kemproh bisa memuaskan gangguan kejiwaannya, voyeuristic, mengintip perempuan mandi. 

Hari yang mengubah hidup Menir Kemproh itu Minggu Kliwon. Ketika kelayapan, meniti pematang sawah, lalu berkelit ke sungai, Menir Kemproh bertemu dengan bidadari berkemben yang sedang mencuci pakaian. Seperti halnya Joko Tarub yang jadi gila dan mencuri selendang Nawang Wulan demi bisa mendapatkan jiwa dan raga bidadari yang sedang sial itu, Menir Kemproh pun berkelakuan sama. Bahkan keedanannya melampaui Rahwana saat bertemu dengan Sinta. Tak puas hanya mengintip, Menir Kemproh lalu mendekat. Hidungnya mendengkus-dengkus seperti anjing berahi.  

Waktu menyadari ada londo bertubuh raksasa menghampiri, Saritem segera melarikan diri; erat-erat memegangi kembennya yang hampir melorot. Pakaian yang sebagian besar sudah dicuci dengan buah lerak dibiarkan teronggok di atas batu. Melihat calon korbannya kabur, Menir Kemproh buru-buru mencoba menghalangi, merentangkan kedua lengannya seperti pemain go back through the door. Namun Saritem pemain gobak sodor yang sangat lincah. Ia berhasil berkelit, lalu melipatkan kecepatan larinya seakan-akan sedang mengambil ancang-ancang hendak terbang.

Singkat cerita, sejak itu Menir Kemproh tidak lagi kelayapan ke sungai. Namun ganti keluyuran ke rumah Saritem. Selanjutnya, dalam permainan nafsu berbalut cinta itu, Saritem-lah yang bertindak sebagai pemegang kendali, tentu saja berkat bimbingan teknis bapaknya yang kepala dukuh sekaligus pejuang kemerdekaan. Segera, Saritem memanfaatkan londo yang sedang tergila-gila kepadanya itu demi kepentingan dirinya, agamanya, dan bangsanya. 

“Saya mau dijadikan istri, tapi maunya dijadikan istri sah, bukan nyai,” katanya.

Menir Kemproh langsung menganggukkan kepala. Apalagi ia juga jomblo. Permintaan gadis pujaannya itu bukan hal susah baginya, semudah menampar mukanya sendiri. Melihat anggukan Menir Kemproh, Saritem, gadis bau kencur itu, tersenyum manis sekali.

“Mas Menir juga harus disunat,” katanya lagi.

Kontan Menir Kemproh pucat pasi. Mulutnya komat-kamit seperti sedang melafalkan doa. Tubuhnya gemetar seperti kena serangan malaria. Ia tidak yakin ada gunting atau pisau yang mampu memotong tititnya yang mungkin sudah mulai karatan itu. 

“Laki-laki yang sudah disunat akan merasakan percintaan yang lebih nikmat,” kata bapak Saritem, yang sepertinya bisa menangkap keraguan Menir Kemproh. 

Entah disebabkan oleh bujukan yang mengarah ke perkelaminan tersebut ataukah ada penyebab lain, akhirnya Menir Kemproh setuju anunya dimutilasi, sedikit. Rencananya Pak Dukuh akan menanggap wayang kulit semalam suntuk. Namun, karena Menir Kemproh tak punya duit, rencana batal. Meskipun demikian, upacara penyayatan kulup itu tetap dilaksanakan walaupun secara sederhana. Bong supitnya dipanggil dari desa lain, sudah tua dan mantan pendekar. Alat yang digunakan sembilu. 

Kulit bambu ori setajam silet itu sukses menyayat kulit kelamin Menir Kemproh tanpa kendala berarti. Permasalahan justru timbul setelah Menir Kemproh selesai disunat. Kelaminnya perih dan pedih, tergesek-gesek sarung yang kekecilan, dan ia harus berjalan ngangkang sambil memegangi bagian depan sarung. Belum lagi, saat dipakai kencing, kelamin yang dibungkus seperti kue lemper itu berdarah-darah dan darahnya bertambah banyak saat ereksi. Terlebih kelamin Menir Kemproh juga mengalami gendelen. Pembengkakan akibat infeksi pada bagian kulup itu membuat Menir Kemproh menderita demam tinggi. 

“Tempelkan ke batu panas! Bengkaknya pasti hilang!” usul bapak Saritem. 

Walaupun percaya tidak percaya, siang itu, dengan dituntun Saritem, Menir Kemproh tertatih-tatih ke Sungai Pepe. Susah payah dituruninya tebing sungai yang cukup curam itu. Sampai di batu yang bentuknya mirip payudara, ditempelkannya telapak tangannya; menguji tingkat kepanasannya. Setelah yakin batu panas itu tidak akan sampai membuat tititnya gosong, barulah Menir Kemproh menyingkapkan sarung, lalu mengoles-oleskan kulup yang bengkak dan bening seperti kaca itu ke batu. Tentu saja sambil cengar-cengir, menikmati sensasinya.

Pengobatan alternatif berbalut kearifan lokal yang mungkin hanya satu-satunya di dunia itu ternyata terbukti keampuhannya. Setelah Menir Kemproh melakukan prosesi itu secara teratur dari pukul sepuluh sampai dua belas, dua hari berturut-turut, pembengkakan pada kulup itu menjadi jauh berkurang dan setelahnya kelamin Menir Kemproh dapat dipakai beraktivitas seperti sedia kala. Selanjutnya, Menir Kemproh pindah agama. Apalagi agamanya yang dahulu juga di KTP saja.  

Setelah menikah, Menir Kemproh minggat dari Tangsi Londo, lalu tinggal di rumah Saritem. Kegiatan Menir Kemproh makan, tidur, dan bercinta. Karena selama ini memang sudah tidak dianggap oleh teman-temannya, keminggatan Menir Kemproh itu dibiarkan saja, tidak ada yang mencari, apalagi sampai merasa kehilangan. Di lingkungan barunya, para tetangga tetap memanggilnya Menir Kemproh meskipun sekarang sehari mandi dua kali dan pakaiannya selalu bersih serta rapi. Hanya Saritem yang tidak memanggilnya “kemproh”. 

“Mas Menir, Bapak ingin bicara,” kata Saritem, suatu hari. 

Pak Dukuh tidak mau membicarakan hal yang sangat penting itu di rumahnya. Ia membawa Menir Kemproh ke sebuah tempat. Selama perjalanan jalan kaki yang cukup jauh, mata Menir Kemproh ditutupi kain hitam dan dituntun seperti orang buta. Lima belas menit setelahnya, rombongan tiga orang itu tiba di sebuah bangunan yang tersembunyi di antara bangunan-bangunan lain. Pak Dukuh membuka penutup mata Menir Kemproh, dan londo itu pun seketika terkejut setengah mati. Ia dikepung oleh banyak pemuda. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang menyandang senjata. 

“Jangan tembak! Saya baru kawin!” pekik Menir Kemproh. 

Seseorang yang bertubuh kecil dan bersorot mata tajam menanggapi pekikan yang tidak bermutu tersebut dengan senyuman. Dengan sekali pandang, anggota Tentara Pelajar itu sudah bisa menakar kekuatan mental laki-laki yang namanya melegenda di sekitar Tangsi Londo itu. Selanjutnya, tentara tanpa seragam itu menginterogasi Menir Kemproh; bertanya tentang macam-macam hal. Bahasa yang digunakan campuran: Jawa, Indonesia, dan Belanda. 

Selama dua jam berada di markas Tentara Pelajar, Menir Kemproh beberapa kali menganggukkan kepala, dua kali terkencing-kencing, dan sekali menggeleng, yaitu saat ia bersumpah tidak akan membocorkan tempat rahasia itu kepada pihak Belanda. 

Neit! Ik zweer dat!” serunya, dan diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. 

Waktu terus berlalu. Sementara itu, Belanda tetap menganggap Indonesia sebagai negara jajahannya dan tidak mau mengakui kemerdekaan yang usianya sudah hampir lima tahun itu. Pertempuran-pertempuran sporadis masih terus berlangsung di beberapa kota, termasuk di Solo. Entah sebab ingin membuktikan nasionalismenya ataukah sekadar agar tidak dianggap pengecut oleh istrinya, Menir Kemproh lalu bergabung dengan Tentara Pelajar dan bahu-membahu dengan para pemuda yang seragamnya compang-camping itu saat menyerang Belanda yang sedang ngumpet di Benteng Vastenburg di dekat Gladak. Dari situlah komidi nasib Menir Kemproh kembali berputar.

“Tembak! Serbu! Serang! Terjang! Dor, dor! Dor! Aduh!”

Pada pertempuran sengit yang berlangsung selama empat hari di jalan yang kelak dinamai Jalan Slamet Riyadi itu, Menir Kemproh tertembak.

***

Setengah tahun setelah menceritakan kisah tersebut, Bapak dipanggil Tuhan dan Ibu menyusul sebulan sesudahnya. Laki-laki kecil bersorot mata tajam yang tingginya hanya sebahu saya dan kulitnya tidak seputih kulit saya dalam cerita tersebut pastilah Bapak. Apalagi piagam yang menyatakan Bapak sebagai anggota Tentara Pelajar itu masih terpampang di ruang keluarga. Waktu itu saya tersenyum kecut begitu menyadari nama perempuan yang tertera pada akta kelahiran dan ijazah saya. Dan senyum saya bertambah kecut ketika coba memahami siapa sebenarnya sosok yang tiba-tiba berkelebat dalam ingatan saya. 

Kami memanggilnya Pak Rustam, marbut musala di dukuh sebelah dan sekaligus tinggal di tempat itu. Pak Rustam sebatang kara. Makan dan minum dari belas kasih pemilik musala dan kedermawanan para tetangga. Tiap Jumat, Pak Rustam lewat di depan rumah saya, hendak melaksanakan salat Jumat di masjid di mana Bapak kadang-kadang menjadi imam dan khatibnya. Pak Rustam berjalan pakai tongkat akibat kaki kanannya buntung hingga pangkal paha. Saya ingat betul sering kali berbuat kurang ajar; menirukan cara berjalannya yang aneh. 

Benar juga kata orang-orang. Ada kalanya sebuah rahasia biarlah tetap menjadi rahasia. Selamanya. Terkubur bersama jasad pemiliknya. Daripada membuat bingung dan kecewa. Dari melihat bentuk hidung, wajah, serta warna kulit, Pak Rustam jelas bule. Apakah Pak Rustam itu Menir Kemproh? 

Waktu itu Bapak tidak menjawab secara tegas, hanya tersenyum. Sementara Ibu bertingkah laku kurang-lebih sama. Bahkan lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan. Namun hal itu sudah cukup bagi saya. Apalagi ketika kemudian saya menyadari bahwa makam Ibu diapit oleh makam Bapak dan makam beliau.

Kajen, 24 November 2023


Dewanto Amin Sadono, guru dan penulis prosa. Ia tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya dimuat di sejumlah media massa dan beberapa tulisannya memenangi perlombaan. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan