Putu Setia
Dulu, polisi wanita (polwan) tidak ada yang memakai jilbab. Ketika ada usul polwan muslimah diperbolehkan mengenakan jilbab, ada yang menganggapnya aneh. Meski perdebatan tidak ramai diumbar, yang menolak polwan berjilbab memakai alasan bahwa itu bukan seragam polisi. Sebagai sebuah kesatuan yang taat pada aturan, polisi punya seragam yang tak bisa dipermainkan, baik warna maupun tata cara pemakaiannya. Kalau ingin berjilbab, ya, jangan menjadi polisi.
Pada akhirnya, seperti kita lihat sekarang, banyak polwan yang berhijab. Ada perubahan kebijakan seirama dengan perubahan pimpinan. Ada polwan yang mengenakan warna jilbab disesuaikan dengan warna bajunya, ada pula yang tidak persis sama. Kuncinya, terserah kepada masing-masing pribadi, mau memakai jilbab atau tidak. Kalau memakai warna apa, monggo.
Ribut-ribut soal seragam sekolah sudah lama ada. Bukan hanya baru-baru ini dengan kasus yang muncul di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Usia kehebohan ini sudah lebih dari dasawarsa. Ada orang tua murid yang memprotes karena anaknya dilarang mengenakan jilbab dan baju rok yang jauh di bawah lutut, seperti mengenakan sarung. Kepala sekolah berkukuh bahwa itu merupakan pelanggaran terhadap pakaian seragam sekolah. Ketika sang murid didaftarkan di sekolah, orang tua sudah disodori berbagai persyaratan, antara lain busana. “Warna dan potongan baju, rok, kaus sepatu, semuanya sudah jelas dengan gambar, tak ada aksesori lainnya,” kurang-lebih begitu alasan kepala sekolah. Orang tua ngotot: “Kami ingin melaksanakan ajaran agama kami. Kenapa dilarang?” Kepala sekolah menjawab: “Kami tidak melarang anak ibu menjalankan ajaran agamanya. Tapi aturan seragam di sekolah ini, kan, seperti gambar itu. Kalau ibu mau seragam yang lain, carilah sekolah yang lain. Ada sekolah Muhammadiyah di sini, atau ke pesantren.”
Pada akhirnya mengenakan jilbab dan busana muslimah menjadi hal yang biasa. Tak ada lagi ribut-ribut. Jilbab diizinkan dan rok yang sepanjang sarung dibolehkan, asalkan warnanya sama. Jadi, yang seragam tinggal warna, modelnya tidak. Siswi bebas mau mengenakan jilbab atau tidak.
Dengan kompromi seperti itu, seragam sekolah menjadi hal yang seharusnya tak membuat masalah apa-apa di negeri yang majemuk ini. Cuma ada beberapa sekolah, dan bahkan beberapa kepala daerah, yang menambah-nambahi aturan. Misalnya, mewajibkan siswi memakai jilbab dengan alasan menuntun mereka untuk lebih memahami ajaran agamanya. Lalu aturan ini pun kebablasan: semua siswi harus mengenakan jilbab untuk ciri khas daerahnya. Hal itu yang terjadi di Padang. Aturan siswi wajib berhijab datang dari Wali Kota.
Dilihat dari sudut ini, tiga menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama), yang mengeluarkan surat keputusan bersama yang isinya “meluruskan kebablasan” itu, patut didukung. Yang diluruskan adalah mengenakan jilbab di sekolah negeri tidak dilarang, tapi juga tidak diwajibkan. Namun guru, kepala sekolah, atau bahkan pemerintah daerah tidak boleh membuat pelarangan memakai jilbab ataupun kewajiban memakai jilbab. Keputusan siswi berjilbab atau tidak adalah murni keputusan siswi itu sendiri, tentu atas sepengetahuan orang tua murid, apa pun keyakinannya. Jadi, bukan karena adanya aturan dari pihak sekolah, apalagi kepala daerah.
Adakah terobosan lain jika SKB 3 menteri ini masih dipolemikkan? Mungkin perlu dipikirkan, apa perlunya seragam sekolah itu? Sebelum 1980-an, tidak ada yang namanya seragam sekolah. Para siswa cukup berpakaian rapi. Seperti mahasiswa sekarang ini, yang seragam hanyalah jaketnya. Jangan-jangan seragam sekolah yang sesungguhnya beragam ini perlu dilupakan.