M. Taufik Kustiawan
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pergolakan politik telah menandai keterlibatan agama sebagai komoditas (suara) merebut kebenaran paham Islam. Kontestasi politik-keagamaan memasuki wilayah dominan. Hal ini ditandai dengan aksi gerakan populisme kelas menengah. Gerakan populisme Islam selalu menciptakan dikotomi, kegaduhan, dan tindakan anarkisme.
Tidak terbukanya ruang dialog keagamaan terkadang memicu perseteruan internal (umat Islam), yang sering kali mengabaikan esensi dan nilai substansi pokok ajaran agama. Padahal semua agama mengajarkan paham teologis yang dapat menciptakan nilai-nilai humanisme dan egalitarianisme. Misi agama bukanlah menyebarkan doktrin untuk diperdebatkan, melainkan didialogkan demi kemaslahatan sosial.
Perlunya dialog paham pemikiran Islam inilah yang disampaikan Aksin Wijaya dalam buku Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia (2019). Kehadiran buku ini bermula dari kegelisahan Aksin terhadap gerakan Aksi 212 yang menggunakan isu agama dan politik sebagai basis gerakannya. Ini memunculkan sikap sentimen, skeptisisme, dan saling menyalahkan atas perbedaan pemahaman dan pilihan politik antara mereka yang terlibat dalam gerakan itu dan yang tidak.
Fenomena sosial-keagamaan ini menunjukkan bahwa intensitas populisme Islam bergerak begitu dinamis dan melahirkan aksi-aksi yang dapat memicu tindakan intoleransi. Dengan demikian, keresahan atas fenomena sosial ini turut disikapi dengan kritis oleh Aksin. Ia merumuskan tipologi pemikiran Islam di Indonesia dalam tiga corak, yakni Islam eksklusif, Islam inklusif, dan Islam pluralis.
Sebagai intelektual muslim kontemporer, pemikiran Aksin dipengaruhi oleh pemikir Islam progresif, seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abed Al-Jabiri, Mohammad Arokun, Abdullahi Ahmed An-Na’im, dan Jasser Auda. Pemikir muslim itu menciptakan perangkat metodologis pembaruan Islam melalui pendekatan interdisipliner.
Gaya baru ijtihad melihat Islam secara konteks ini bermula dari Timur Tengah. Namun perkembangan tafsir progresif ini malah dianggap salah dan memperoleh respons anarkistis dari penganut Islam konservatif. Penolakan terhadap keterbukaan dialog Islam justru memperoleh tempat dan kian berkembang di Barat. Melalui pendekatan interdisipliner ini, Aksin juga ingin mencoba membuka ruang dialog umat lintas iman atau lintas pemahaman keagamaan di Indonesia.
Pada dasarnya, untuk memahami kontestasi "kebenaran Islam", perlu ada keterbukaan pandangan yang mampu memadukan tafsir rasionalitas dan tekstualitas pada kitab suci. Persoalan ini kemudian menimbulkan pertanyaan kritis, yaitu bagaimana sikap Al-Quran memandang kaum Yahudi dan Nasrani? Pertanyaan ini disebabkan oleh muslim (Islam eksklusif) yang sering memandang bahwa kaum Yahudi dan Nasrani adalah kafir dan lawan ketimbang saudara.
Para mufasir Islam eksklusif menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk melegitimasi makna. Misalnya, mereka menggunakan surah Al-Maidah: 17 dan 72 serta At-Taubah: 30-31 sebagai dasar menunjukkan makna harfiah kaum Yahudi dan Nasrani adalah kafir. Sikap penganut paham Islam eksklusif ini memperjelas bahwa gerakan ini tidak mau menerima kritik dari para pemikir Islam kontemporer.
Perubahan zaman turut menandai arus berkembangnya tafsir Al-Quran yang semestinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi kultur-sosial. Metodologi penafsiran Al-Quran mengalami perubahan yang signifikan. Ini terlihat dari diskursus para pemikir Islam, seperti Nurcholish Madjid, Alwi Shihab, Jalaluddin Rahmat, Budhy Munawar-Rachman, dan Abdul Muqsith Ghazali, yang menafsirkan Al-Quran tidak semata-mata pada teks, melainkan substansi teks-konteks untuk kemaslahatan.
Para mufasir Islam inklusif menggunakan pendekatan epistemologi, sosiologis, dan teologis untuk memperjelas fungsi agama. Para cendekiawan muslim Indonesia berhasil memberikan sumbangsih paradigma pembaruan penafsiran Al-Quran yang lebih terbuka kepada kritik dan tentu dapat menciptakan dialog publik tentang keberagamaan.
Pada 1992-an, Mukti Ali pernah mengetengahkan gagasan dialog itu dengan membuka jurusan studi ilmu perbandingan agama di lingkup perguruan tinggi Islam negeri (IAIN). Mukti Ali berharap bahwa jurusan perbandingan agama (comparative religion) mampu berkembang dan mencairkan sikap eksklusivisme hingga menumbuhkan sikap inklusivisme di masyarakat.
Renungan tentang adanya dialog iman dari pemikiran Mukti Ali tentu untuk meminimalkan terjadinya konflik sosial-keagamaan dan menumbuhkan sikap toleransi antar-umat beragama. Dialog sebagai suatu langkah menumbuhkan iman ini pernah termuat dalam buku antologi berjudul Dialog: Kritik & Identitas Agama (1993).
Pandangan ini mirip gagasan Aksin dalam membuat tipologi Islam pluralis yang dapat menerima perbedaan. Pemikir Islam pluralis senantiasa mendialogkan ayat-ayat yang berkesinambungan terhadap persoalan umat secara kontekstual. Terutama persoalan tafsir Al-Quran dalam memandang kaum Yahudi dan Nasrani.
Para pemikir Islam, seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan Muhammad Arkoun, menggunakan metode berpikir demonstratif-pluralis dengan teori anti-sinonimitas. Mereka tidak menganggap kaum Yahudi dan Nasrani sebagai lawan, melainkan kawan atau saudara. Hal ini didasarkan pada metodologi berpikir filsafat (rasional).
Dengan demikian, pemikir Islam pluralis berpendapat bahwa menafsirkan Al-Quran jangan gampang menuduh kafir atau memberi justifikasi kesalahan kepada umat beragama lain. Sebab, hal itu akan memberikan dampak negatif terhadap ajaran agama (Islam).
Aksin mencermati bahwa "kebenaran Islam" terletak pada kelompok muslim yang senantiasa bersikap saling menghormati, menghargai, dan mengamalkan nilai-nilai humanisme. Jika hal ini dapat diamalkan sebagai dasar dari ajaran pokok, pemikiran Islam pluralis mampu menyebarkan toleransi antar-umat beragama.
Kesadaran untuk membuka dialog agama akan semakin menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang menerima keberagamaan.
Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia
Penulis : Aksin Wijaya
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Desember, 2019
Tebal : 228 halaman
ISBN : 978-623-737-801-3