Muhammad Khambali
Penulis dan Pengajar di YPD Rawinala, Jakarta
Hari ini, ilmu pengetahuan masih sekadar dikumpulkan dan disimpan untuk ditumpahkan lagi saat ujian. Begitulah Iwan Pranoto mengutarakannya dalam esai bertajuk "Kasmaran Berilmu Pengetahuan". Bagi Iwan, laku tersebut terjadi lantaran ketiadaan kasmaran belajar. Dalam matematika, misalnya, ruang kelas gagal menumbuhkan kegiatan belajar berhitung menjadi berhitung untuk belajar (berpikir). Padahal, menurut dia, kemampuan berhitung untuk belajar dan berpikir inilah tanda kasmaran bermatematika.
Alih-alih membikin kasmaran, ilmu pengetahuan baru sekadar sesuatu yang diingat dan dihafal. Murid yang berfisika pada umumnya belum mencapai tataran takjub dan kasmaran terhadap rumus f = ma. Sebuah rumus sederhana yang memodelkan pena jatuh sampai pergerakan benda di angkasa. Atau Rumus Bernoulli yang memungkinkan sayap sederhana dan relatif kecil, dibanding badan pesawat, dapat mengangkat pesawat dengan bebannya yang berton-ton.
Bagaimana lagi, selama ini belajar kerap digambarkan sebagai tahapan menyusahkan dan menyebalkan, tapi wajib dijalani. Belajar menjadi perlu diwajibkan atau dipaksa, serta kadang perlu diberi imbalan agar dikerjakan. Seturut itu, metode belajar menggunakan pendekatan dicecar dan dihabisi. Belajar dengan mengulang-ulang tanpa mempedulikan paham atau tidak. Gaya pendidikan semacam ini pada akhirnya membosankan, membebani, sampai membunuh hasrat berilmu pengetahuan.
Hal itu menjadi salah satu kegamangan Iwan Pranoto, dari sekian esai-esai lain bertema pendidikan, dalam bukunya Kasmaran Berilmu Pengetahuan. Patut diakui, tidak banyak pemikir pendidikan yang menawarkan gagasan segar, bernas, dan menggaung seperti halnya Iwan Pranoto. Seturut Iwan, buku ini sebentuk tawaran pemahaman, bahwa berilmu pengetahuan mestinya menjadi berkat dan mengasyikkan. Berilmu pengetahuan seperti mengisi teka-teki silang yang tidak gampang, tapi melahirkan penasaran dan ketagihan.
Iwan membuka bukunya dengan esai berjudul "Meragui". Pada era pasca-kebenaran, seliweran informasi membanjir dan berbaur dengan hoaks atau kebohongan. Era pasca-kebenaran membikin seseorang mudah terbujuk dan mempercayai sesuatu. Situasi tersebut, kata Iwan, tidak ada penangkalnya, kecuali kebiasaan berakal serta perangai skeptis atau meragui. Dalam sikap meragui, membuka pikiran pada informasi perlu dibarengi oleh mensyaki informasi tersebut lantaran belum tentu kebenarannya.
Pembahasan sikap meragui kemudian diikuti oleh esai berjudul "Menyelisik Kesahihan". Iwan membicarakan institusi pendidikan seperti berlomba memperbanyak pengetahuan yang harus "disiramkan" ke benak pelajar, tapi abai terhadap kegiatan menyelisik kesahihan argumen. Akibatnya, pengetahuan diajarkan sebagai kumpulan fakta yang cukup diserap pasif dan diyakini teguh pelajar sebagai kebenaran mutlak layaknya mantra sakral. Misalnya, menghafal dalil Pitagoras menjadi lebih diutamakan-karena akan ditanyakan di ujian-ketimbang menyelisik kesahihan argumen yang menurunkan dalil itu.
Untuk itu, bagi Iwan, pergeseran paradigma dari kebenaran ke kesahihan dapat membuahkan konsekuensi perubahan pendekatan guru saat berinteraksi dengan pemikiran murid. Guru akan lebih berhati-hati dalam "menyalahkan" pekerjaan murid. Guru tak cukup menetapkan suatu jawaban murid salah hanya karena beda kunci jawaban di buku ajar. Seberapa pun anehnya jawaban akhir yang dikemukakan murid, guru berupaya memahami bagaimana murid mencapai kesimpulan itu.
Guru tidak lagi berperan sebagai penentu kebenaran atau kesalahan. Guru menjadi pendamping murid dalam berlatih menyusun argumen yang sahih. Dengan iklim semacam itu, penghargaan tinggi pada proses bernalar akan tumbuh. Setiap murid akan percaya bahwa pendapatnya seberharga pendapat guru. Iwan bilang, "Berbeda dengan pengajaran yang mengutamakan kebenaran yang membiakkan sikap dogmatis, kegiatan menyelisik kesahihan akan memijahkan keterbukaan akal."
Di sisi lain, dalam esai "Seputar Karakter Pendidikan", Iwan mendedahkan bahwa istilah pendidikan karakter baginya terlalu berlebihan. Istilah semacam pendidikan karakter dan revolusi mental sudah menjadi bahasa spanduk dan jargon ceramah banal. Iwan mengkritisi pula rumusan karakter atau mental dalam kurikulum yang terlalu muluk, bak mengangankan sekolah melahirkan malaikat. Bagi Iwan sendiri, dibutuhkan rincian karakter yang sederhana, mudah diingat, dan masuk akal untuk dicapai.
Pendidikan sudah sejatinya memperhatikan pertumbuhan karakter. Karakter bukan peranti lunak yang dapat dibeli dan diunduh dari toko daring lalu di-install ke dalam benak murid. Karakter justru berupa benih yang sudah ada dalam diri. Karakter tidak diajarkan, tidak pula diserap. Pendidikan berfungsi menciptakan iklim mendukung agar benih baik itu bertumbuh subur.
Slogan pendidikan karakter hanya berbuntut upaya untuk memorali ilmu pengetahuan. Iwan melacaknya dalam kurikulum. Di matematika, misalnya, tidak dikenal moral jujur. Jika siswa menulis 2 + 3 = 7, itu bukan tak jujur, tapi keliru. Menurut Iwan, memorali ilmu pengetahuan menjadi cerminan dari tandusnya budaya bernalar. Bahkan penalaran kerap dikorbankan demi kesantunan. Proses belajar telah disepelekan menjadi pembiasaan kepatuhan. Murid membeo keterampilan yang dipertontonkan guru. Murid menyalin persis ucapan dan tulisan guru, bukan mencatat gagasan inti untuk bernalar mandiri. Sistem pendidikan sekarang menguntungkan murid penyalin dan penurut.
Pendidikan yang terlalu menceramahkan moral menjurus lalai menumbuhkan kecakapan berpikir kritis dan analitis. Di negara lain, belajar kecakapan bermatematika dengan mempertimbangkan ketersediaan teknologi dalam kehidupan. Sementara itu, pendidikan matematika di sini masih membayangkan kehidupan sebelum ada kalkulator dan komputer. Kita masih menekankan pada keterampilan rutin berpikir tingkat rendah semata, seperti menghafal rumus dan mematuhi prosedur berhitung yang dirumit-rumitkan. Pada saat yang sama, pembangunan keterampilan tak rutin, seperti berpikir kritis, yang tak dapat dikerjakan malah justru diabaikan.
Terakhir, Iwan menulis esai penting berjudul "Keberlanjutan Ilmu Pengetahuan." Iwan meneroka kesungguhan belajar atau penguasaan ilmu pengetahuan direduksi menjadi untuk sekadar alasan karier dan ekonomi. Tertanam citra dalam diri anak bahwa belajar ilmu pengetahuan merupakan keharusan dan beban yang dipikul, dan jauh dari citra kenikmatan. Padahal, kata Iwan, keberhasilan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan tak cukup disokong pekerja terampil semata, tapi juga harus digerakkan oleh anak-anak yang percaya diri, gemar bernalar, dan "menggilai" ilmu pengetahuan, sampai kasmaran.
Kasmaran Berilmu Pengetahuan
Penulis : Iwan Pranoto
Penerbit : Kompas
Cetakan : 2019
Tebal : xxvi+198 halaman
ISBN : 978-602-412-868-5