Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lembaga riset AidData menyoroti proyek kereta cepat sebagai jebakan utang Cina.
Utang tersembunyi pada Cina mencapai 1,6 persen dari PDB 2000-2017.
Pemerintah menganggap utang tersebut sebagai tanggung jawab korporasi.
JAKARTA – Laporan lembaga riset asal Amerika Serikat, AidData, mengungkap risiko besar pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Dalam hasil riset berjudul Banking on the Belt and Road yang terbit pada September lalu itu, AidData menyoroti proyek kereta cepat yang bakal menjebak pemerintah dalam utang besar kepada Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AidData mengelompokkan proyek kereta cepat dalam contoh penyaluran utang terselubung dari Cina yang menjebak negara-negara berkembang. Proyek kereta cepat yang mendapat pendanaan dari China Development Bank (CDB) itu awalnya dijalankan dengan skema business-to-business antara perusahaan Cina dan Indonesia. AidData menilai skema ini tidak ideal karena kereta cepat yang akan difungsikan sebagai transportasi publik bakal membutuhkan dukungan anggaran negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhawatiran itu terbukti setelah Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2021 yang mengubah Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang kereta cepat. Dalam aturan baru itu, Jokowi mengizinkan dukungan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada proyek kereta cepat. Padahal, pada aturan lama, proyek ini tidak akan memakai anggaran negara dan tidak mendapat jaminan negara.
Pekerja mulai memasang rel baja kereta cepat Jakarta-Bandung dengan latar pembangunan Stasiun Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 12 Oktober 2021. TEMPO/Prima mulia
Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, mengatakan persoalan ini dipicu oleh perencanaan yang mentah. “Semuanya dampak dari keputusan yang serba instan dan kejar tayang, sehingga akhirnya memicu pembengkakan biaya,” ujar dia, kemarin.
Menurut Aditya, pemerintah terlalu gampang membuka karpet merah untuk proposal kereta cepat dari Cina. Komitmen pembiayaan tanpa APBN yang disepakati di awal kerja sama itu pun membuat Indonesia terlena. “Karena konsorsium perwakilan Indonesia ternyata badan usaha milik negara (BUMN). Tentu, saat ada masalah, pemerintah harus campur tangan,” kata dia. “Banyak yang sudah menduga proyek ini akhirnya terpaksa memakai APBN.”
APBN akan mengucur dalam dua bentuk. Pertama adalah penyertaan modal negara (PMN) kepada konsorsium BUMN yang menggarap proyek ini. PMN diberikan untuk memenuhi kekurangan kewajiban penyetoran modal (base equity) sekaligus mengatasi pembengkakan biaya proyek. Biaya proyek kereta cepat diperkirakan membengkak dari awalnya US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,52 triliun menjadi US$ 8 miliar atau setara dengan Rp 122,58 triliun. Pembengkakan biaya ini pada akhirnya bakal membebani negara.
Tak cuma dalam proyek kereta cepat, menurut riset AidData, Indonesia juga terjerat utang tersembunyi atau hidden debt kepada Cina sebesar US$ 17,28 miliar (sekitar Rp 245,7 triliun) atau 1,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2000-2017. Tumpukan utang tersebut terkait dengan inisiatif belt and road. Indonesia juga disebut menerima pinjaman senilai US$ 4,42 miliar dalam periode yang sama melalui skema official development assistance (ODA). Selanjutnya adalah pinjaman senilai US$ 29,96 miliar lewat skema other official flows (OOF). Angka ini mendekati rata-rata utang luar negeri Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, yaitu sekitar US$ 20 miliar.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan definisi utang tersembunyi adalah utang yang diberikan Cina kepada Indonesia tanpa melalui pemerintah. Utang diberikan lewat BUMN, bank milik negara, hingga special purpose vehicle (SPV) atau perusahaan milik negara dan swasta. Walhasil, utang tersebut tidak akan muncul dalam neraca utang pemerintah. “Saat ini rasio utang pemerintah yang tercatat 40 persen dari PDB. Padahal kalau dijumlahkan dengan hidden debt rasio utang yang sesungguhnya bisa lebih besar,” katanya. Risiko utang itu, kata Bhima, pada akhirnya juga menjadi beban pemerintah bila terjadi wanprestasi.
Bhima juga mengingatkan ada risiko kontingensi atau risiko yang muncul ketika perusahaan pelat merah mengalami kerugian dalam proyek, sehingga berdampak pada APBN dalam jangka menengah ataupun jangka panjang. Efeknya, kata dia, bisa sangat berat, seperti menambah beban bunga utang setiap tahun serta pelebaran defisit anggaran. “Padahal, ketika konstruksinya selesai, pemerintah masih harus membayar biaya operasional yang tidak mungkin ditutupi dari pendapatan,” ujar dia.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, membantah jika dikatakan Indonesia berada dalam jebakan utang tersembunyi dari Cina. Dia mencontohkan proyek kereta cepat. Menurut Iskandar, dalam surat pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI selaku pimpinan konsorsium BUMN, disebutkan bahwa pemerintah tidak menjamin utang perseroan. “Jika ada perusahaan yang berutang, baik swasta maupun BUMN, itu menjadi tanggung jawab perusahaan karena bukan utang pemerintah,” kata dia.
GHOIDA RAHMAH | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo