Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polemik seputar alih status pegawai KPK menjadi ASN belum berakhir.
Kontroversi bertambah runcing setelah KPK memecat 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta masyarakat mengakhiri polemik tes pegawai KPK ini.
JAKARTA – Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta masyarakat menghentikan perdebatan soal tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai salah satu syarat agar pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi aparat sipil negara (ASN). Menurut dia, tes itu penting dilakukan sebagai penguatan wawasan kebangsaan setiap pegawai pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moeldoko mengajak semua pihak menyudahi energi negatif dan praduga yang dia klaim tidak konstruktif terhadap KPK. “Kita tahu bahwa ini semua sudah final," ujar Moeldoko lewat keterangan video yang beredar kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mempertanyakan kenapa publik hanya meributkan pelaksanaan tes di KPK. Padahal, kata Moeldoko, tes ini juga berlaku di lembaga lainnya. Dalam tes tersebut, ucap dia, banyak pula pegawai yang tidak lolos.
Pegawai yang tidak lolos TWK, tutur Moeldoko, masih bisa mengikuti pendidikan kedinasan. "Terhadap mereka-mereka yang wawasan kebangsaannya masih kurang, bisa melalui pendidikan kedinasan seperti yang diinginkan Presiden," dia menambahkan.
Selain meminta polemik diakhiri, Moeldoko mengimbau agar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dilibatkan dalam menyusun soal TWK bagi ASN. Hal tersebut direkomendasikan Moeldoko agar polemik TWK seperti di KPK tidak terulang. "NU dan Muhammadiyah telah teruji mampu merajut simpul kebangsaan," ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Tempo, video pernyataan Moeldoko tersebut dibuat sebelum KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) memutuskan memberhentikan 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK pada Selasa lalu. Tapi, video ini baru diedarkan kemarin. Saat dimintai tanggapan ihwal keputusan terbaru KPK, Moeldoko tidak menjawab.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 Maret 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Selasa lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan keputusan itu dibuat dengan dalih puluhan pegawai yang diberhentikan tersebut sudah berwarna merah, alias tidak dapat dibina kembali. "Kami sangat memahami bahwa pegawai KPK harus berkualitas. Tidak hanya aspek kemampuan, tapi juga aspek kecintaan kepada Tanah Air," kata Alex.
Keputusan ini pun memancing kecaman dari berbagai kalangan karena dianggap mengangkangi pernyataan Presiden Joko Widodo. Pada 17 Mei lalu, Jokowi menyatakan bahwa hasil TWK terhadap pegawai KPK seharusnya tidak serta-merta dijadikan dasar pemberhentian 75 pegawai KPK.
Kepala Negara mengaku sependapat dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi terhadap UU KPK. Saat itu, Mahkamah menyatakan proses alih status menjadi ASN tak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Jokowi meminta pimpinan KPK, Menteri PAN-RB, serta Kepala BKN merancang langkah tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang tak lolos tes.
Mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas menantang Alexander untuk berdiskusi terbuka tentang isu dan label radikal yang acap kali disematkan kepada pihak tertentu di KPK. Busyro menganggap isu tersebut sebagai urusan yang kumuh, yang semestinya tidak layak digunakan pejabat publik kepada pegawainya sendiri. "Saya tawarkan diskusi terbuka tentang isu dan label politik kumuh itu," kata dia.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana menjelaskan ada tiga kluster indikator yang digunakan tim asesor untuk menyeleksi pegawai KPK. Ketiganya adalah aspek kepribadian; aspek pengaruh; serta aspek Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga kluster ini terdiri atas 22 indikator penilaian.
Adapun 51 pegawai KPK dinyatakan tidak bisa dibina karena dinilai tidak memenuhi ketiga aspek tersebut. "Yang 51 pegawai itu, tiga aspek semuanya negatif," ujar Bima. Hingga berita ini ditulis, Bima tidak kunjung menjawab pertanyaan Tempo perihal sebab seorang pegawai diputuskan tidak bisa dibina.
DEWI NURITA | ANDITA RAHMA | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo