Edisi Minggu, 2 Maret 2014
Ahmad Sahidah,
Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Media sosial Facebook diakui menjadi arena persaingan pendapat dan pendirian. Meskipun ruang status di sini terbatas, tautan (link) dari sebuah kabar, ide, dan berita memungkinkan pengguna bisa melacak informasi lebih utuh. Namun, bagaimana jika tak ada tautan? Silang-sengkarut mendadak merebak. Menjelang haul ke-4 Gus Dur, ada tautan gambar dan pesan Gus Dur di Facebook yang berbunyi: "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur jadi budaya Arab, bukan untuk 'aku' menjadi 'ana', 'sampeyan' jadi 'antum', dan 'sedulur' menjadi 'akhi'… Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya." Serta-merta, pengunggah tautan dan beberapa pemilik akun bersengketa kata-kata dengan sengit.
Secara linguistik, sebuah teks mengandaikan penutur, mitra, dan konteks. Kita bisa membayangkan bahwa pengungkap kata itu adalah Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur. Hanya, mitra atau khalayak dari pernyataan ini masih gelap. Dalam poster itu hanya tertera nama dan masa hidup almarhum, 7 September 1910-30 Desember 2009. Andaikan pernyataan tersebut disampaikan dalam sebuah pengajian muslimat NU di Jawa, kita mafhum. Perempuan Jawa tak perlu menjadi orang "Arab" agar bisa menjadi muslimah yang baik.
Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia