maaf email atau password anda salah

Opini

Khudori,
PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI), ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)

Saat ini kita memasuki era post-modern yang berciri teknologi genome (biologi), nano (fisika), dan informasi. Banyak hal yang dulunya dianggap "takdir" sekarang bisa dibuat dan diintervensi, seperti kloning, teknologi ruang angkasa, dan tanaman transgenik (semangka tanpa biji dan padi berselubung vitamin A). Jarak geografis hampir tidak ada lagi. Dengan Internet, orang bisa bersapa atau berdagang dengan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Orientasi manusia terhadap waktu pun berubah, tidak lagi bekerja 8 jam, melainkan bisa 24 jam seperti para pedagang valas. Keteraturan hilang. Agar survive di era cyber, perlu mentalitas luwes dan inklusif, sehingga mudah beradaptasi tanpa stres.

Sayangnya, sementara dunia beralih ke era cyber, dalam banyak hal manusia Indonesia masih bermental pemburu, salah satunya manusia pertanian (Sarwono, 2006). Bangsa ini punya catatan sejarah panjang di bidang pertanian, dengan sistem sawah yang canggih, seperti Subak di Bali atau sistem irigasi Majapahit. Di perkebunan juga demikian. Gula, misalnya. Pada 1930-an, pabrik gula kita tercatat paling efisien di dunia dan mengalahkan gula Eropa. Proefstation, lembaga riset gula di Pasuruan yang sekarang bernama P3GI, pernah menghasilkan varietas unggul POJ 2878 dan menjadi solusi krisis gula saat itu. Tapi mentalitas pertanian yang maju itu kini justru mundur lagi ke mentalitas pemburu.

Baca Selengkapnya

Berita Lainnya

Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan