Merampas Laut, Menjual Kedaulatan

Pemerintahan baru harus mengubah model pembuatan kebijakan. Hal pertama yang perlu dilakukan: mengoreksi aturan ekspor pasir laut.

Surya Gentha Akmal

Jumat, 18 Oktober 2024

TIDAK satu-dua kali pemerintah membuat kebijakan yang menimbulkan polemik. Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan mengeluarkan dua peraturan menteri yang memicu kontroversi di kalangan pakar lingkungan, aktivis sosial, dan masyarakat: Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 serta Permendag Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur pembukaan keran ekspor pasir laut.

Dua aturan ini kontroversial karena dianggap berisiko memperparah kerusakan ekosistem pesisir dan lautan. Pemerintah berdalih, dua aturan ini diterbitkan sebagai implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Ekosistem pesisir dan laut Indonesia merupakan salah satu yang paling kaya di dunia sekaligus paling rentan. Dengan lebih dari 17 ribu pulau serta garis pantai sepanjang 99 ribu kilometer, Indonesia memiliki berbagai habitat penting, seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun.

Kegiatan penambangan dengan kedok pengelolaan hasil sedimentasi di laut—yang hasil sedimentasinya adalah pasir—sudah pasti akan menyebabkan kerusakan parah pada habitat-habitat tersebut. Kerusakan itu tentu akan mempengaruhi keanekaragaman hayati dan sumber daya ikan yang menjadi mata pencarian banyak komunitas pesisir.

Lebih jauh lagi, pasir laut tidak hanya berfungsi sebagai bahan baku konstruksi, tapi juga menjadi habitat bagi berbagai spesies laut. Pengambilan pasir secara berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kualitas air, pengikisan pantai, dan bahkan perubahan iklim mikro yang berdampak pada komunitas lokal.

Pembukaan kembali ekspor pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut tidak hanya menimbulkan risiko ekologis, tapi juga berpotensi menciptakan konflik sosial di tingkat lokal. Masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut dan pesisir untuk hidup mereka bisa kehilangan akses serta pendapatan. Dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat memperburuk kemiskinan di wilayah pesisir, yang saat ini saja masyarakat sudah terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan.

Mungkin tidak berlebihan jika penulis menyebut apa yang dilakukan pemerintah saat ini sebagai bentuk perampasan sumber daya alam dan penjualan kedaulatan demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Dalam kebijakan ini, pemerintah sama sekali tak mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat.

Pola pembuatan dan pengambilan kebijakan semacam ini juga bukan yang pertama kali dilakukan. Penulis mencatat bahwa pemerintah sering kali mengabaikan perspektif masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Hal ini berisiko menimbulkan ketegangan antara pemerintah dan komunitas, yang bisa mengancam stabilitas sosial di daerah tersebut.

Pemerintah acap kali melahirkan kebijakan yang tidak didukung kajian lingkungan yang komprehensif. Sebelum membuka keran ekspor, seharusnya ada analisis mengenai dampak lingkungan yang mendalam untuk memahami potensi kerusakan yang akan ditimbulkan.

Kekhawatiran penulis diperkuat fakta bahwa banyak negara melarang ekspor pasir laut karena dampaknya merugikan. Australia, Malaysia, dan India mengeluarkan regulasi ketat untuk melindungi ekosistem pesisir mereka, sementara Indonesia justru berbalik arah.

Kebijakan ini juga berisiko mengundang sorotan negatif dari kalangan internasional, terutama organisasi-organisasi lingkungan global. Indonesia bisa dianggap mengabaikan komitmen internasional dalam pelestarian lingkungan, sehingga citra dan hubungan diplomatik negara di tingkat global berisiko terganggu.

Sebagai langkah alternatif, pemerintahan berikutnya—di bawah kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto—harus mengoreksi model pembentukan kebijakannya dengan mengutamakan keterlibatan masyarakat. Masyarakat lokal merupakan penjaga terbaik ekosistem mereka. Dengan melibatkan mereka dalam proses perencanaan, pembuatan aturan, dan pengelolaan, kita tidak hanya melindungi lingkungan, tapi juga memberdayakan komunitas.

Kemudian, kawasan pesisir dan laut bukan hanya sumber daya alam, melainkan juga tempat tinggal bagi jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan. Pembangunan infrastruktur, peningkatan kapasitas nelayan lokal, dan pelatihan keterampilan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Program-program pemberdayaan ekonomi lokal berbasis prinsip keberlanjutan akan membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir, alih-alih pemberian izin penambangan pasir yang hanya menguntungkan oligark.

Indonesia juga perlu memperkuat diplomasi maritim dengan negara-negara tetangga dan komunitas internasional untuk menghadapi tantangan bersama di sektor kelautan. Menjalin kemitraan strategis dan berbagi informasi dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin dalam kebijakan kelautan global.

Kebijakan pembukaan keran ekspor pasir laut menjadi titik tolak penting dalam diskusi mengenai keberlanjutan lingkungan. Langkah ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga identitas, budaya, dan masa depan masyarakat pesisir Indonesia.

Dalam menghadapi tantangan ini, sangat penting bagi pemerintah mendengarkan suara para pakar dan masyarakat lokal, serta mengambil langkah-langkah yang lebih berkelanjutan demi kesejahteraan generasi mendatang.

Kebijakan yang bijak dan berkelanjutan tidak hanya akan melindungi ekosistem pesisir dan lautan, tapi juga menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bangsa yang menghargai alam serta masyarakatnya.

Berita Lainnya