Pentingnya Desentralisasi untuk Transisi Energi

Program transisi energi di Indonesia masih sangat elitis. Perlu upaya desentralisasi energi untuk mewujudkan keadilan sosial.

Yuyun Indradi

Jumat, 20 September 2024

UPAYA transisi energi yang terus digaungkan pemerintah Indonesia masih sangat elitis. Belum terlihat tanda-tanda pelaksanaan program transisi energi di Indonesia yang berjalan secara demokratis dan berkeadilan.

Pidato Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Indonesia International Sustainability Forum pada Kamis, 5 September 2024, menguatkan anggapan bahwa transisi energi hanya berhubungan dengan kelompok elite dalam masyarakat.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa tiga kunci transisi energi bisa berjalan dengan baik. Menurut dia, transisi energi dapat berhasil jika Indonesia mampu menarik investasi dari negara maju, membuka riset dan teknologi secara luas, serta adanya skema pendanaan yang meringankan negara berkembang. Kebutuhan pembiayaan untuk transisi energi Indonesia diperkirakan US$ 281 miliar.

Indonesia memang sedang menggenjot berbagai upaya transisi energi untuk mencapai target nol emisi pada 2060. Pemerintah telah meningkatkan target komposisi energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi menjadi sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Upaya itu, antara lain, meliputi rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, pembangunan pembangkit energi terbarukan, dan perbaikan jaringan transmisi listrik.

Upaya-upaya itu merupakan keniscayaan. Namun pemerintah luput dalam mendorong keterlibatan masyarakat dalam transisi energi. Hal ini terlihat ketika pemerintah memulai skema Comprehensive Investment and Policy Plan dalam konteks Just Energy Transition Partnership. Dalam skema itu, tak ada upaya mendorong masyarakat mulai memproduksi energi sendiri.

Ketidakseriusan pemerintah itu akhirnya mendorong sejumlah lembaga swadaya masyarakat membuat community independent power producers atau pembangkit energi independen berbasis komunitas. Lewat konsep ini, masyarakat di perdesaan diajak untuk membangun dan memiliki pembangkit energi sendiri.

Dalam konteks demokratisasi, upaya itu akan menghadirkan desentralisasi energi. Jika listrik dianggap sebagai public goods atau komoditas publik, statusnya harus bisa disamakan dengan air yang kita konsumsi. Air dikelola oleh perusahaan daerah yang notabene tidak terpusat. Bahkan beberapa desa sudah mulai melakukan pengelolaan air melalui badan usaha milik desa (BUMDes).

Namun, hingga saat ini, berbeda dengan air, penyediaan listrik masih dimonopoli oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Idealnya, jika mengacu pada konsep demokratisasi, pemerintah daerah sampai tingkat desa seharusnya dapat mengelola dan mengusahakan listrik sendiri.

Masalah Akibat Monopoli PLN

Demokrasi energi merupakan konsep yang dimaksudkan untuk melakukan desentralisasi di sektor energi dalam hal akses dan distribusi sekaligus. Lewat konsep ini, penyediaan energi juga bisa diarahkan dengan menolak dominasi bahan bakar fosil yang distribusi sumbernya tidak merata. Masyarakat seharusnya juga diberi ruang untuk bisa berkontribusi dengan menggunakan energi alternatif.

Desentralisasi juga menolak penguasaan akses energi oleh hanya segelintir pihak. Dengan demikian, perwujudan demokrasi energi akan menjamin ketahanan energi yang baik bagi masyarakat, karena tak lagi bergantung pada satu sumber energi tertentu yang dikuasai sebagian kecil pihak.

Dokumentasi tim Trend Asia memperlihatkan bahwa banyak komunitas di sejumlah daerah yang memproduksi energi listrik karena di daerahnya belum tersedia jaringan PLN. Mereka secara mandiri bisa memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Mulai dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro, angin, atau tenaga matahari.

Beberapa daerah di Indonesia, seperti di Batusonggan, Riau; dan Kedungrong, Yogyakarta; menggunakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro sebagai sumber listrik. Turbin yang digerakkan oleh aliran sungai setempat dapat memasok listrik dengan harga yang sangat murah, sekitar Rp 30 ribu per bulan. Beberapa daerah lain, seperti di Nusa Tenggara Barat, menggunakan energi surya melalui solar panel untuk melistriki rumah, sekolah, tempat ibadah, dan bangunan lain.

Tak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, pemanfaatan energi terbarukan berskala komunitas pun dapat membantu kegiatan perekonomian. Sebagai contoh, energi surya dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok tani di Lombok untuk mengeringkan hasil panen seperti kopi, cokelat, dan pisang. Dengan menggunakan solar dryer dome, hasil panen dapat kering dua kali lebih cepat ketimbang pengeringan biasa.

Sayangnya, upaya-upaya pemanfaatan energi terbarukan yang diinisiasi komunitas kerap menghadapi tantangan, seperti sulitnya pendanaan, kekurangan sumber daya manusia, dan biaya perawatan yang besar. PLN pun menjadi faktor yang mematikan pemanfaatan energi terbarukan oleh komunitas. Di Kalimantan Barat, pernah ada 14 mikrohidro yang beroperasi di daerah Sintang, tapi kini tinggal tersisa satu, karena 13 lokasi lain sudah dimasuki jaringan PLN.

Hal yang sama terjadi di Subang, Jawa Barat. Masyarakat, melalui koperasi, sudah mengusahakan listriknya dengan mikrohidro. Namun inisiatif komunitas itu akhirnya mati setelah jaringan listrik PLN masuk. Fakta itu memunculkan persepsi bahwa PLN menganggap masyarakat yang mengupayakan energi sendiri sebagai pesaing. Banyak kasus ketika masyarakat mau membangun mikrohidronya sendiri, PLN tiba-tiba membangun tiang listrik di desa itu.

Kehadiran PLN yang kontraproduktif dengan upaya transisi energi juga terlihat dari penggunaan panel surya atap. Banyak vendor yang angkat tangan karena sulit menembus perizinan ke PLN. Kita bisa mendaftar, tapi pengadaan meterannya menunggu sampai bertahun-tahun, seperti menunggu giliran naik haji.

PLN seharusnya mendorong masyarakat menggunakan energi alternatif. Namun keadaan menjadi ruwet ketika masuk kepentingan pengusaha yang memasok batu bara ke PLTU PLN. Sialnya, pemerintah pun justru lebih berpihak kepada para pengusaha dan lebih mengutamakan kepentingan mereka. Hal ini terlihat dari kondisi kelebihan pasokan listrik yang menghantui PLN dalam satu dekade terakhir.

Kelebihan listrik ini, mau tak mau, harus ditampung dalam jaringan PLN. Sebenarnya, hal ini tidak sepenuhnya buruk, terutama untuk menjaga ketersediaan dan ketahanan pasokan listrik di Indonesia. Sayangnya, kondisi oversupply tidak membawa keuntungan, malah justru menyebabkan kerugian finansial yang signifikan. Hanya para oligark batu bara yang menikmati kondisi ini.

Indonesia mungkin dapat mencontoh pengelolaan energi di Yunani. Harga listrik di negara itu termasuk yang paling mahal di wilayah Eropa. Dengan kondisi ini, masyarakat berinisiatif menghasilkan energi sendiri, didukung oleh adanya undang-undang mengenai komunitas energi sejak 2018, dan diperbarui pada 2023. Amendemen ini memperluas definisi komunitas energi, sehingga memudahkan koperasi lokal untuk menghasilkan energi terbarukan. Pada ujungnya, masyarakat pulalah yang memetik manfaatnya.

Berita Lainnya