Gimik Politik Kabinet Zaken
Kabinet zaken ala Prabowo Subianto masih akan melibatkan unsur partai. Tidak bebas kepentingan dan hanya pencitraan.
SINYAL dari presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk membentuk kabinet zaken yang diisi oleh para profesional masih terlalu samar untuk dipercaya. Demi menghindari kekecewaan, hingga pengumuman kabinet pada Oktober nanti, kita bisa menganggap hal ini sekadar gimik politik.
Kabinet zaken, atau kabinet karya, idealnya terdiri atas individu yang ahli di bidang masing-masing, dengan syarat utama independensi dari pengaruh politik. Namun justru syarat ini yang tampaknya sulit terpenuhi. Indikasi yang ada menunjukkan bahwa meskipun Prabowo mungkin akan memasukkan profesional, keterkaitan mereka dengan partai politik pendukungnya tetap kuat.
Mewujudkan kabinet zaken yang murni hampir mustahil bagi Prabowo. Koalisi gemuk partai politik yang mengusungnya pasti memiliki kepentingan untuk memasukkan kader partai ke kabinet. Ini adalah pola yang terus berulang dari satu presiden ke presiden sebelumnya.
Jika kabinet zaken yang dimaksudkan hanya memilih ahli tanpa mempertimbangkan aspek independensinya, ini tidak lebih dari strategi pencitraan politik. Kompetensi calon menteri saja tidak cukup. Independensi sangat diperlukan untuk mencegah konflik kepentingan dan korupsi, serta untuk memastikan kinerja pemerintah yang optimal.
Sudah banyak contoh bagaimana menteri yang berasal dari partai justru menambah kerumitan. Pada era Presiden Joko Widodo, misalnya, Menteri Perdagangan yang berasal dari partai politik kerap mengubah kebijakan hanya dalam hitungan hari. Itu jelas menciptakan kebingungan bagi dunia usaha dan masyarakat. Di sektor komunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dipimpin oleh politikus partai juga pernah terlibat skandal proyek yang diduga menjadi "bancakan" politik.
Masalah yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo adalah koalisi partai pendukung yang terlalu besar. Untuk mengakomodasi semuanya, ada rencana penambahan jumlah kementerian/lembaga, dari 34 menjadi 44. Kementerian koordinator akan bertambah dua, menjadi enam kursi, dan lembaga baru, seperti Badan Imigrasi serta Badan Lembaga Pemasyarakatan, akan dibentuk. Kementerian BUMN bahkan direncanakan berubah status menjadi lembaga tersendiri.
Selain mengindikasikan gejala bagi-bagi kekuasaan yang teramat kuat, penambahan jumlah kursi kabinet yang ugal-ugalan jelas akan memperberat beban anggaran. Mendirikan kementerian baru berarti membangun infrastruktur dan menambah fasilitas untuk menteri serta pejabat tinggi lainnya. Ini akan membebani anggaran negara yang sudah terbebani dengan utang jatuh tempo sebesar Rp 800 triliun per tahun mulai 2025.
Indonesia akan menghadapi tantangan ekonomi berat ke depan. Perubahan cepat dalam siklus ekonomi global berpotensi menciptakan kerentanan. Stabilitas makroekonomi harus dijaga, dan untuk itu, diperlukan menteri-menteri yang tidak hanya profesional, tapi juga bebas dari kepentingan politik.
Sebaiknya Prabowo lebih berfokus pada efisiensi dan efektivitas kementerian yang sudah ada. Perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang menjadi hambatan bagi ekonomi sehingga pertumbuhan bisa digenjot. Dengan boros-boros anggaran dan politik bagi-bagi kursi, target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Prabowo bisa menjadi mimpi belaka.