Anomali Pranoto Mongso

Cuaca makin tidak dapat diprediksi, bencana pun mengintai. Kearifan lokal bisa jadi jalan keluar.

Toto Subandriyo

Jumat, 19 Juli 2024

SAAT ini kita perlu kembali menengok hati nurani agar mampu memahami bahasa alam yang sulit kita terjemahkan beberapa tahun terakhir. Peradaban yang berjalan harmonis berabad-abad dan kearifan lokal (local wisdom) yang dipegang teguh oleh masyarakat rasanya kini menjadi sesuatu yang sangat asing bagi kita. Semuanya telah berubah.  

Sebut saja satu contoh kearifan lokal tersebut tentang aturan waktu musim (pranoto mongso). Aturan waktu ini tercatat pertama kali diterapkan oleh Karaton Surakarta. Pada 22 Juni 1856, Raja Pakoeboewono VII memberikan patokan bagi para petani agar tidak mengalami kerugian usaha tani mereka dalam bentuk pranoto mongso. Dalam perkembangannya, aturan waktu musim ini tidak hanya menjadi pedoman masyarakat Jawa, tapi juga masyarakat Sunda (pranata mangsa) dan Bali (kerta masa).

Selama berabad-abad, nenek moyang kita percaya bahwa Desember adalah bulan “gedhe-gedhene sumber” (curah hujan terbesar), sementara bulan Januari diyakini sebagai masa “hujan turun sehari-hari”. Dalam kurun waktu Desember-Januari, curah hujan mencapai puncak. Banjir besar biasa terjadi pada rentang waktu ini. Namun, yang terjadi sekarang, aturan musim tersebut mengalami anomali, jauh dari pakemnya.

Pada Desember 2009, misalnya, curah hujan sangat sedikit. Akibatnya, Federasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (FP3A) Kedung Ombo mengusulkan hujan buatan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Teknologi modifikasi cuaca tersebut diperlukan agar tanaman padi musim tanam gadu tidak mengalami gagal panen.

Sebaliknya, pada akhir Maret 2010, yang dalam pakem pranoto mongso seharusnya masa “mongso marengan” (akhir musim hujan), justru terjadi banjir besar di jantung ketahanan pangan republik. Puluhan ribu hektare tanaman padi di Karawang, Jawa Barat, daerah lumbung beras negeri ini, terendam banjir.  

Baru-baru ini, pada Juli 2024, bencana banjir justru terjadi di beberapa daerah. Banjir besar melanda Cirebon (Jawa Barat) dan Bolaang Mongondow Selatan (Sulawesi Utara). Bahkan, pada awal Juli, banjir juga merendam 48 rukun tetangga di Jakarta.

Upaya Komprehensif

Saat ini perdamaian dan peradaban dunia tengah terancam oleh fenomena pemanasan global yang memicu perubahan iklim. Beberapa tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa mempublikasikan laporan bertajuk “Bersama Memerangi Dampak Perubahan Iklim dalam Sebuah Dunia yang Terpenggal”.

Menurut laporan tersebut, penyebab utama pemanasan global kemungkinan 90 persen (very likely) adalah aktivitas manusia. Dengan demikian, tanpa aksi kolektif dan adil secara global, tak satu pun negara di dunia akan menang dalam perang melawan pemanasan global. 

Bagaimanapun dunia ini bukanlah kumpulan obyek-obyek yang terpisah, melainkan merupakan satu kesatuan jaringan yang berhubungan dan bergantung satu sama lain secara fundamental (Fritjof Capra, 2001). Pembangunan seyogianya dilaksanakan tanpa ada yang dirugikan, baik manusia maupun alam.

Fenomena pemanasan global ini antara lain dipicu oleh meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida di lapisan atmosfer yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil serta alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomi. Selain itu, disebabkan oleh aktivitas pertanian yang meningkatkan konsentrasi gas metana dan dinitrogen oksida.  

Sektor paling dirugikan dari fenomena krisis iklim ini adalah sektor pertanian. Petani tanaman pangan, pekebun, dan petani hortikultura kebingungan menghadapi perilaku iklim yang sulit diprediksi. Proyeksi kerugian finansial yang akan diderita petani di Jawa akibat perubahan iklim mencapai Rp 136,2 triliun per tahun (Greenomics Indonesia, 2008).

Pemanasan global sebenarnya dapat dicegah jika tindakan ramah lingkungan menjadi pola hidup kita sehari-hari. Dimulai dari hal paling sederhana, misalnya saat bepergian selalu menggunakan transportasi umum dan kendaraan berbahan bakar gas atau biofuel. Untuk kehidupan di dalam rumah/kantor, hal yang dapat dilakukan adalah mematikan listrik jika tidak digunakan, mengganti bohlam lampu dengan lampu fluorescent, tidak membiarkan pintu kulkas terbuka terlalu lama, menggunakan chiller dengan refrigeran non-CFC, mematikan komputer bila akan rapat atau makan siang, dan sebagainya.  

Bangunan rumah/kantor sebaiknya didesain dengan sirkulasi udara yang baik, menggunakan pagar dari tanaman hidup di sekeliling rumah, dan menanam pohon sebanyak-banyaknya. Saat berbelanja sedapat mungkin menghindari penggunaan tas plastik; melakukan daur ulang sampah, kertas, dan kaleng bekas; serta membiasakan tidak membakar sampah di pekarangan rumah. Hingga pada kegiatan yang lebih besar, misalnya pembukaan lahan untuk perkebunan/pertanian tanpa pembakaran.

Menanam vegetasi di setiap jengkal tanah serta membuat sumur-sumur resapan dan danau buatan (embung) merupakan upaya yang dapat melestarikan siklus air. Sumur resapan merupakan alternatif terbaik untuk menampung air hujan karena dapat dilakukan hampir di semua tempat. Sumur dengan diameter 1 meter dan kedalaman 5 meter mempunyai luas permukaan 20 kali lebih besar daripada tanah yang datar.

Pendek kata, hanya dengan kearifan dan upaya komprehensif yang berkelanjutan, kita dapat terhindar dari berbagai bencana hidrometeorologi. Bagaimanapun, tindak perusakan lingkungan demi kepentingan ekonomi sesaat merupakan tindakan bunuh diri secara ekologis. Saatnya kini semua kembali pada hati nurani dan akal sehat untuk menyelamatkan peradaban di bumi.

Berita Lainnya