Kelimpungan Didera Anomali Cuaca
Ramainya warung kopi berbanding terbalik dengan kondisi petani. Riset BRIN di Jawa Barat mendapati produksi petani kopi anjlok.
Tempo
Sabtu, 1 Juli 2023
Kopi merupakan salah satu jenis tanaman primadona di Indonesia. Sebagai negara pengekspor kopi terbesar keempat di dunia—setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia—biji kopi asal Indonesia menjangkau negara-negara Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat. Minum kopi pun menjadi bagian gaya hidup masyarakat Indonesia, ditandai dengan tumbuhnya kafe-kafe baru di berbagai daerah.
Bermacam fakta di atas seharusnya berdampak positif bagi petani sebagai satu aktor utama dalam mata rantai penjualan kopi. Namun penelitian kami di Jawa Barat nyatanya menunjukkan hasil yang miris.
Setelah bergulat dengan penurunan permintaan pada masa pandemi, para petani kopi langsung disambut dengan dampak perubahan iklim yang kian nyata. Produksi mereka pun turun drastis.
Lepas Masa Pandemi, Diterjang Anomali Cuaca
Kami melaksanakan wawancara terstruktur dan mendalam dengan 219 responden petani kopi di Jawa Barat pada 2022. Provinsi ini banyak menerapkan kegiatan perhutanan sosial berbasis kopi.
Menurut para responden kami, pandemi tidak menghalangi aktivitas petani dalam kegiatan budi daya sampai pemanenan. Namun pembatasan aktivitas masyarakat membuat permintaan kopi menurun, khususnya oleh kafe-kafe sebagai salah satu pembeli kopi mentah dari petani.
Dampaknya: harga jual kopi menurun, pun pendapatan petani. Di puncak masa pandemi pada 2021, misalnya, ceri kopi para petani yang biasanya dihargai hingga Rp 9.500 per kilogram hanya laku di kisaran Rp 5.000 per kilogram. Meredanya pandemi pada 2022 tak terlalu mengubah keadaan. Pasalnya, pertanian kopi mulai terimbas perubahan iklim.
Petani memanen kopi Arabika di Palintang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 24 Mei 2023. TEMPO/Prima mulia
Studi memperkirakan perubahan iklim menurunkan produktivitas pertanian di negara berkembang 10-20 persen selama 40 tahun ke depan. Menurut kajian tim peneliti BRIN, salah satu dampak perubahan iklim di Indonesia adalah durasi musim hujan menjadi lebih panjang. Lamanya bisa mencapai 49 hari di Indonesia bagian selatan.
Kondisi cuaca yang tidak menentu, misalnya hujan ekstrem pada musim kemarau, menyebabkan sebagian kopi gagal berbunga. Imbasnya, kopi gagal berbuah sehingga angka produksi menurun drastis.
Meskipun secara nasional jumlah produksi kopi meningkat, para petani yang kami wawancarai di Jawa Barat, seperti di Kabupaten Garut, Bandung, dan Ciamis, menyatakan produksi mereka menurun 20-80 persen.
Pertumbuhan produksi nasional didominasi produksi kopi dari Sumatera. Daerah tersebut bisa jadi memiliki perbedaan iklim mikro dengan petani di Jawa Barat.
Penurunan produksi sebenarnya membuat suplai menipis di pasar sehingga mengerek naik harga produk kopi. Sayangnya, banyak petani yang tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Anjloknya hasil panen karena perubahan iklim sulit diperbaiki karena akses mereka ke pupuk masih terbatas.
Pada saat masa pandemi, pupuk tersedia dengan harga normal. Namun pupuk tidak terjangkau karena pendapatan petani menurun sehingga belanja lebih difokuskan untuk konsumsi rumah tangga.
Sebaliknya, pasca-masa pandemi, pupuk menjadi susah diperoleh. Kalaupun ada, harganya lebih mahal. Pupuk yang paling banyak dibutuhkan oleh petani kopi berjenis urea dan NPK.
Ada beberapa masalah yang menjadi biang keladi. Dunia memang tengah mengalami krisis pupuk akibat perang Rusia-Ukraina. Sebab, Rusia merupakan penyuplai 30 persen fosfor dan kalium yang menjadi bahan baku NPK.
Wawancara kami juga menemukan masalah distribusi pupuk subsidi yang diduga tidak tepat sasaran. Ini terlihat dari bagaimana petani yang berhak menerima pupuk dengan harga subsidi harus membayar dengan harga normal karena pupuk subsidi tidak tersedia. Sementara itu, suplai justru tersedia bagi kelompok tani lain di daerah yang sama yang tak membeli pupuk.
Pekerjaan Rumah untuk Pemerintah
Permasalahan budi daya yang dihadapi petani selama dan pasca-masa pandemi, ditambah dampak perubahan iklim, membuat petani kopi kelimpungan. Studi pun mengamini petani swadaya di negara berkembang kerap kesulitan mengatasi dampak perubahan iklim karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk mencari pemasukan tambahan demi menjamin kesejahteraan keluarga mereka.
Karena itu, perlu campur tangan pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi.
Pemerintah, misalnya, perlu memperkuat pengawasan untuk memastikan distribusi pupuk tepat sasaran. Titik-titik kerawanan penyimpangan perlu diberantas. Perlu ada sanksi tegas terhadap penyalahgunaan penyaluran pupuk bersubsidi.
Petani memanen kopi Arabika di Palintang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 24 Mei 2023. TEMPO/Prima mulia
Di sisi lain, kelembagaan petani juga perlu penguatan. Berdasarkan wawancara, saat ini posisi tawar petani dalam penentuan harga jual kopi sangat rendah. Pembeli, yang mayoritas pedagang besar, memiliki kuasa yang besar dalam menentukan harga. Lantaran margin yang kecil, petani hanya sedikit merasakan manfaat kenaikan harga kopi. Sebaliknya, adanya penurunan harga akan langsung menghantam perekonomian mereka karena minimnya modal usaha untuk memupuki tanaman.
Karena itu, perlu dibentuk lembaga yang berfungsi menstabilkan harga kopi di tingkat petani, misalnya dengan menampung produk pada saat panen raya.
Meski demikian, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dan instabilitas harga jual dan harga sarana produksi pertanian tidak selamanya dapat bergantung pada pemerintah. Petani harus didorong untuk meningkatkan nilai tambah produk kopi mereka dengan pengolahan lanjutan.
Pengolahan produk memberikan dua keuntungan sekaligus. Pertama, meningkatkan harga jual dan margin keuntungan yang lebih besar. Kedua, adanya penyerapan tenaga kerja selama proses pengolahan kopi meliputi proses pengupasan, pengeringan, pembuatan bubuk kopi, bahkan penjual produk kopi siap saji.
Pemerintah dan swasta dapat membantu penyediaan mesin pengolah kopi dengan skema hibah atau pinjaman berbunga rendah. Perlu bantuan lembaga keuangan resmi pemerintah selama proses ini. Soalnya, petani cenderung langsung menjual kopi setelah panen untuk mendapatkan uang tunai.
Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan. Bukan tidak mungkin hal yang sama menimpa petani-petani kopi lain di Indonesia. Yang dapat kita lakukan adalah beradaptasi dan meredam dampaknya serta meningkatkan ketangguhan petani kecil kita.
---
Artikel ini ditulis oleh Ary Widiyanto, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.