Larangan Menikah Selama Masa Kontrak Kerja

Setiap Kamis dwimingguan, Koran Tempo dan Konde.co bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Koalisi Advokat Keadilan Gender, dan Kalyanamitra menyajikan rubrik khusus untuk menjawab persoalan hukum perempuan. Kali ini tentang larangan menikah selama masa kontrak kerja.

Tempo

Kamis, 23 Juni 2022

Pertanyaan:

Saya melamar pekerjaan di perusahaan swasta. Saya kaget karena salah satu persyaratannya adalah tidak boleh menikah selama masa kontrak dua tahun. Apa yang harus dilakukan karena saya segera menikah awal tahun depan? Apakah perusahaan melanggar undang-undang?

Dinar,
Jakarta


Jawaban:

Halo Dinar, terima kasih atas pertanyaannya. Saya mencoba membantu menjawab permasalahan Anda.

Menikah merupakan hak dasar atau hak asasi setiap orang. Sejumlah landasan hukum mengatur hal ini, di antaranya: Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 menyebutkan, laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan, atau agama, berhak menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di masa perkawinan dan di saat perceraian. 

Dalam Pasal 23 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga disebutkan bahwa hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.

Begitupun dalam Pasal 28 huruf B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Isinya, setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pada ayat (2) menyatakan, perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ada hal yang mengatur secara baku mengenai larangan menikah. Dalam Pasal 153 ayat (1) huruf d disebutkan, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh menikah. Hal ini bahkan dikuatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 yang menguji Pasal 153 ayat (1) terhadap frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan tersebut menyatakan bahwa frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, pengusaha tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan ikatan perkawinan. Atau dengan kata lain, pengusaha dilarang memberlakukan larangan pernikahan antar-sesama pekerja dalam suatu perusahaan.

Ilustrasi pencari kerja. Dok Tempo/Dasril Roszandi

Perjanjian atau Persetujuan dalam Kontrak

Menurut pendapat ahli perdata R. Subekti, antara “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak” memiliki istilah yang berbeda. Kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (Subekti, 1996).

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberi rumusan kontrak atau perjanjian. Disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 

Jika melihat aspek perikatan dalam hukum keperdataan, terdapat asas-asas hukum perikatan yang harus dipahami. Salah satunya asas kebebasan berkontak dan asas konsensualisme. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam pasal ini disebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Adapun asas konsensualisme artinya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat dan setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang diadakan tersebut. Asas ini tercantum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. 

Dengan demikian, apabila perusahaan menerapkan peraturan mengenai larangan menikah selama masa kontrak dalam dua tahun, perihal tersebut merupakan bagian dari peraturan perusahaan yang dibuat dan diterapkan oleh pekerja.

Apakah perusahaan melanggar undang-undang?

Mengenai dasar hukum peraturan perusahaan, menurut Pasal 111 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban pekerja/buruh, syarat kerja, tata tertib perusahaan, dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. Perihal larangan menikah selama masa kontrak dua tahun sebagai syarat kerja, hal tersebut sah-sah saja apabila diterapkan oleh perusahaan.

Namun, kembali lagi pada perjanjian kerja seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang salah satunya adalah adanya kata "sepakat". Apabila salah satu pihak menyatakan tidak sepakat karena adanya peraturan larangan menikah selama masa kontrak dua tahun, perjanjian tersebut tidak terpenuhi. Kecuali ada tindakan memaksa terhadap para pihak, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Selama belum terealisasinya perjanjian tersebut yang dilakukan oleh saudara, itu tidak masalah. Sebab, hal tersebut kembali lagi pada saudara sendiri, apakah melakukan hubungan kerja dengan si pemberi kerja atau tidak. Adapun hal yang melanggar undang-undang adalah ketika saudara sudah bekerja lalu perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan alasan saudara akan menikah.

Demikian pendapat hukum yang saya sampaikan.

Mona Ervita,
Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

Berita Lainnya