Proyek Food Estate, Mengulang Kesalahan Soeharto
Bila fungsi alami gambut hilang tersebab pertanian monokultur skala besar, ekosistem pun terganggu.
Tempo
Jumat, 24 September 2021
Proyek lumbung pangan padi atau food estate seluas 30 ribu hektare telah berjalan di Kalimantan Tengah. Namun pertanian monokultur skala besar itu perlu ditinjau ulang. Sebab, jika proyek pertanian itu gagal panen, maka petani yang bermitra dengan pemerintah akan merugi. Belum lagi, alih guna lahan berisiko besar bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Peneliti Pantau Gambut Agiel Prakoso menjelaskan, penanaman jenis tumbuhan seragam dalam pertanian lumbung pangan cenderung bermasalah. Salah satunya, rentan diserang hama dan penyakit tanaman. “Ini mendorong penggunaan bahan kimia untuk mengendalikannya, yang akhirnya berakibat pencemaran lingkungan,” katanya, beberapa waktu lalu.
Wilayah tutupan pohon juga berkurang. Alih fungsi lahan ini akan memicu berbagai bencana yang menjadi sumber penderitaan warga sekitar. Bila fungsi alami gambut hilang tersebab pertanian monokultur skala besar, ekosistem pun terganggu.
Situasi itu dinilai sebagai ancaman. Diantaranya, kepunahan habitat satwa dan tumbuhan endemik gambut. Banjir di Kalimantan Tengah adalah contoh bencana yang timbul dari kerusakan lingkungan itu. Belum lagi kebakaran hutan dan lahan. Serta, peristiwa nahas lainnya yang bisa dialami masyarakat setempat karena kehilangan ruang hidupnya.
Agiel menambahkan penanaman monokultur membuat lahan tak memiliki stratifikasi dan kerapatan tajuk. “Keadaan itu membuat kelembapan mikro hilang. Sehingga gambut menjadi kering rentan terbakar,” ucapnya.
Bahaya monokultur skala luas merujuk pada kerusakan lingkungan yang terjadi di Rawa Tripa, Aceh. Alih guna kawasan Rawa Tripa jadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kehancuran habitat endemik orang utan Sumatera (Pongo abelli). Kerusakan hidrologi kawasan tersebut juga merugikan masyarakat setempat yang hidupnya bergantung di hutan gambut.
Indonesia adalah negara yang memiliki lahan gambut tropis terbesar kedua di dunia. Luas gambut sekitar 13,43 juta hektare. Adapun 36 persen lahan gambut tropis di dunia berada di Indonesia. Area gambut ini menyimpan sekitar 30 persen hingga 40 persen deposit karbon tanah global. Berarti, sebagai salah satu penyimpan karbon terbesar di dunia, Indonesia berkontribusi terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.
Lahan Pertanian Belanti Siam Berpirit. Dok: Walhi Kalimantan Tengah
Tak seluruh lahan gambut layak dimanfaatkan untuk pertanian. Sebab, lahan gambut cenderung memiliki tingkat kesuburan rendah, kadar asam (ph) yang tinggi, juga lapisan pirit yang beracun jika terbuka. Hanya lahan gambut budidaya dengan kedalaman dangkal saja yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Namun, itu pun ada banyak persyaratan. Diantaranya harus dilakukan tanpa drainase serta penanaman tumbuhan yang ramah gambut. Pertanian juga tidak bisa dibuat skala luas.
Sementara, pertanian skala besar seperti food estate di lahan gambut tidak hanya berbiaya besar. “Tapi juga tidak akan menghasilkan produksi panen (padi) yang optimal seperti di lahan mineral,” kata Oriz Anugerah Putra, selaku peneliti dari Pantau Gambut.
Oriz menambahkan, produksi padi di lahan gambut hanya seperempat atau satu pertiga hasil produksi di lahan mineral. Bila gambut dipakai jadi pertanian besar-besaran akan berisiko membuka kandungan pirit. “Kondisi itu akan mencemari tanah dan sumber air di sekitarnya,” ucapnya.
Selain potensi kegagalan yang besar, kata dia, proyek food estate bukti Indonesia tidak serius memenuhi komitmen Persetujuan Paris. Padahal Indonesia telah sepakat menurunkan emisi karbon untuk mengurangi risiko perubahan iklim. Sedangkan alih guna lahan justru menyebabkan emisi karbon dalam gambut terlepas menuju atmosfer.
Pengalaman menunjukkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektare era pemerintahan Soeharto gagal. Pada 1995, proyek pembangunan Orde Baru dilakukan untuk memenuhi ambisi Soeharto mewujudkan swasembada pangan. Belakangan terbukti, lahan gambut tak cocok ditanami padi.
Proyek tersebut juga menyebabkan tutupan pohon hilang dengan skala yang sangat besar. Dampaknya, berbagai bencana lingkungan, sosial, dan budaya sampai sekarang. Padahal perubahan besar-besaran itu terjadi hanya dalam kurun tahun 1995 hingga 1997.
Proyek Strategis Nasional rezim Joko Widodo ini berpotensi mengulang masalah. Merujuk pada riwayat kerusakan lingkungan pada proyek-proyek sebelumnya. Bencana masif belakangan ini membuktikan kerusakan lingkungan parah terjadi sebagai imbas dari proyek pangan Orde Baru.
Proyek Soeharto itu tak hanya menghancurkan ekosistem rawa gambut, tapi juga seluruh fungsi sosial, ekologi, dan budaya. “Bahkan, krisisnya pun sulit dipulihkan sampai saat ini,” kata Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas.