Kunci Pengembangan OMAI pada Penggunaan Program JKN

Keberpihakan terhadap OMAI tak hanya dari pemerintah, tetapi juga harus di dukung oleh para dokter yang meresepkan

Tempo

Sabtu, 27 Maret 2021

Keberpihakan terhadap Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) untuk masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus mendapatkan dukungan. Dukungan tersebut mengemuka dalam Webinar Series ke-2 yang digelar Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) bertema “Ketahanan dan Kemandirian Kesehatan Indonesia” pada Kamis, 25 Maret 2021.

Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan salah satu prioritas riset nasional adalah OMAI dengan target obat-obatan fitofarmaka atau telah teruji klinis.

Namun untuk mencapai fitofarmaka, menurut Bambang, tidaklah mudah dan memerlukan tahapan yang cukup panjang agar obat aman dikonsumsi dan memiliki efikasi yang memadai sesuai persyaratan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI.

“Inilah yang membuat sampai hari ini belum banyak OMAI yang fitofarmaka. Kuncinya harus ada pengadaan dari pemerintah. Produsen ini kan, kalau mau sampai ke fitofarmaka dari OMAI, tadi itu kan riset mahal. Kalau risetnya mahal, pasti berharap return yang besar. Return yang besar kalau ada market yang besar, obat-obat itu harus masuk JKN. Ini yang sampai saat ini belum,” kata menteri bergelar guru besar itu.

“Kalau makin banyak pesanan dari JKN untuk keperluan BPJS dan juga satu lagi yang paling penting kesadaran dari dokter-dokter sendiri. Tentunya kita harapkan kalau sudah lolos uji klinis, dokter-dokter juga punya keberpihakan untuk memakai OMAI itu sendiri,” ujarnya menambahkan. Bambang menekankan, sudah saatnya Indonesia mandiri dalam pengadaan obat-obatan.

Sementara, Wakil Menteri Kesehatan dr Dante Saksono Harbuwono menanggapi bahwa pada dasarnya Kementerian Kesehatan melakukan pendampingan terhadap OMAI melalui beberapa hal yakni mempunyai Good Laboratorium Practice (GLP), Good Manufacturing Practice (GMP), dan Good Clinical Practice (GCP).

“Jadi kalau tiga itu kita lakukan pendampingannya maka tidak ada keraguan. Persis yang disampaikan oleh Pak Bambang Brodjonegoro, bahwa bagaimana keberpihakan kita setelah melakukan pendampingan tiga hal itu, bagaimana kita menggunakan obat-obatan tersebut, obat-obatan tersebut harus ada di listing e-katalog, listing JKN, dan formularium obat-obatan sehingga pemakaiannya lebih baik,” ujar dr. Dante.

Pimpinan Dexa Group Bapak Ferry A Soetikno menyampaikan pembelajaran dari Covid-19 terkait masalah supply shock yang terjadi pada awal 2020 sampai dengan pertengahan 2020, di mana kita melakukan impor bahan baku obat dari mancanegara.

“Itulah kata kunci yang harus disepakati bahwa urgensi untuk membangun kemandirian ini tidak bisa ditawar lagi, urgensi ini bisa dibangun bersama,” ucap Ferry.

Urgensi ini yang kemudian diwujudkan Dexa Group sejak awal tahun 2000 dengan membangun industri bahan baku obat herbal di Indonesia. Dexa Group telah mengembangkan bahan baku obat herbal dari biodiversitas yang hanya ada di Indonesia dengan basis riset dan juga didukung dengan medical evidence based.

Beberapa obat fitofarmaka yang dihasilkan Dexa Group adalah Stimuno berbahan baku meniran untuk imunomodulator, Inlacin berbahan baku kayu manis dan daun bungur untuk pasien diabetes, Redacid berbahan baku kayu manis sebagai obat gangguan lambung, dan Disolf berbahan baku cacing tanah sebagai obat untuk memperlancar sirkulasi darah.

 

Info Tempo

 

Berita Lainnya