JAKARTA – Butuh waktu lima tahun bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Richard Joost Lino, tersangka korupsi pemeliharaan dan pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) twinlift atau derek kembar bongkar-muat peti kemas di PT Pelindo II. Komisi antirasuah itu menahan Lino selama 20 hari di Rumah Tahanan Negara Klas I Cabang KPK.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan lembaganya butuh waktu lama menahan mantan Direktur Utama PT Pelindo II itu karena terhambat penghitungan kerugian negara. Menurut Alex, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kesulitan menghitung kerugian negara akibat korupsi proyek tiga unit QCC di PT Pelindo II sejak 2015 itu karena tak adanya dokumen atau harga pembanding dari PT Hua Dong Heavy Machinery Co Ltd (HDHM). Proyek tiga unit crane tersebut digarap perusahaan asal Cina ini lewat penunjukan langsung di Pelindo II.
Sejak Lino ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2015, kata Alex, KPK berupaya meminta dokumen harga lewat kedutaan Cina. Alex menyebutkan KPK pernah menerima kunjungan Inspektorat Cina untuk membahas hal tersebut. Alex menuturkan, saat itu KPK menyampaikan kepada Inspektorat Cina bahwa penyidiknya membutuhkan harga QCC yang dijual PT Hua Dong.
Bahkan, dia melanjutkan, Laode Syarif dan Agus Rahardjo, dua pemimpin KPK, pada 2018 berangkat ke Cina dan dijanjikan bisa bertemu dengan menteri atau jaksa agung di sana. “Tapi, saat-saat terakhir ketika mau bertemu, dibatalkan," ujar Alex, kemarin.
Tak adanya dokumen harga pembanding itulah yang memperlambat KPK mendapatkan penghitungan kerugian negara. Sebab, kata Alex, BPK menuntut adanya dokumen pembanding harga untuk menghitung kerugian negara. Menurut dia, misalnya PT Hua Dong menjual crane ke negara lain, bisa diketahui perbandingan harganya. “Sehingga bisa menjadi dasar penghitungan adanya kerugian negara," ujar Alex.
Walhasil, KPK mengakali hambatan itu dengan meminta keterangan ahli dari Institut Teknologi Bandung. KPK percaya ahli dari ITB dapat menghitung harga pokok produksi dari crane tersebut. Dari penghitungan itu ditemukan adanya selisih yang signifikan. Harga beli yang dibayarkan Pelindo ke PT Hua Dong sebesar US$ 15,55 juta. Sementara itu, ahli ITB menghitung harga beli QCC, termasuk ongkos kirim ke Tanah Air, totalnya hanya US$ 9,67 juta. "Jadi, ada perbedaan sekitar US$ 5 juta," kata Alex.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menunjukkan mantan Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino, resmi memakai rompi tahanan setelah lima tahun ditetapkan sebagai tersangka, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 26 Maret 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Lelang proyek tiga unit QCC oleh Pelindo II dilakukan pada 2010. Lino diduga memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II menunjuk langsung salah satu perusahaan, tapi lebih dulu mengundang tiga perusahaan, yaitu Shanghai Zhenhua Heavy Industries Co Ltd, PT Hua Dong, dan Doosan dari Korea Selatan. Selanjutnya, Lino diduga memerintahkan untuk mengubah surat keputusan direksi Pelindo II yang mengundang tiga perusahaan itu. Lino meminta surat diganti dengan PT Hua Dong dinyatakan sebagai pemenang proyek.
Penandatanganan kontrak antara Pelindo II dan PT Hua Dong dilakukan saat tender masih berlangsung. Total kontrak yang disepakati US$ 15,55 juta, terdiri atas US$ 5,3 juta untuk pesawat angkut di Pelabuhan Panjang, US$ 4,9 juta untuk pesawat angkut di Pelabuhan Palembang, dan US$ 5,3 juta untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Pontianak. Lino diduga menandatangani dokumen pembayaran tanpa tanda tangan persetujuan dari Direktur Keuangan Pelindo II.
Selain kerugian akibat proyek QCC, KPK menemukan kerugian keuangan dalam pemeliharaan tiga unit QCC sebesar US$ 22.828. KPK menetapkan Lino sebagai tersangka korupsi pengadaan QCC di Pelindo tahun 2010 pada Desember 2015. Ia terjerat Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun Lino mengatakan senang akhirnya mendapat kepastian tentang status hukumnya dalam kasus ini. Meski begitu, Lino mempermasalahkan tuduhan KPK kepadanya. Lino menekankan, kerugian negara akibat biaya pemeliharaan QCC di PT Pelindo II bukan tanggung jawab dia selaku Direktur Utama Pelindo. Dia juga menilai penghitungan kerugian negara terlalu mengada-ada. “Alat itu sampai sekarang di lapangan sudah 10 tahun dan tingkat kesiapannya 95 persen,” kata dia.
Selain KPK, Kejaksaan Agung tengah menyigi kasus korupsi saat perpanjangan pengelolaan pelabuhan oleh Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan Pelindo II. Kejaksaan mensinyalir ada perbuatan melawan hukum untuk memuluskan proses perpanjangan itu, tapi belum ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kasus ini, penyidik Kejaksaan memeriksa seorang anak Lino sebagai saksi dalam kasus kerja sama usaha antara PT JICT dan PT Pelindo II.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, memastikan lembaganya tetap melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi Pelindo meski Lino sudah ditahan penyidik KPK. "Orangnya tetap sama, tapi kan kasusnya beda. Jadi, fokus di kasus yang kami tangani saja, apakah alat buktinya cukup untuk membawa Lino ke persidangan," ujar dia.