Patah Arang Memberantas Mafia Peradilan

Mafia peradilan di Mahkamah Agung makin kusut. Akibat menolak pengawasan lembaga lain.

Tempo

Senin, 28 Oktober 2024

PENANGKAPAN Zarof Ricar makin menguatkan fakta bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung telah terjadi sejak lama. Penyidik Kejaksaan Agung menemukan uang tunai Rp 920 miliar dan emas batangan 51 kilogram di rumah Zarof, yang diakui mantan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung itu sebagai suap pengurusan perkara.

Zarof Ricar tersangkut dugaan suap putusan kasasi Gregorius Ronald Tannur, pembunuh Dini Sera Afrianti. Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya menilai Dini tewas karena komplikasi penyakit akibat menenggak alkohol. Hakim mengabaikan bukti yang dibawa jaksa berupa video kekerasan dan pembunuhan oleh Ronald Tannur pada 3 Oktober 2023 di sebuah tempat hiburan malam.

Rupanya vonis bebas itu berlatar suap. Jaksa penyidik menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya—Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo—yang diduga menerima besel Rp 20 miliar sebagai imbalan membuat vonis bebas. Jaksa juga menangkap Lisa Rachmat, pengacara Ronald, yang menjadi perantara suap itu.

Lisa juga yang menjadi perantara suap untuk hakim agung melalui Zarof Ricar. Ia menjanjikan imbalan Rp 1 miliar buat Zarof dan Rp 4 miliar untuk para hakim agung agar tetap membebaskan kliennya. Zarof belum memberikan uang suap itu kepada hakim agung. Akibatnya, putusan kasasi Mahkamah Agung membatalkan vonis bebas tersebut dan menghukum anak mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa, Edward Tannur, itu 5 tahun bui.

Bukan tak mungkin ada jaringan mafia peradilan di Mahkamah Agung. Karena itu, jaksa mesti meluaskan penyidikan kepada para pejabat Mahkamah Agung. Dari pengakuan Zarof, uang tunai hampir Rp 1 triliun itu ia dapatkan sejak menjadi makelar kasus pada 2012 hingga 2022. Berkaca pada kasus Zarof, makelar kasus adalah para pejabat Mahkamah Agung. 

Sebab, sebelum Zarof, ada Hasbi Hasan, Sekretaris Mahkamah Agung, yang terbukti menerima suap pengurusan perkara pemalsuan akta sebuah koperasi di Semarang. Hasbi menerima suap Rp 11,2 miliar dari pengurus koperasi yang tak puas atas putusan bebas pengadilan tingkat pertama terhadap kreditor yang menuduh dokumen koperasi itu palsu. Hasbi menyusul pendahulunya, Sekretaris MA Nurhadi, yang divonis 6 tahun penjara karena menjadi makelar kasus pada 2021. 

Selain menyasar para pejabat Mahkamah Agung, pemeriksaan mesti meluas kepada para hakim agung. Dalam perkara suap koperasi Intidana Semarang itu, dua hakim agung, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, terbukti menerima suap vonis kasasi. Keduanya divonis masing-masing 7 dan 10 tahun penjara.

Mafia hukum di Mahkamah Agung akan terus muncul sepanjang Badan Pengawasan Mahkamah Agung lemah seperti sekarang. Badan Pengawasan nyaris tak pernah menemukan permainan perkara para hakim agung dan pejabat Mahkamah Agung yang berlangsung bertahun-tahun di depan hidung mereka. Menurut analisis Komisi Yudisial, para pengawas sungkan kepada para hakim agung sehingga tak pernah membuat laporan hasil pengawasan.

Mahkamah Agung sejak dulu menolak pengawasan lembaga luar. Alih-alih menyambut baik pengawasan Komisi Yudisial, mereka mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi pada 2006. Mahkamah Konstitusi, yang sama korupnya, mengabulkan uji materi itu sehingga Komisi Yudisial tak bisa lagi mengawasi kerja para hakim agung. Kewenangan Komisi Yudisial sebatas memberikan rekomendasi sanksi. Itu pun jika ada laporan pelanggaran etik dari Mahkamah Agung.

Kini kebobrokan makin naik ke hulu karena ada dugaan Ketua Mahkamah Agung yang baru terpilih, Sunarto, tersangkut perkara pungutan honor penanganan perkara. Agak sulit berharap ia bisa menguatkan badan pengawasan untuk memberantas mafia perkara jika ia sendiri punya borok yang sama.

Berita Lainnya