Belajar dari Pembebasan Pilot Susi Air

Pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan jadi kunci pembebasan pilot Susi Air. Operasi keamanan gagal mengurai konflik di Papua.

Tempo

Rabu, 25 September 2024

PEMBEBASAN pilot Susi Air, Phillip Mark Mehrtens, membuktikan bahwa keterlibatan pranata sipil merupakan kunci dalam penyelesaian konflik di Papua. Tanpa pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan, upaya pembebasan sandera bisa berujung sia-sia.  

Lewat pendekatan kemanusiaan, mantan Bupati Nduga, Edison Gwijangge, aktif melobi Egianus Kogeya, Panglima Komando Daerah Perang III Ndugama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Sementara itu, Raga Kogeya, sanak perempuan Egianus, membantu pembebasan Mehrtens melalui jalur kekeluargaan. 

Bersama tokoh adat dan agama di Nduga, Papua Pegunungan, mereka bahu-membahu melobi Egianus agar melepaskan pilot asal Selandia Baru itu. Cara damai itu terbukti ampuh membebaskan sandera.

Egianus melepaskan Mehrtens di Kampung Yuguru, Distrik Mebarok, Nduga, pada 17 September 2024. Edison adalah orang pertama yang menjemput Mehrtens di kampung tersebut. Bersama tokoh adat dan agama Kampung Yaguru, Edison menginap selama empat hari sebelum Mehrtens dijemput menggunakan helikopter pada 21 September 2024.  

Pasukan Egianus menyandera Mehrtens tak lama setelah sang pilot mendaratkan pesawat Susi Air di lapangan terbang Distrik Paro, Nduga, pada 7 Februari 2023. Pesawat itu lepas landas dari Bandar Udara Mozes Kilangin, Kabupaten Mimika, menuju Paro dengan membawa sejumlah penumpang. 

Selama penyanderaan, TPNPB-OPM menuntut pemerintah Indonesia mengakui kemerdekaan Papua. Apa pun alasannya, penyanderaan terhadap warga sipil tidak dapat dibenarkan. Tuntutan itu juga perlu direspons dengan kepala dingin. 

Dalam masyarakat yang didera konflik berkepanjangan seperti di Papua, pembebasan sandera hanya dapat dilakukan dengan mengedepankan dialog melalui warga dan pranata sipil yang kuat. Mantan bupati, tokoh adat, tokoh gereja, kelompok perempuan, dan keluarga Kogeya memiliki satu hal yang tidak dimiliki tentara Indonesia: saling percaya dan tak ada syak wasangka. Mereka berikhtiar membebaskan Mehrtens dalam bingkai kemanusiaan. 

Sebaliknya, pendekatan keamanan dan senjata dalam pembebasan Mehrtens membuat luka masyarakat Papua makin dalam. Alih-alih membebaskan Mehrtens, operasi militer menambah panjang daftar korban tewas akibat konflik Papua. Aksi kekerasan itu merusak kepercayaan masyarakat serta memperburuk pelanggaran hak asasi manusia di Papua. 

Paradigma Jakarta dalam mengurai konflik di Papua dengan mengedepankan pendekatan keamanan sungguh keliru. Buktinya, banyak warga Nduga terpaksa mengungsi akibat eskalasi konflik bersenjata yang meningkat antara pasukan TNI-Polri dan milisi TPNPB-OPM. Mereka meninggalkan kampung halaman sembari membawa kemarahan terhadap pemerintah Indonesia. Keterbukaan informasi atas pelbagai peristiwa itu juga ditutup-tutupi. 

Yang lebih keliru adalah cara pandang Presiden Joko Widodo menyikapi pembebasan Mehrtens. Kepada awak media, Jokowi mengatakan aktivitas di Papua, seperti pembangunan dan pengiriman logistik, harus mendapat pengawalan tentara atau polisi agar penyanderaan yang dialami Mehrtens tidak terulang. 

Jokowi gagal memahami pembelajaran dari pembebasan Mehrtens. Dalam pikirannya, Papua hanya soal pembangunan infrastruktur demi mengeruk sumber daya alam. Model pembangunan seperti itu jelas salah kaprah karena tak menangkap aspirasi dan keinginan warga Papua sesungguhnya. 

Cara pandang Jokowi sama seperti pihak-pihak yang menumpang pembebasan Mehrtens. Mereka saling klaim telah berjasa membebaskan Mehrtens, padahal selama ini ikut mendukung operasi militer di Papua. Mereka alpa bahwa memberikan ruang berlebihan kepada tentara dan polisi justru memantik resistansi serta siklus kekerasan yang tak berkesudahan.

Jokowi dan para penumpang gelap itu tidak paham bahwa akar penyelesaian konflik Papua adalah mengubah paradigma: dari pendekatan militer menjadi lebih menghormati manusia dan kebudayaan Papua. Inilah jalan satu-satunya agar konflik Papua bisa mereda.

Berita Lainnya