Beban Anggaran Badan Gizi Jokowi

Pembentukan Badan Gizi Nasional bakal menjadi beban baru anggaran negara. Jokowi tidak perlu cawe-cawe.

Tempo

Sabtu, 24 Agustus 2024

SULIT menemukan urgensi pembentukan Badan Gizi Nasional di masa dua bulan sebelum berakhirnya kekuasaan Presiden Joko Widodo. Pembentukan badan penyelenggara program makan siang gratis itu, yang kemudian direvisi menjadi program makan bergizi gratis, bisa dicurigai sebagai upaya Jokowi carmuk alias cari muka ke presiden terpilih Prabowo Subianto. 

Jokowi seharusnya paham bahwa pembentukan badan baru berarti memberi beban baru bagi anggaran negara. Pengalokasian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 sebesar Rp 71 triliun pada saat penerimaan pemerintah belum optimal dan sempitnya ruang fiskal akibat tumpukan utang merupakan hal yang tidak bijaksana. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah pengetatan fiskal dengan belanja hanya untuk hal yang prioritas.  

Bagi Prabowo, program makan bergizi gratis merupakan kebijakan prioritas karena menjadi janjinya dalam pemilihan presiden 2024. Melalui pemberian makan siang serta susu gratis di sekolah dan pesantren, juga bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil, Prabowo mencanangkan Indonesia bebas stunting. Program itu akan menyasar 82,9 juta penerima.

Namun program itu sepenuhnya menjadi hak Prabowo, tanpa perlu menjalankan dikte Jokowi. Bersama timnya, Prabowo bisa menghitung dengan saksama pelaksanaan program tersebut, termasuk soal siapa yang akan menjalankannya. 

Paling utama, Prabowo jangan mengabaikan kesanggupan anggaran negara menanggungnya. Semula program tersebut diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar Rp 450 triliun per tahun. Setelah dihemat separuhnya, angka tersebut tetap terlalu besar. Terakhir, pada 24 Juni 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan program makan bergizi gratis pada tahun pertama pemerintahan Prabowo dianggarkan sebesar Rp 71 triliun. 

Permasalahannya, anggaran jumbo tersebut mesti dibagi-bagi untuk biaya makanan dan distribusi serta kegiatan operasional kantor dan gaji pegawai badan. Apalagi organisasinya ini terbilang gemuk dengan dewan pengarah; pelaksana, yang terdiri atas kepala, wakil kepala, sekretaris utama, empat deputi, inspektorat utama, dan pusat pendukung; serta unit teknis. Bisa jadi badan akan menyiasati anggaran, dengan menurunkan biaya makanan atau mengurangi jumlah penerima. 

Penghematan biaya makanan itu jangan sampai mengorbankan kandungan gizi yang dibutuhkan anak sekolah, anak balita, dan ibu hamil. Pada dasarnya, program makan bergizi gratis yang bertujuan mengatasi stunting ini sudah keliru sejak lahir. Soalnya, penanganan stunting seharusnya dilakukan pada anak berusia kurang dari lima tahun. Perbaikan kualitas nutrisi itu harus dimulai dari 1.000 hari pertama hingga bayi berusia dua tahun. 

Ketimbang anggaran terkuras untuk kegiatan operasional lembaga baru, pemerintahan Prabowo mesti membubarkan Badan Gizi Nasional. Apalagi isu gizi selama ini diurus oleh Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan. Program pemberian makanan tambahan ibu hamil dan anak balita, contohnya, selama ini dilakukan di posyandu dan pusat kesehatan masyarakat. Kalaupun program makan bergizi gratis hendak memperluas penerima, bisa saja yang melakukannya Kementerian Sosial, yang berpengalaman menyalurkan bantuan sosial.

Pemerintahan baru mesti mengetatkan ikat pinggang untuk menyehatkan APBN dan menyelamatkan negara. Pengetatan anggaran itu dilakukan dengan menimbang kembali program makan bergizi gratis dan proyek-proyek mercusuar warisan Jokowi yang menyedot anggaran. Jika program makan bergizi gratis ini dipaksakan dengan mengorbankan program sosial lain, masyarakat luas berpotensi kehilangan hak-hak dasarnya.

Berita Lainnya