Jangan Kendur Mengejar Aset Rafael Alun Trisambodo
KPK mengajukan kasasi atas vonis ganjil Rafael Alun. Koruptor wajib dimiskinkan.
Tempo
Senin, 1 April 2024
UPAYA Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus Rafael Alun Trisambodo sudah tepat. Aset yang terindikasi didapat dari hasil korupsi tidak boleh dibiarkan dinikmati oleh pelaku atau orang-orang dekatnya.
Dalam putusan sidang banding pada 14 Maret lalu, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI menguatkan mayoritas hukuman Rafael Alun. Bekas pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu tetap dinyatakan bersalah menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Vonis 14 tahun penjara untuknya tetap berlaku, juga denda Rp 500 juta dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 10 miliar.
Namun ada yang ganjil dalam putusan tersebut. Majelis hakim mengubah status barang bukti rumah di Simprug Golf, Jakarta Selatan, menjadi bukan milik Alun sehingga tidak boleh disita.
Sudah semestinya KPK mengajukan kasasi atas putusan lancung tersebut. Sebab, rumah mewah seluas 765 meter persegi itu dibeli atas nama istri Alun. Maka, aset seharga Rp 5,75 miliar itu patut diduga menjadi bagian dari tindak pidana pencucian uang.
Sudah lama praktik kotor menyembunyikan aset atas nama anggota keluarga lazim dipakai. Dalil itu bisa dipakai KPK untuk menempuh upaya kasasi.
Dalam memori kasasinya, tim jaksa KPK harus mampu menghadirkan argumentasi yang kuat, termasuk bukti aliran dana pembelian rumah tersebut. Tujuannya agar harta hasil korupsi ini bisa disita lagi dan dikembalikan ke negara.
Perkara Alun dan dinamika persidangannya juga sebaiknya tidak dibiarkan berlalu tanpa arti. Ini menjadi pintu masuk yang tepat untuk mendorong perbaikan aturan atau pembuatan undang-undang baru yang mendukung pemidanaan maksimal untuk pelaku korupsi dan TPPU.
Kasus Rafael Alun ini hanyalah puncak gunung es. Sudah menjadi rahasia umum, sejak era Orde Baru, banyak pejabat yang memiliki harta kekayaan fantastis dan tidak sesuai dengan gaji mereka. Keadaan ini tak segera diatasi sehingga makin memburuk. Instrumen laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang ditujukan untuk mengontrolnya sama sekali tak bertaji.
Dalam kasus Alun, misalnya, ada dua persoalan yang terlihat dalam LHKPN. Jumlah kekayaan yang dia laporkan sangat fantastis untuk seorang pejabat sekelasnya, yakni mencapai Rp 56 miliar. Namun awalnya tak ada tindak lanjut apa-apa atas laporan itu. Alun baru diusut KPK setelah kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satrio, anaknya yang kerap pamer harta, menjadi viral dan disorot masyarakat.
Persoalan kedua, LHKPN juga tidak memiliki kekuatan "kontrol keluar". Hal itu tampak ketika KPK menyita aset Alun. Dari total 20 aset yang diduga hasil korupsi, nilainya mencapai Rp 150 miliar, hampir tiga kali lipat yang dilaporkan dalam LHKPN.
Kelemahan LHKPN seperti ini sudah sering diungkap, tapi belum ada solusi yang diberikan pemerintah. Hingga kini tak ada ancaman sanksi pidana terhadap para pelanggarnya. Pihak yang tidak melapor, yang melapor dengan tidak benar, atau melapor dengan benar tapi hartanya tak sesuai, paling banter hanya dikenai sanksi administrasi.
LHKPN juga seperti hanya menjadi ritual administrasi yang kurang berarti karena tak memberi indikator dan kewenangan pendalaman bagi pengawasnya. Pelaporan seperti ini semestinya disertai mekanisme yang memungkinkan pengawas meminta penjelasan asal-usul kenaikan harta pelapor yang tak wajar. Bahkan kalau perlu diterapkan dalil pembuktian terbalik kepada para pelapor.
Saat ini masih ada kekosongan hukum dalam upaya menguatkan fungsi LHKPN sebagai sarana transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan. Namun hal ini sebenarnya bukan tanpa solusi. Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia pada 2016, sudah merekomendasikan agar negara segera mengkriminalkan perbuatan pengayaan secara gelap (illicit enrichment) atau peningkatan harta kekayaan secara tidak wajar (unexplained wealth). Konsep ini pun sudah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP).
Sayangnya, RUU ini tak jelas kabarnya. Pertama kali disusun pada 2008, RUU ini sudah berhasil masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2023 di DPR. Namun hingga kini nasibnya masih terkatung-katung; belum juga ada sinyal pembahasan.
Padahal Indonesia, yang tengah darurat korupsi, sangat membutuhkan UU Perampasan Aset. Dengan UU ini, aparat penegak hukum akan mempunyai wewenang merampas aset yang diperoleh para pelaku kejahatan korupsi meskipun belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terhadap kasusnya.
Kehadiran UU Perampasan Aset juga bisa menjadi solusi atas kondisi memprihatinkan yang saat ini ada. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), tingkat pengembalian aset dari praktik korupsi sangat kecil. Pada 2021, dari perkara korupsi dengan jumlah terdakwa 1.404 orang, kerugian negara yang terjadi mencapai Rp 62,9 triliun. Namun vonis pidana tambahan berupa uang pengganti hanya mencapai Rp 1,4 triliun alias 2,2 persennya saja. Untuk 2022, total pengembalian itu hanya 7,83 persen.
Baca liputannya:
UU Perampasan Aset juga diperlukan untuk mendukung pemidanaan korupsi yang lebih memberi efek jera. Kejahatan korupsi dan kerah putih lainnya kerap didasari kalkulasi atau perhitungan tertentu (crime of calculation): seseorang akan berani melakukannya jika hasil yang didapatnya lebih tinggi dari risiko hukuman yang dihadapi. Kalkulasi seperti ini pulalah yang mungkin membuat praktik korupsi di Indonesia susah diberantas. Kita masih terlalu sering melihat para pelaku korupsi yang mendapat hukuman ringan, kemudian bisa hidup sentosa setelah keluar penjara.
Karena itu, agar kapok, penting bagi pelaku korupsi untuk dimiskinkan atau setidaknya dicegah untuk menikmati hasil kejahatannya. Dalam kasus Rafael Alun, KPK masih harus bekerja keras tanpa UU Perampasan Aset. Setelah terdakwa mendapat hukuman penjara yang sesuai dengan tuntutan jaksa, kini KPK masih memiliki utang untuk memaksimalkan pengembalian aset-aset negara yang dicurinya lewat upaya kasasi.