Achmad Fauzi, 23 tahun, tak kerasan akan pendidikan ala militer di sebuah sekolah pendidikan calon penerbang. Ia ingin belajar bidang komputer, meski itu harus memupus harapan ibunya untuk melihat dia menjadi seorang pilot. Ia mengaku sudah lama menggemari game dan mengikuti perkembangan teknologi.
Achmad Fauzi lantas masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 10 Jakarta, yang kurikulumnya berbasis teknologi informasi (TI). Ia mengambil jurusan rekayasa perangkat lunak. Selepas SMK, pada 2014, ia memilih tidak kuliah dan bekerja di sebuah software house. Di sana, ia sempat mengalami depresi. Pasalnya, sebagai lulusan SMK, keahliannya di bidang teknologi informasi kurang diakui dibanding jebolan universitas. Padahal ia sempat membuat sebuah aplikasi berupa employee portal untuk bagian personalia kantornya itu.
Achmad Fauzi lantas banting setir menjadi sales promotion boy di sebuah perusahaan retail. Namun, dua tahun kemudian, pekerjaan itu ditinggalkan demi impiannya bekerja di bidang TI. "Waktu itu aku bingung mengembangkan kemampuanku karena pembelajaran daring yang ada dalam bahasa Inggris semua, sementara kemampuan bahasa Inggris saya kurang," ucapnya.
Akhirnya ia bertemu dengan Dicoding, yang menggunakan bahasa Indonesia untuk materi pembelajarannya. Sekarang Achmad Fauzi bekerja di Telkom Sigma sebagai software engineer dan mengepalai sebuah tim yang semuanya lulusan S-1. Ia mengaku mendapat pekerjaan ini karena ditawari pihak Telkom setelah melihat kemampuannya. "Kami di sini saling membagi ilmu saja. Kerja tim," kata Achmad Fauzi.
Nadiem Makarim, kini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ketika masih menjabat CEO Gojek, pernah mengatakan bahwa ada empat kemampuan yang bersifat wajib dalam kurikulum nasional. Empat hal itu adalah bahasa Inggris, statistik, psikologi, dan bahasa pemrograman atau coding.
Video pidato Nadiem dalam sebuah acara dua tahun lalu tersebut viral di media sosial sejak ia diumumkan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Presiden Joko Widodo. Nadiem menyatakan bahasa pemrograman wajib diajarkan karena dunia nyata dikendalikan oleh kode-kode virtual, sehingga sumber daya manusia Indonesia harus menguasai kemampuan ini sejak sekolah. Bagi dia, Indonesia dengan potensi ekonomi digitalnya harus mempersiapkan diri berkompetisi secara global.
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah inisiatif muncul untuk membantu masyarakat yang memiliki keinginan menjadi seorang programmer. Program ini berupa kelas atau kursus gratis. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Dicoding, perusahaan pengembang aplikasi di Indonesia. Mereka menyediakan kelas, yakni Dicoding Academy, yang dapat dipelajari secara daring. Program ini didesain untuk membantu pengembang membuat produk teknologi melalui tutorial dan kuis.
Kelas-kelas ini ada yang gratis dan berbayar. Namun di setiap kelas selalu disediakan modul pembelajaran yang dapat diakses gratis. Sejak berdiri pada 2015, Dicoding sudah memiliki 120 ribu murid yang tersebar di seluruh Indonesia. Kurikulum yang disediakan juga sudah bekerja sama dengan perusahaan teknologi dunia, seperti Google dan Microsoft. "Kami satu-satunya Google authorize training partner di Indonesia," ucap Chief Executive Officer Dicoding, Narenda Wicaksono, kepada Tempo di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Selasa lalu.
Narenda mengatakan materi yang ditawarkan di antaranya tentang bahasa pemrograman dalam sistem operasi Android, progressive web apps, dan pembuatan game. Awalnya, semua kelas mereka gratis. Namun, pada 2017, mereka juga membuka kelas berbayar. Sejumlah siswa kursus gratis bisa menikmati kelas berbayar dengan beasiswa yang mereka sediakan. Perbedaan kedua kelas itu terletak pada penilaian (review) atas hasil coding siswa.
Bukan keputusan mudah bagi Narenda untuk mendirikan Dicoding. Sebelumnya, ia bekerja selama delapan tahun di berbagai perusahaan teknologi, seperti Microsoft. Berbekal tabungan, ia bersama tiga kawannya mendirikan Dicoding. Untuk memperkenalkan kelas ini, mereka memberi banyak beasiswa. Mereka tak mudah meyakinkan orang mengenai pentingnya memiliki kemampuan ini. "Kalau sekarang meyakinkannya dengan contoh saja. Banyak lulusan kami berhasil dan sangat menginspirasi."
Selain Achmad Fauzi, mereka memiliki lulusan bernama Junia Firdaus, pengemudi ojek daring yang mengikuti kelas di Dicoding. Junia juga mendapat beasiswa untuk mengikuti kelas Menjadi Android Developer Expert (MADE). Kini, ia bekerja sebagai Android developer di sebuah perusahaan.
Pembelajaran bahasa pemrograman juga ditawarkan Sandhika Galih, dosen di Universitas Pasundan yang mengampu tiga mata kuliah terkait dengan bahasa pemrograman, website, dan Internet. Ia mengaku sering kehabisan waktu dalam mengajar mahasiswanya. Solusinya adalah membuat saluran YouTube miliknya bernama Web Programming UNPAS. "Awalnya buat bahan kuliah, mengajar ke mahasiswa," kata Sandhika, Selasa lalu.
Namun, sejak merilis video perdana pada 2015, kanal miliknya berkembang cukup baik dan kini telah menjaring 170 ribu subscriber. Ia memberi tajuk "Ngoding Bareng" di video-video pembelajaran yang dirilisnya. Materi video lainnya adalah tutorial pemrograman website, belajar membuat website untuk pemula, menguasai code editor, dan kuliah atau mengobrol bareng. "Materinya basic sampai intermediate," ucapnya.
Dhika-sapaan akrabnya-membuat video ini seorang diri, termasuk dalam menyiapkan materi. Hasilnya, beberapa penonton videonya mengucapkan terima kasih karena diterima bekerja atau masuk ke kampus yang diinginkan. Mereka ada yang jadi programmer atau website developer. Lain waktu, ada guru sekolah atau dosen yang meminta izin untuk memakai materi videonya sebagai bahan ajar di kelas. "Senang dan bahagia bisa membantu orang lain," ujar dosen berusia 34 tahun ini.
Dhika membuat video sebanyak dua kali dalam sepekan. Sampai saat ini, jumlah video yang sudah dihasilkan sekitar 300. Pelanggan videonya mayoritas berusia 16-22 tahun dan 95 persennya berasal dari Indonesia. Sebagian besar adalah anak-anak SMK jurusan informatika. Ada pula mahasiswa tingkat awal.
Sementara Sandhika tanpa sengaja menarik perhatian anak SMK, Dyan Raditya Helmi memang menyasar para pelajar sekolah menengah ini. Helmi dan kawan-kawannya merancang program bernama SMK Coding. Ini adalah program coding gratis dan bersertifikat yang dilakukan sebanyak 10 kali pertemuan dengan peserta khusus anak SMK jurusan rekayasa perangkat lunak.
"Kurikulum dan silabusnya kami sesuaikan dan output yang didapat siswa bisa catch up sama industri (berbasis digital)," kata Helmi kepada Tempo di kantor Alkademi, Jalan Ir Juanda, Bandung, Rabu lalu.
Helmi, yang menekuni bidang TI sejak belasan tahun lalu, paham akan kondisi nyata Indonesia di bidang TI. Produk-produk yang lahir dari rahim era digital sudah berada dalam genggaman masyarakat Indonesia, tapi orang-orang yang mampu membuat produk itu masih sangat sedikit, bahkan langka.
Celakanya, tingkah laku pengguna media sosial di Indonesia sangat nyinyir, tanpa bisa memberikan solusi konkret. Misalnya, kata dia, ketika membicarakan peluang kerja menjadi coder, kebanyakan warganet malah mencaci karena kebanyakan coder yang bekerja di perusahaan rintisan Indonesia berasal dari luar negeri. "Saya suka kesal kalau di media sosial cuma kukulutus (nyinyir) memaki keadaan, lihat start-up karyawannya dari India," ujarnya.
Kekesalan Helmi itu melahirkan yayasan yang bergerak di bidang pelatihan programming TI, yakni Yayasan Akademi Karya Bangsa, pada Januari 2019. Ia mendirikan yayasan itu bersama tiga rekannya yang menekuni bidang TI. SMK Coding adalah program pertama yayasan itu yang dibuka pada 2018.
Kelas coding gratis pertama dibuka di Kepanjen, Batu, Jawa Timur. Alasan memilih Kepanjen karena ia yakin siswa SMK di daerah pelosok lebih membutuhkan skill tentang TI dibanding siswa SMK di kota-kota besar yang memiliki banyak pilihan hidup.
Helmi menggaet Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) guna memuluskan program SMK Coding angkatan pertama itu. Alkademi pun mendapat bantuan tetap dari Kemenkominfo berupa anggaran dana penuh untuk kegiatan pelatihan itu, dari bayaran pemateri hingga konsumsi makan siang untuk para siswa.
Dalam pelatihan yang dilaksanakan setiap akhir pekan tersebut, peserta mendapat ilmu tentang kemampuan teknis yang disesuaikan dengan kebutuhan industri, seperti membuat aplikasi berbasis Android. Selain itu, siswa diberi materi tentang kemampuan soft skill tentang tata cara beradaptasi di dunia kerja dan lain sebagainya.
SMK Coding kini sudah berlangsung di beberapa kota/kabupaten. Selain di Batu, Malang, juga di Surabaya, Kediri, Yogyakarta dan sekitarnya, Semarang, serta Bandung. "Tapi kebanyakan masih di daerah pelosok Jawa Timur," ujar Helmi.
Kini, mereka telah melahirkan sekitar 600 lulusan. Helmi berharap siswa lulusan SMK Coding lebih mampu bersaing saat terjun ke dunia kerja, khususnya di bidang TI. Minimal, kata dia, mereka bisa membuat aplikasi Android sederhana. Dia mencontohkan, siswa lulusan SMK Coding mampu membuat aplikasi kuis di Android.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) juga menginisiasi kelas coding dengan membuat program bernama Coding Mum sejak 2016. Tujuannya, meningkatkan keterampilan ibu rumah tangga dalam dunia programmer/coding yang dapat mendukung kegiatan bisnis daring yang sedang atau akan ditekuninya.
Pada perkembangannya, para alumnus Coding Mum membuat komunitas bernama Komunitas Coding Mum Indonesia. Komunitas ini mengadakan kegiatan seperti obrolan seputar bahasa pemrograman pada hari Rabu (yang dikenal dengan Rebo-an), challenge, dan lain-lain. Saat ini mereka sedang merancang kelas-kelas online yang bisa diikuti para anggota komunitas dengan mentor alumni Coding Mum sendiri.
Suasana pembelajaran, menurut Direktur R&D Komunitas Coding Mum Indonesia, Farida Ariyani, tak lepas dari suasana keseharian para ibu. Beberapa ibu belajar dengan membawa serta anak mereka. Dengan demikian, suara balita menangis atau berkejaran adalah hal yang biasa terjadi selama proses belajar.
Farida menuturkan, dalam jangka pendek, dari sekitar delapan kali pertemuan, para ibu diharapkan bisa membuat tampilan website sederhana. Adapun jangka panjangnya, para ibu diharapkan bisa membuat toko daring sendiri, bahkan start-up. "Sehingga bisa semakin menambah penghasilan," ucap Farida kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Cara meyakinkan para ibu untuk mengikuti pelatihan ini dilakukan melalui testimoni dan website. Sebab, banyak ibu yang tertarik pada bisnis daring karena ingin mandiri finansial dari rumah. "Saat ini lulusan Coding Mum sudah lebih dari 250 orang, terdiri atas para ibu, buruh migran, dan difabel."
Farida sendiri adalah alumni pelatihan Coding Mum. Ia tertarik mengikuti kelas itu karena ingin bisa membuat landing page sendiri bagi bisnis daringnya. Ia benar-benar belajar dari nol sampai akhirnya bisa membuat website sendiri. Bahkan suaminya juga meminta dibuatkan beberapa web untuk jasa konsultan yang dimilikinya. ANWAR SISWADI | AMINUDDIN A.S | DIKO OKTARA
Coding Untuk Rakyat