Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), paling kencang mempersoalkan pemutusan dan pemblokiran Internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus tahun lalu. Pemerintah beralasan pemutusan itu untuk meminimalkan penyebaran hoaks dan konten negatif yang dapat memprovokasi aksi massa di sana.
SAFEnet bersama AJI Indonesia, LBH Pers, YLBHI, Kontras, Elsam, dan ICJR kemudian menggugat Presiden Joko Widodo serta Menteri Komunikasi dan Informatika ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hasilnya, awal bulan ini, hakim memutuskan bahwa tindakan pemblokiran Internet itu melanggar hukum.
“Pemadaman Internet ini digunakan sebagai cara baru pemerintah mengontrol informasi, membatasi akses informasi, dan melakukan sensor di Internet," kata Damar Juniarto kepada Dian Yuliastuti dari Tempo lewat aplikasi meeting, Rabu pekan lalu. Dalam wawancara itu, ia berbicara tentang hak digital atas informasi, kebebasan berekspresi, dan perlindungan data pribadi, lembaga yang dipimpinnya, hingga kegemarannya.
Bagaimana ceritanya SAFEnet dan kelompok sipil lain mengajukan gugatan itu?
Fokus SAFEnet adalah terpenuhinya hak-hak digital warga, yakni hak akses atas informasi, hak menyatakan pendapat dan ekspresi, serta hak untuk merasa aman. Ketiganya merupakan hal mendasar dalam kondisi masyarakat yang semakin bergantung pada aspek digital. Tidak mungkin bicara revolusi 4.0, tapi warga tidak mendapatkan akses. Demokrasi digital, tapi orang tidak bisa bebas.
Maksudnya?
Pemerintah seharusnya tidak boleh melakukan shut down. Kami mengajukan surat keberatan, tapi tidak kunjung dijawab. Jadi, akhirnya kami tempuh langkah terakhir, yakni gugatan ke PTUN. Jadi, kami sudah melakukan proses panjang, tidak ujug-ujug main gugat.
Apa dampaknya?
Di sisi akses informasi, banyak hak warga yang dilanggar. Kalau ini terus terjadi, akan jadi preseden buruk. Di sini, Internet diatur dalam rangka keamanan, dipandang sebagai ancaman. Kebijakan diambil dengan alasan keamanan. Bisa keliru, bisa tidak. Padahal undang-undang tidak memperbolehkan blokir dan shut down Internet. Kalau pembatasan, masih diperbolehkan. Tapi, di Papua itu, sudah jelas tidak boleh, kok masih nekat. Di Estonia, Internet dipandang sebagai elemen ekonomi digital, untuk menyejahterakan.
Bagaimana dengan akses kebebasan berpendapat dan berekspresi?
Ini juga menjadi kekhawatiran dengan maraknya kriminalisasi terhadap mereka yang berekspresi atau berpendapat. Ini mengurangi partisipasi publik berpendapat atau berekspresi. Kita lihat dari laporan polisi, lebih dari 3.000 akun media sosial diselidiki, terlepas itu benar atau salah. Juga dari laporan di MA, banyak kasus disidangkan setelah diselidiki polisi. Artinya, jumlah orang berpendapat yang dianggap layak pidana makin banyak. Tren yang dipidana ini dari kelompok prodemokrasi, jurnalis, media, aktivis masyarakat adat, petani, dan mahasiswa. Selain itu, akademikus, daftarnya makin kentara. Ini kelompok penting. Yang melaporkan adalah pejabat dan orang-orang dari posisi kekuasaan. Bagaimana mau demokrasi digital, kalau kelompok prodemokrasi jadi sasaran?
Ini berbahaya?
Jika melihat polarisasi pola komunikasi, ini sudah masuk krisis. Media sosial kita sehari-hari sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan. Info di media sosial lebih banyak noise daripada voice, lebih banyak sensasi ketimbang substansi. Jadi pertempuran kubu-kubuan. Media sosial kita saat ini berwajah yang menjauhi demokrasi.
Seperti apa serangan terhadap jurnalis dan aktivis?
Yang kami catat dari korban di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta modusnya serangan peretasan aplikasi pesan dan media sosial. Bentuk serangan lain blast pesan teror, manipulasi foto, pengintaian rumah, penangkapan, penyebaran foto intim, ancaman pembunuhan, blast pesan perusakan nama baik, teror telepon tak dikenal, hingga pemesanan fiktif melalui ojek online. Sementara itu, isu yang diserang berada di tiga kluster, yakni antikorupsi, impeachment, dan isu Papua.
Apa kesimpulan SAFEnet melihat teror digital ini?
Bila mengadopsi istilah-istilah kebencanaan dengan empat tingkatan status, yaitu situasi normal, waspada, siaga, dan awas, dari kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia pada lima tahun mendatang, Indonesia memasuki babak baru, yaitu siaga satu represi kemerdekaan berekspresi dan kriminalisasi aktivis prodemokrasi.
Apa dasar kesimpulan itu?
Pertama, pembatasan hak mengakses informasi. Kami menemukan sejumlah tindakan, seperti pemadaman Internet (Internet shut down), pemblokiran situs web (Internet blocking), serta gangguan pada Internet (Internet disruption) seperti peretasan situs web (hacking) dan serangan cyber (cyber attack), untuk melumpuhkan situs web sebagai tindakan-tindakan baru yang menunjukkan meningkatnya kontrol atas informasi.
Kedua, kriminalisasi pada aktivis prodemokrasi dan jurnalis. Reformasi 1998 tidak cukup membawa angin perubahan dan pelindungan terhadap kerja-kerja pers di Indonesia. Ketiga, tindakan pembubaran sejumlah diskusi akademis dan pembatasan hak masyarakat untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat.
Bagaimana dengan isu perlindungan data pribadi yang mudahbocor di marketplace?
Ini satu topik penting, menurut kami. Konstitusi sudah menjamin perlindungan pribadi, di Pasal 28 G UUD 1945. Banyak start-up berdiri tapi tidak memasukkan agenda keamanan pengguna. Keamanan belum menjadi prioritas. Inilah pentingnya segera disusun Undang-Undang Perlindungan Pribadi (PDP). Sudah ada langkah baik pemerintah mengirim naskah RUU itu ke DPR. Tapi draf pemerintah tidak mengatur keseluruhan aspek keamanan. Hanya menyangkut kasus ekonomi. Jika ada, hacking tidak bisa diakomodasi. Padahal jenisnya beragam, mengapa tidak sekalian?
Bagaimana sikap SAFEnet?
Kami sudah mengirimkan masukan pada Februari lalu. RUU PDP menyempitkan hak privasi menjadi sebatas pelindungan data pribadi. Padahal, di zaman sekarang, data erat kaitannya dengan hidup manusia pemiliknya, dan bila disalahgunakan, akan membahayakan hidup orang tersebut karena rentan mengalami kejahatan. Ada hak atas rasa aman yang melekat padanya. Jadi, yang harus dilindungi manusianya, bukan sekadar datanya.
Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri mengizinkan akses penggunaan data KTP elektronik ke pihak swasta, termasuk usaha tekfin. Apakah ini tidak berpotensi membahayakan dan disalahgunakan?
Selama ini Dukcapil telah banyak melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan swasta. Dalam catatan yang pernah disampaikan Dirjen Dukcapil: lebih dari 1.500 perusahaan swasta. Pertama, apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan? Kalau memakai kacamata pelindungan data pribadi, setiap ada upaya pemanfaatan di luar dari kesepakatan pemilik data, apalagi dikerjasamakan dengan pihak ketiga, maka ada persoalan. Mereka harus jujur kepada pemilik data atas penggunaan itu.
Kedua, apakah praktik kerja sama tersebut aman? Perlu transparansi proses kerja sama tersebut serta kesediaan Dukcapil dan pihak ketiga untuk diaudit dari sisi keamanan data oleh pemeriksa independen. Ketiga, bagaimana kemungkinan hal ini disalahgunakan? Ketika pengumpulan data berbasis pada data pribadi dan biometrik yang dilakukan Dukcapil terpusat, maka risiko keamanan dan penyalahgunaan semakin besar. Kita perlu belajar dari negara lain. Ketika data pribadi warga bocor dan diperjualbelikan di pasar gelap, maka perlu tindakan mengamankan dan memastikan hal tersebut tidak terjadi.
Bagaimana kondisi penggunaan Internet saat pandemi ini?
Saat ini akan lebih berat, karena kita berkomunikasi, bekerja, dan belajar memakai Internet. Mereka yang underprivileged akan bertambah. Orang harus memilih antara makan dan Internet. Harapannya, pemerintah tak hanya menyediakan bahan pokok tapi juga akses untuk membantu mereka. Ada bantuan untuk Internet, membeli kuota. Kemarin memang ada, tapi itu dari pihak swasta.
Jika tak diberikan bantuan, kesenjangan digital makin lebar. Akibatnya, banyak yang mungkin tidak bisa bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Situasi new normal ini butuh kejelasan langkah untuk ketersediaan akses Internet. Pemerintah harus membicarakan hal ini dengan asosiasi telekomunikasi. Harus dipikirkan. Tidak bisa semua dibebankan ke warga.
Mengapa kekerasan gender secara daring kini juga tinggi?
KBGO (kekerasan berbasis gender online) terjadi karena banyak bekerja, belajar, dan berkomunikasi Internet di rumah. Kekerasan meningkat drastis. Sejak awal Januari sudah terjadi kebanjiran serangan digital dan kebocoran data. Serangan atau kekerasan itu makin lama makin berat karena tidak ada perhatian pada aspek keamanan dan pelindungan. SAFEnet membangun jaringan, mengajak NGO perempuan, Kominfo, KPPA, kepolisian, dan Komnas Perempuan untuk melakukan advokasi.
Angkanya naik drastis…
Pada masa pandemi ini, jumlahnya makin banyak. Pada 2019, sekitar 14 kasus per bulan. Catatan Komnas Perempuan naik 200 persen. Kami kewalahan. Kami sampaikan maksimal kami hanya bisa menangani 30 kasus.
Bagaimana awalnya Anda aktif di dunia digital dan advokasi?
Awalnya dari majalah digital kampus, Kampus & Kita, pada 1996. Lalu saya membuat proyek Twitteraiak pada 2011 untuk bertanya ke figur kondang. Saat itu Twitter belum dipakai untuk promosi. Saya dapat uang dari aktivitas ini. Lalu masuk ke televisi online, AleniaTV, menggunakan teknologi untuk membaca gaya hidup. Tak ada yang percaya bisa mendapatkan pemirsa dan berkompetisi dengan sebuah portal berita.
Lalu Anda mendirikan SAFEnet?
Pada 27 Juni 2013, mendirikan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) untuk membela hak digital masyarakat. Waktu itu sedikit yang berfokus pada konektivitas hak asasi dan teknologi digital. Saya juga membuat kerja sama dengan beberapa perusahaan teknologi, seperti Twitter dan Facebook, lalu pemerintah Timor Leste, Jerman, dan Indonesia serta organisasi sipil di Indonesia dan regional Asia. Saya percaya kita dapat mengubah Internet menjadi tempat yang lebih baik untuk siapa saja. Warganet bisa mengakses tanpa larangan, berekspresi bebas dari rasa takut dan aman ketika online.
Bagaimana Anda menghidupi SAFEnet dengan pekerjaan yang makin berat?
Selama ini SAFEnet tidak memiliki donor. Jadi, semua kegiatan dibiayai dari memberikan pelatihan. Termasuk pelatihan ke Timor Leste tentang pemanfaatan media digital dan keamanan digital.
Anda sering mendapat intimidasi karena mengadvokasi soal penyerangan digital?
Cukup sering sejak 2017. Tapi paling intens dan cukup meresahkan justru tahun ini.
Apa saja kegiatan Anda saat senggang?
Saya suka membaca dan menulis. Terakhir, saya menulis kolom berangkat dari tulisan Zizek tentang new normal.
Anda suka baca apa?
Saya kolektor novel 1984 karya George Orwell, Simon Winchester, dan Haruki Murakami. Yang baru ini selesai dibaca buku-buku Yoah Noval Harari dan Slavoj Zizek.
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet: Indonesia Siaga Satu Kemerdekaan Berekspresi