Pengacara dan aktivis pembela hak asasi manusia untuk Papua, Veronica Koman, kembali ramai dibincangkan setelah mengikuti diskusi #PapuanLivesMatter yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia di akun YouTube BEM UI, Sabtu pekan lalu. Pihak rektorat UI menolak diskusi itu dan menyebutnya tidak layak secara akademis karena narasumber tidak seimbang. Namun sejumlah dosen, yang menamakan diri Aliansi Dosen Universitas Indonesia untuk Kebebasan Akademik dan Kebebasan Berpendapat, mendukung diskusi itu.
Menurut Veronica Koman, dua jam sebelum diskusi, ada serangan terhadapnya dan panitia acara itu di media sosial. Ia sendiri mengaku sudah biasa menghadapi hal seperti itu ketika membicarakan isu Papua. Bukan hanya di UI, menurut Veronica, gangguan juga terjadi kepada panitia diskusi Papua dengan pembicara lain di Universitas Lampung pada Kamis lalu. "Ini sudah memberangus kebebasan berpendapat, kebebasan akademis," kata Veronica kepada Dian Yuliastuti dari Tempo lewat aplikasi pesan, Rabu lalu.
Sebelumnya, nama Veronica mencuat ketika ia ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan di Asrama Papua, Surabaya, pertengahan Agustus tahun lalu. Dalam wawancara dengan Tempo, Veronica yang kini tinggal di Australia juga bercerita tentang dirinya yang dituduh sebagai provokator kerusuhan itu dan masuk daftar pencarian orang (DPO), pengalamannya menangani isu Papua, hingga tentang kesehariannya.
Diskusi Papua di Universitas Indonesia jadi ramai?
Dua jam sebelum diskusi di UI, ada serangan di medsos yang menyerang saya dan BEM UI. Saya sudah biasa, tapi saya khawatir pada panitia. Memang jadi banyak protokol, namun acara lancar. Tidak hanya di UI, diskusi tentang Papua di Universitas Lampung (dengan pembicara lain) juga diganggu. Ini sudah memberangus kebebasan berpendapat dan kebebasan akademis. Lebih buruk dari membubarkan demo di jalan raya. Ini kampus loh, seharusnya ada diskursus. Kampus itu untuk memproduksi ilmu, bisa menghasilkan kajian akademis tentang resolusi konflik. Ini diskusi masalah universal, soal rasisme. Yang mau didalami soal rasisme di Papua, mendengar unek-unek mereka.
Bagaimana Anda menghadapi itu?
Kami sedang mendata banyak diskusi dan konferensi pers tentang Papua yang diganggu. Gila ini, teror teknologi dalam masa pandemi. Intervensi negara sudah masuk kampus pelan-pelan dan mengintimidasi mahasiswa. Empat mahasiswa Unkhaer di Ternate dikeluarkan karena ikut demo, sekarang sedang menggugat di PTUN di Maluku. Di Lampung ada mahasiswa yang beasiswanya dibatalkan karena simpati soal Papua. Itu terjadi pada Desember 2019.
Menurut Anda, mengapa diskusi tentang Papua tidak mulus?
Di Papua ini penuh dengan memoria passionis tentang pelanggaran berat HAM, tidak ditulis di buku, tapi diceritakan turun-temurun. Mereka korban rasisme, tapi distigma makar dan ini menambah luka mereka. Rasisme meledak di Amerika Serikat kemarin karena mereka marah (Kemarahan dipicu oleh meninggalnya seorang pria keturunan Afrika, George Floyd, di Minneapolis pada 25 Mei lalu karena kekerasan oleh seorang polisi berkulit putih). Di Papua sama, diawali dari kejadian yang direkam. Di Amerika tidak ada pasal makar, tapi di sini distigma. Hukum di Indonesia ini rasis.
Maksud hukum Indonesia rasis?
Itu berdasarkan pengalaman saya. Tahun lalu, sebelum saya berangkat ke Australia untuk wisuda, saya di Timika selama dua bulan karena ada persidangan. Selama ini saya sudah mendengar dari kawan-kawan pengacara, tidak akan menang. Saya buktikan sendiri akhirnya ada tiga persidangan, sudah dibelain begadang-begadang bikin pleidoi sampai 40 halaman, sampai kena malaria. Pas pembacaan vonis, pertimbangan dari saya barang satu kalimat pun tak disebut. Sakit hati benar saya. Teman-teman hanya menertawakan saya.
Persidangan kasus lain juga begitu. Masih pembelaan kedua, hakim sudah ketik putusan bersalah. Pokoknya orang Papua harus bersalah. Kalau ada yang dibunuh, tidak diinvestigasi. Kasus tapol Papua yang di Jakarta juga demikian, 56 orang dituduh makar. Mereka divonis 8-9 bulan penjara mendekati masa tahanan yang dijalani. Hakimnya gamang, makanya mereka tetap diputus bersalah dan dihukum untuk membuktikan bersalah.
Bagaimana kesadaran masyarakat terhadap isu itu?
Dengan kejadian Black Lives Matters yang trending di Amerika Serikat (kasus kematian pria keturunan Afrika itu), di sini ada Papuan Lives Matters yang ikut trending. Kesadaran tentang rasisme di Papua ikut meningkat. Ini membuat optimistis, jadi ada banyak diskusi daring. Tapi seminggu ini diganggu terus. Negara tidak mau ada narasi lain, maunya narasi tunggal versi negara. Ini diskusi daring diteror terus. Kemarin di UI, teman-teman mahasiswa jadi tahu, orang Indonesia non-Papua jadi tahu susahnya. Itu isu universal, rasisme, tapi menyangkut Papua jadi setabu itu.
Orang yang bicara tentang Papua pasti distigma sebagai OPM. Saya juga distigma begitu, Pastor John Jonga (penerima Yap Thiam Hien 2009) juga. Ini seperti taktik sapu jagat. Yang bicara tentang Papua itu OPM, sama seperti dulu stigma Orde Baru: yang kritis progresif dicap PKI. Ini taktik negara untuk membungkam soal Papua. Aku orang Jakarta yang masih punya privilese untuk menggaungkan masalah ini, dapat audiens banyak. Tapi mereka (orang Papua) tidak bisa. Jurnalis di sana juga dibungkam, kebebasan pers Indonesia masih buruk karena Papua. Tapi sekarang saya perhatikan tembok mulai tertembus. Ada teknologi informasi, smartphone, mereka sendiri merekam dan mengunggah di medsos.
Anda sendiri banyak menerima ancaman di media sosial...
Masih. Tiap hari banjir makian (di Twitter dan Facebook). Sudah risiko. Jangankan saya, Pastor John Jonga saja distigma. Jadi pembela HAM Papua, orang-orangnya keras kepala. Memang butuh orang keras kepala karena harus menghadapi intimidasi dan serangan online terus.
Anda merasa tertekan?
Dulu, awal-awal sempat stres juga, tapi sekarang sudah kebal. Pada awal saya muncul, tiap hari dapat ancaman pembunuhan, banjir di medsos. Temanku yang melihat Twitter-ku tutup akun mereka, kapok enggak main medsos. Malah mereka yang kapok, ha-ha-ha.
Apakah Anda juga diganggu di lapangan, ketika demo misalnya?
Hubungan saya dengan aparat di lapangan baik. Menurut pengalaman di lapangan, setiap ada demo, mereka tanya mana Mbak Vero. Kenapa? Karena mereka tidak bisa ngomong sama orang Papua. Polisi berterima kasih sama saya. Orang Papua pun tidak percaya dan tidak bisa ngomong dengan aparat. Mereka keras. Butuh peran penengah. Pengalaman demo ini juga mencerminkan kondisi Papua dan Jakarta.
Mengapa mereka tidak bisa saling bicara?
Ada ketidakpercayaan orang Papua kepada aparat karena adanya pelanggaran HAM sejak 1960-an. Ada janji penyelesaian pelanggaran HAM (tapi tidak terjadi). Mereka keseringan dibohongi. Lalu ada otonomi khusus, namun ternyata dikerdilkan. Otsus ini semangatnya meluruskan sejarah, ada pengadilan HAM tapi ternyata tidak. Ini menambah ketidakpercayaan mereka. Mereka juga trauma. Orang Papua keras tapi mereka percaya dengan saya.
Ada pengalaman lain soal ini?
Waktu kejadian mahasiswa Papua di Surabaya yang dikepung selama dua hari (Agustus 2019), juga tidak ada penengah. Mereka menghubungi saya, mereka tanya, "Bagaimana ini Kak?". Pas ditembaki gas air mata, mereka masih teleponan. Saya dengar mereka panik, bilang, "Aduh Yesus, bagaimana ini, kami ditembaki". Saya sarankan mereka berlindung, cari pengamanan, tapi mereka tidak bisa bicara dengan polisi. Eh, malah saya dituduh menyebarkan hoax.
Anda sempat masuk DPO, ya…
Iya ini, ha-ha-ha. Saya perhatikan betul aparat tidak menyanggah data saya. Tapi menyerang personal saya. Black campaign kencang sekali. Tapi saya enggak meng-amplify. Mereka menciptakan karakter buruk supaya orang tidak percaya kepada saya. Merongrong saya sebagai sosok DPO yang mengerikan. Padahal saya kan lucu begini, ha-ha-ha. Mungkin mereka jengkel juga sudah jadi DPO masih bandel, keras kepala, dan nongol di mana-mana.
Menurut Anda, bagaimana penyelesaian masalah Papua?
Energi negara untuk menyelesaikan HAM di Papua ini lebih banyak dipakai untuk propaganda, ketimbang penyelesaian masalah di lapangan. Misalnya, ada video yang memperlihatkan polisi menyumbang sembako ke orang Papua, tapi itu hanya berpengaruh pada orang non-Papua.
Mengapa Anda tertarik mengurusi Papua?
Indonesia mengalir dalam darah saya. Ada tato Indonesia di tangan, ha-ha-ha. Saya tahu cara berpikir orang non-Papua, karena saya dulu juga begitu. Menurut mereka, soal Papua itu konspirasi asing, mau merebut Freeport. Ini karena orang tidak tahu, ada narasi yang sistematis.
Kapan mulai bersentuhan dengan urusan Papua?
Awalnya ketika saya bekerja di LBH Jakarta. Waktu itu ada kasus kerusuhan Paniai (Desember 2014), ada empat anak ditembak mati. Tapi kenapa biasa-biasa saja, ini anak loh. Lalu saya baca jurnal akademis tentang Papua. Dari situ, saya mulai tergerak untuk berfokus pada masalah HAM di Papua. Untuk masalah Papua ini butuh "I Love You 3.000" dan keras kepala. Harus dilihat dengan kacamata, dengan hati, kalau enggak, ya mental.
Susah mendapatkan kepercayaan mereka, makanya harus dengan hati tadi. Karena setiap orang Papua yang saya kenal, pernah jadi korban, kenal atau punya keluarga korban, atau tahu jadi korban. Sudah separah itu pelanggaran HAM di sana. Selama di sana, saya juga jadi tahu adat tradisi mereka, diajari dan dibuatkan acara injak piring, bakar batu segala.
Sejak tahun lalu Anda berada di Australia, apakah ingin balik kembali ke Indonesia?
Ya pengen baliklah, karena kan mau bisa ke Papua lagi.
Jika ke Papua, Anda kangen ke mana?
Timika dan Jayapura. Di Timika seperti ada koneksi. Di sana mungkin karena awal mula penderitaan orang Papua dengan penambangan Freeport. Pertama kali ke Timika, rasanya beda. Ada mama bilang pantas langit beda, ada yang mau datang rupanya. Aku orangnya enggak sespiritual itu, tapi seperti ada koneksi. Di Jayapura karena mungkin, ya, kalau ke mana-mana, pasti ke Jayapura dulu.
Anda tidak capek mengurus HAM Papua?
Karena sudah jadi passion ya, kasus Papua ini seperti harus terus dipantau. Sebagai manusia normal, ya ada stres, down. Tapi, kalau ada kasus baru, terus saya diserang, saya langsung mikir lagi, apa yang saya alami tidak ada apa-apanya. Kerja untuk Papua membuat standar berani jadi beda, standar ketangguhan jadi beda. Jadi malu sama mereka yang sudah mengalami seperti itu. Orang Papua itu berani dan tangguh.
Aku merasa ada tanggung jawab moral. Papua sudah membesarkan namaku, dengan platform yang aku punya, aku gunakan untuk menyuarakan Papua. Ya, risikonya seperti ini, tapi sudah kadung nyantol di hati. Sejak kerja untuk Papua, saya enggak lihat ada penindasan yang lebih parah seperti di Papua. Enggak merasa berat menjalani kerja ini.
Ada kegiatan Anda untuk melepas stres?
Paling masak ya, masak segala jenis cake yang lucu-lucu, oven-ovenan. Lihat video masak resep. Dulu pernah punya keinginan pensiun, jadi tukang bunga, kayaknya enak lihat bunga terus. Tapi terus mikir, kalau enggak laku, stres enggak ya. Ha-ha-ha. Maka, ya sudah, masak-masak saja.
Selama pandemi, apa saja kegiatan Anda?
Enggak beda sebenarnya, karena dasarnya saya ini kuper, enggak gaul. Kalau ketemu mahasiswa atau orang Indonesia bawaannya malah waswas. Paling ikut diskusi dengan para aktivis karena di sini kan juga multikultur. Tetap memantau kasus juga, ikuti demo Aborigin, nasib mereka juga mirip.
Hal lain yang Anda lakukan?
Saya enggak biasa gaul. Mau potong rambut, bikin tato, atau merokok di sini mahal. Dulu saya kalau lagi menangani kasus di Indonesia, bisa habis rokok sebungkus. Sekarang di sini enggak, mahal soalnya, ha-ha-ha. Itu berhenti merokok tanpa penderitaan. Jadi malah lebih sehat. Harga rokok sebungkus Rp 330 ribu. Jadi lebih hemat juga. Lebih hemat lagi karena enggak beli makanan, lebih banyak masak.
Anda suka nonton?
Kalau nonton, paling jatuhnya nonton film dokumenter, ha-ha-ha....
Anda suka baca buku apa?
Nonfiksi dan biografi orang-orang besar. Saya bisa belajar dan memandang dunia lebih luas. Saya juga suka baca tokoh yang berbeda pandangan, biar tahu pemikiran mereka dan tidak gampang menghakimi orang. Kalau fiksi, saya suka bukunya Milan Kundera, dan Okky Madasari. Yang lengkap aku baca bukunya Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan.
Anda punya tokoh Idola?
Enggak punya tokoh idola, karena aku enggak percaya ketokohan, percaya sama nilai he-he-he..
Lahir:
14 Juni 1988
Pendidikan:
- Universitas Pelita Harapan (S-1)
- Australian National University (S-2)
Penghargaan:
- Sir Ronald Wilson Human Rights dari The Australian Council for International Development (ACFID)
Hobi:
- Memasak
- Baca Buku