Homepage
  • login/register
  • Home
  • Berita Utama
  • Editorial
  • Nasional
  • Ekonomi
  • Metro
  • Internasional
  • Olahraga
  • Sains
  • Seni
  • Gaya Hidup
  • Info Tempo

koran tempo

13
Juni
2020
Dukung Independensi Tempo
  • Home
  • Berita Utama
  • Nasional
  • Ekonomi
  • Metro
  • Sains
  • Editorial
  • Opini
  • Info Tempo
  • Cari Angin
SebelumnyaTamu 1/1 Selanjutnya
Tamu

Veronica Koman, pengacara dan aktivis HAM: Membela Papua Butuh Orang Keras Kepala

Pengacara dan aktivis pembela hak asasi manusia untuk Papua, Veronica Koman, kembali ramai dibincangkan setelah mengikuti diskusi #PapuanLivesMatter yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia di akun YouTube BEM UI, Sabtu pekan lalu.

Edisi, 13 Juni 2020
Profile
Tempo
Veronica Koman di Royal Botanic Garden Sydney, Australia, Oktober 2019. Dok. Pribadi

Pengacara dan aktivis pembela hak asasi manusia untuk Papua, Veronica Koman, kembali ramai dibincangkan setelah mengikuti diskusi #PapuanLivesMatter yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia di akun YouTube BEM UI, Sabtu pekan lalu. Pihak rektorat UI menolak diskusi itu dan menyebutnya tidak layak secara akademis karena narasumber tidak seimbang. Namun sejumlah dosen, yang menamakan diri Aliansi Dosen Universitas Indonesia untuk Kebebasan Akademik dan Kebebasan Berpendapat, mendukung diskusi itu.

Menurut Veronica Koman, dua jam sebelum diskusi, ada serangan terhadapnya dan panitia acara itu di media sosial. Ia sendiri mengaku sudah biasa menghadapi hal seperti itu ketika membicarakan isu Papua. Bukan hanya di UI, menurut Veronica, gangguan juga terjadi kepada panitia diskusi Papua dengan pembicara lain di Universitas Lampung pada Kamis lalu. "Ini sudah memberangus kebebasan berpendapat, kebebasan akademis," kata Veronica kepada Dian Yuliastuti dari Tempo lewat aplikasi pesan, Rabu lalu.

Sebelumnya, nama Veronica mencuat ketika ia ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan di Asrama Papua, Surabaya, pertengahan Agustus tahun lalu. Dalam wawancara dengan Tempo, Veronica yang kini tinggal di Australia juga bercerita tentang dirinya yang dituduh sebagai provokator kerusuhan itu dan masuk daftar pencarian orang (DPO), pengalamannya menangani isu Papua, hingga tentang kesehariannya.  

Diskusi Papua di Universitas Indonesia jadi ramai?

Dua jam sebelum diskusi di UI, ada serangan di medsos yang menyerang saya dan BEM UI. Saya sudah biasa, tapi saya khawatir pada panitia. Memang jadi banyak protokol, namun acara lancar. Tidak hanya di UI, diskusi tentang Papua di Universitas Lampung (dengan pembicara lain) juga diganggu. Ini sudah memberangus kebebasan berpendapat dan kebebasan akademis. Lebih buruk dari membubarkan demo di jalan raya. Ini kampus loh, seharusnya ada diskursus. Kampus itu untuk memproduksi ilmu, bisa menghasilkan kajian akademis tentang resolusi konflik. Ini diskusi masalah universal, soal rasisme. Yang mau didalami soal rasisme di Papua, mendengar unek-unek mereka.
W251bGwsIjIwMjEtMDQtMTkgMjM6NDk6MTIiXQ

Bagaimana Anda menghadapi itu?

Kami sedang mendata banyak diskusi dan konferensi pers tentang Papua yang diganggu. Gila ini, teror teknologi dalam masa pandemi. Intervensi negara sudah masuk kampus pelan-pelan dan mengintimidasi mahasiswa. Empat mahasiswa Unkhaer di Ternate dikeluarkan karena ikut demo, sekarang sedang menggugat di PTUN di Maluku. Di Lampung ada mahasiswa yang beasiswanya dibatalkan karena simpati soal Papua. Itu terjadi pada Desember 2019.

Menurut Anda, mengapa diskusi tentang Papua tidak mulus?

Di Papua ini penuh dengan memoria passionis tentang pelanggaran berat HAM, tidak ditulis di buku, tapi diceritakan turun-temurun. Mereka korban rasisme, tapi distigma makar dan ini menambah luka mereka. Rasisme meledak di Amerika Serikat kemarin karena mereka marah (Kemarahan dipicu oleh meninggalnya seorang pria keturunan Afrika, George Floyd, di Minneapolis pada 25 Mei lalu karena kekerasan oleh seorang polisi berkulit putih). Di Papua sama, diawali dari kejadian yang direkam. Di Amerika tidak ada pasal makar, tapi di sini distigma. Hukum di Indonesia ini rasis.

Maksud hukum Indonesia rasis?

Itu berdasarkan pengalaman saya. Tahun lalu, sebelum saya berangkat ke Australia untuk wisuda, saya di Timika selama dua bulan karena ada persidangan. Selama ini saya sudah mendengar dari kawan-kawan pengacara, tidak akan menang. Saya buktikan sendiri akhirnya ada tiga persidangan, sudah dibelain begadang-begadang bikin pleidoi sampai 40 halaman, sampai kena malaria. Pas pembacaan vonis, pertimbangan dari saya barang satu kalimat pun tak disebut. Sakit hati benar saya. Teman-teman hanya menertawakan saya.
Persidangan kasus lain juga begitu. Masih pembelaan kedua, hakim sudah ketik putusan bersalah. Pokoknya orang Papua harus bersalah. Kalau ada yang dibunuh, tidak diinvestigasi. Kasus tapol Papua yang di Jakarta juga demikian, 56 orang dituduh makar. Mereka divonis 8-9 bulan penjara mendekati masa tahanan yang dijalani. Hakimnya gamang, makanya mereka tetap diputus bersalah dan dihukum untuk membuktikan bersalah.

Bagaimana kesadaran masyarakat terhadap isu itu?

Dengan kejadian Black Lives Matters yang trending di Amerika Serikat (kasus kematian pria keturunan Afrika itu), di sini ada Papuan Lives Matters yang ikut trending. Kesadaran tentang rasisme di Papua ikut meningkat. Ini membuat optimistis, jadi ada banyak diskusi daring. Tapi seminggu ini diganggu terus. Negara tidak mau ada narasi lain, maunya narasi tunggal versi negara. Ini diskusi daring diteror terus. Kemarin di UI, teman-teman mahasiswa jadi tahu, orang Indonesia non-Papua jadi tahu susahnya. Itu isu universal, rasisme, tapi menyangkut Papua jadi setabu itu.
Orang yang bicara tentang Papua pasti distigma sebagai OPM. Saya juga distigma begitu, Pastor John Jonga (penerima Yap Thiam Hien 2009) juga. Ini seperti taktik sapu jagat. Yang bicara tentang Papua itu OPM, sama seperti dulu stigma Orde Baru: yang kritis progresif dicap PKI. Ini taktik negara untuk membungkam soal Papua. Aku orang Jakarta yang masih punya privilese untuk menggaungkan masalah ini, dapat audiens banyak. Tapi mereka (orang Papua) tidak bisa. Jurnalis di sana juga dibungkam, kebebasan pers Indonesia masih buruk karena Papua. Tapi sekarang saya perhatikan tembok mulai tertembus. Ada teknologi informasi, smartphone, mereka sendiri merekam dan mengunggah di medsos.

Anda sendiri banyak menerima ancaman di media sosial...

Masih. Tiap hari banjir makian (di Twitter dan Facebook). Sudah risiko. Jangankan saya, Pastor John Jonga saja distigma. Jadi pembela HAM Papua, orang-orangnya keras kepala. Memang butuh orang keras kepala karena harus menghadapi intimidasi dan serangan online terus.  

Anda merasa tertekan?

Dulu, awal-awal sempat stres juga, tapi sekarang sudah kebal. Pada awal saya muncul, tiap hari dapat ancaman pembunuhan, banjir di medsos. Temanku yang melihat Twitter-ku tutup akun mereka, kapok enggak main medsos. Malah mereka yang kapok, ha-ha-ha.

Apakah Anda juga diganggu di lapangan, ketika demo misalnya?

Hubungan saya dengan aparat di lapangan baik. Menurut pengalaman di lapangan, setiap ada demo, mereka tanya mana Mbak Vero. Kenapa? Karena mereka tidak bisa ngomong sama orang Papua. Polisi berterima kasih sama saya. Orang Papua pun tidak percaya dan tidak bisa ngomong dengan aparat. Mereka keras. Butuh peran penengah. Pengalaman demo ini juga mencerminkan kondisi Papua dan Jakarta.

Mengapa mereka tidak bisa saling bicara?

Ada ketidakpercayaan orang Papua kepada aparat karena adanya pelanggaran HAM sejak 1960-an. Ada janji penyelesaian pelanggaran HAM (tapi tidak terjadi). Mereka keseringan dibohongi. Lalu ada otonomi khusus, namun ternyata dikerdilkan. Otsus ini semangatnya meluruskan sejarah, ada pengadilan HAM tapi ternyata tidak. Ini menambah ketidakpercayaan mereka. Mereka juga trauma. Orang Papua keras tapi mereka percaya dengan saya.

Ada pengalaman lain soal ini?

Waktu kejadian mahasiswa Papua di Surabaya yang dikepung selama dua hari (Agustus 2019), juga tidak ada penengah. Mereka menghubungi saya, mereka tanya, "Bagaimana ini Kak?". Pas ditembaki gas air mata, mereka masih teleponan. Saya dengar mereka panik, bilang, "Aduh Yesus, bagaimana ini, kami ditembaki". Saya sarankan mereka berlindung, cari pengamanan, tapi mereka tidak bisa bicara dengan polisi. Eh, malah saya dituduh menyebarkan hoax.

Anda sempat masuk DPO, ya…

Iya ini, ha-ha-ha. Saya perhatikan betul aparat tidak menyanggah data saya. Tapi menyerang personal saya. Black campaign kencang sekali. Tapi saya enggak meng-amplify. Mereka menciptakan karakter buruk supaya orang tidak percaya kepada saya. Merongrong saya sebagai sosok DPO yang mengerikan. Padahal saya kan lucu begini, ha-ha-ha. Mungkin mereka jengkel juga sudah jadi DPO masih bandel, keras kepala, dan nongol di mana-mana.

Menurut Anda, bagaimana penyelesaian masalah Papua?

Energi negara untuk menyelesaikan HAM di Papua ini lebih banyak dipakai untuk propaganda, ketimbang penyelesaian masalah di lapangan. Misalnya, ada video yang memperlihatkan polisi menyumbang sembako ke orang Papua, tapi itu hanya berpengaruh pada orang non-Papua.  

Mengapa Anda tertarik mengurusi Papua?

Indonesia mengalir dalam darah saya. Ada tato Indonesia di tangan, ha-ha-ha. Saya tahu cara berpikir orang non-Papua, karena saya dulu juga begitu. Menurut mereka, soal Papua itu konspirasi asing, mau merebut Freeport. Ini karena orang tidak tahu, ada narasi yang sistematis.

Kapan mulai bersentuhan dengan urusan Papua?

Awalnya ketika saya bekerja di LBH Jakarta. Waktu itu ada kasus kerusuhan Paniai (Desember 2014), ada empat anak ditembak mati. Tapi kenapa biasa-biasa saja, ini anak loh. Lalu saya baca jurnal akademis tentang Papua. Dari situ, saya mulai tergerak untuk berfokus pada masalah HAM di Papua. Untuk masalah Papua ini butuh "I Love You 3.000" dan keras kepala. Harus dilihat dengan kacamata, dengan hati, kalau enggak, ya mental.
Susah mendapatkan kepercayaan mereka, makanya harus dengan hati tadi. Karena setiap orang Papua yang saya kenal, pernah jadi korban, kenal atau punya keluarga korban, atau tahu jadi korban. Sudah separah itu pelanggaran HAM di sana. Selama di sana, saya juga jadi tahu adat tradisi mereka, diajari dan dibuatkan acara injak piring, bakar batu segala.

Sejak tahun lalu Anda berada di Australia, apakah ingin balik kembali ke Indonesia?

Ya pengen baliklah, karena kan mau bisa ke Papua lagi.

Jika ke Papua, Anda kangen ke mana?

Timika dan Jayapura. Di Timika seperti ada koneksi. Di sana mungkin karena awal mula penderitaan orang Papua dengan penambangan Freeport. Pertama kali ke Timika, rasanya beda. Ada mama bilang pantas langit beda, ada yang mau datang rupanya. Aku orangnya enggak sespiritual itu, tapi seperti ada koneksi. Di Jayapura karena mungkin, ya, kalau ke mana-mana, pasti ke Jayapura dulu.

Anda tidak capek mengurus HAM Papua?

Karena sudah jadi passion ya, kasus Papua ini seperti harus terus dipantau. Sebagai manusia normal, ya ada stres, down. Tapi, kalau ada kasus baru, terus saya diserang, saya langsung mikir lagi, apa yang saya alami tidak ada apa-apanya. Kerja untuk Papua membuat standar berani jadi beda, standar ketangguhan jadi beda. Jadi malu sama mereka yang sudah mengalami seperti itu. Orang Papua itu berani dan tangguh.
Aku merasa ada tanggung jawab moral. Papua sudah membesarkan namaku, dengan platform yang aku punya, aku gunakan untuk menyuarakan Papua. Ya, risikonya seperti ini, tapi sudah kadung nyantol di hati. Sejak kerja untuk Papua, saya enggak lihat ada penindasan yang lebih parah seperti di Papua. Enggak merasa berat menjalani kerja ini. 

Ada kegiatan Anda untuk melepas stres?

Paling masak ya, masak segala jenis cake yang lucu-lucu, oven-ovenan. Lihat video masak resep. Dulu pernah punya keinginan pensiun, jadi tukang bunga, kayaknya enak lihat bunga terus. Tapi terus mikir, kalau enggak laku, stres enggak ya. Ha-ha-ha. Maka, ya sudah, masak-masak saja.

Selama pandemi, apa saja kegiatan Anda?

Enggak beda sebenarnya, karena dasarnya saya ini kuper, enggak gaul. Kalau ketemu mahasiswa atau orang Indonesia bawaannya malah waswas. Paling ikut diskusi dengan para aktivis karena di sini kan juga multikultur. Tetap memantau kasus juga, ikuti demo Aborigin, nasib mereka juga mirip. 

Hal lain yang Anda lakukan?

Saya enggak biasa gaul. Mau potong rambut, bikin tato, atau merokok di sini mahal. Dulu saya kalau lagi menangani kasus di Indonesia, bisa habis rokok sebungkus. Sekarang di sini enggak, mahal soalnya, ha-ha-ha. Itu berhenti merokok tanpa penderitaan. Jadi malah lebih sehat. Harga rokok sebungkus Rp 330 ribu. Jadi lebih hemat juga. Lebih hemat lagi karena enggak beli makanan, lebih banyak masak.

Anda suka nonton?

Kalau nonton, paling jatuhnya nonton film dokumenter, ha-ha-ha....

Anda suka baca buku apa?

Nonfiksi dan biografi orang-orang besar. Saya bisa belajar dan memandang dunia lebih luas. Saya juga suka baca tokoh yang berbeda pandangan, biar tahu pemikiran mereka dan tidak gampang menghakimi orang. Kalau fiksi, saya suka bukunya Milan Kundera, dan Okky Madasari. Yang lengkap aku baca bukunya Pramoedya Ananta Toer dan  Eka Kurniawan.

Anda punya tokoh Idola?

Enggak punya tokoh idola, karena aku enggak percaya  ketokohan, percaya sama nilai he-he-he..

Lahir:

14 Juni 1988

Pendidikan:

- Universitas Pelita Harapan (S-1)

- Australian National University (S-2)

Penghargaan:

- Sir Ronald Wilson Human Rights dari The Australian Council for International Development (ACFID)

Hobi:

- Memasak

- Baca Buku




SebelumnyaTamu 1/1 Selanjutnya

Hubungi Kami:

Alamat : Gedung TEMPO, Jl. Palmerah Barat No.8, Jakarta Selatan, 12210

Informasi Langganan :

Email : cs@tempo.co.id

Telepon : 021 50805999 || Senin - Jumat : Pkl 09.00 - 18.00 WIB

Telp/SMS/WA : 0882-1030-2525 | 0882-1023-2343 | 0887-1146-002 || Senin - Minggu : Pkl 08.00 - 22.00 WIB

Informasi Lainnya :

Telp/SMS/WA : 0882-1030-2828 || Senin - Minggu : Pkl 08.00 - 22.00 WIB

Komentar

Berita Terkait

  • Veronica Koman, pengacara dan aktivis HAM: Membela Papua Butuh Orang Keras Kepala

    Berita Lainnya

  • Cover Story

    Piknik Berjarak di Ibu Kota

    Sejumlah tempat wisata umum di Ibu Kota bersiap untuk kembali buka setelah tutup selama tiga bulan terakhir.

    13 Juni 2020
  • Berita Utama

    Pemerintah Batasi Waktu dan Layanan Salon

    Sebanyak 16 taman kota dibuka mulai hari ini.    

    12 Juni 2020
  • Berita Utama

    Tempat Wisata Antisipasi Kerumunan Pengunjung

    Taman Impian Jaya Ancol telah menggelar tes swab kepada karyawannya.

    12 Juni 2020
  • Cari angin

    Bandel

    Euforia new normal terjadi di seluruh pelosok negeri. Pusat-pusat perdagangan, dari mal sampai pasar tradisional, mulai dibuka.

    13 Juni 2020
  • Nasional

    Perlindungan Tenaga Kesehatan Belum Merata

    Tenaga medis belum mendapat pemeriksaan rutin.

    12 Juni 2020
  • Nasional

    Berbagi Beban dengan Rumah Sakit Darurat

    Pemerintah akan memperkuat penanganan pandemi berbasis komunitas dengan mengandalkan puskesmas.

    12 Juni 2020
  • Nasional

    Komisi Kejaksaan Soroti Jaksa Kasus Penyerangan Novel

    Kejanggalan penanganan perkara kasus Novel Baswedan oleh jaksa penuntut umum sudah pernah diadukan ke Komisi Kejaksaan.

    12 Juni 2020
  • Ekonomi dan Bisnis

    Sub-Holding Pertamina Ditargetkan Go Public dalam Dua Tahun

    Nicke Widyawati dinilai merupakan sosok terbaik untuk kembali memimpin Pertamina.

    12 Juni 2020
  • Ekonomi dan Bisnis

    Memperbesar Peluang Investasi Emas

    Pluang mencetak transaksi investasi lebih dari 1 juta kali.

    12 Juni 2020
  • Internasional

    Khawatir Warga akan Hukum Keamanan Hong Kong

    Berdasarkan survei Universitas Cina terhadap 800 warga Hong Kong, mereka yang berusia antara 18 dan 24 tahun ingin beremigrasi.

    12 Juni 2020
  • Olah Raga

    Siap Beraksi

    Erling Haaland siap dimainkan melawan Fortuna Dusseldorf.

    12 Juni 2020
  • Olah Raga

    Babak Baru Drama Martinez

    Lautaro dikabarkan akan bicara secara terbuka tentang keinginannya hengkang. 

    12 Juni 2020
  • Topik

    Menabung  Saham demi Cuan Masa Depan

    Gairah dan minat anak muda untuk berinvestasi melalui pasar modal semakin besar. Mereka yang baru punya penghasilan atau bergaji pas-pasan pun sudah berani menyisihkan sebagian uangnya untuk diinvestasikan melalui saham.

    12 Juni 2020
  • Topik

    Peluang Untung Saat Indeks Buntung

    Pandemi virus corona (Covid-19) sempat memukul pasar modal di Tanah Air. Namun, walau bursa sedang terpuruk, jumlah investornya terus bertambah.

    12 Juni 2020
  • Olah Raga

    Kemenpora Serahkan Jadwal Pelatnas ke Induk Cabang Olahraga

    Pada tahap pertama, kegiatan olahraga yang diperbolehkan adalah yang bersifat individual.

    12 Juni 2020
  • Internasional

    Angka Kemiskinan Akibat Corona Tembus 1,1 Miliar

    Kawasan yang diperkirakan memiliki angka kemiskinan ekstrem tertinggi adalah Asia Selatan.

    12 Juni 2020
  • Seni

    Musik Terapi Hadapi Pandemi

    Pekerja seni di Yogyakarta membuat musik untuk relaksasi tenaga medis dan pasien Covid-19.

    12 Juni 2020
  • Gaya Hidup

    Para Pelestari Tanaman Asli Nusantara

    Banyak tanaman asli Indonesia yang makin susah ditemui di pekarangan. Sebagian orang berinisiatif menebarkan benih aneka tanaman yang mulai langka di perkotaan.

    12 Juni 2020
  • Gaya Hidup

    Mudah Membuat Webinar

    Banyak platform yang mendukung kegiatan online itu, mulai dari media sosial hingga aplikasi khusus. Dengan demikian, membikin webinar pun menjadi sangat mudah.

    12 Juni 2020
  • iTempo

    Konsol Mungil dari Sega

    Dalam satu konsol Game Gear, sudah terpasang empat game.

    12 Juni 2020
  • Daftar Iklan Baris

    Iklan Pengumuman

    Iklan Pengumuman

    12 Juni 2020
  • Buku

    Mencari Definisi Kenormalan

    Novel Irlandia yang diwarnai isu kelas dan gender serta menyinggung fenomena digital. Telah dijadikan serial televisi 12 episode.

    12 Juni 2020
  • Fotografi

    Era Baru Pariwisata Bali

    Ekonomi Bali begitu terpukul akibat wabah virus corona. Pariwisata seakan-akan dihantam hingga ke dasar bumi.

    11 Juni 2020
  • Tamu

    Veronica Koman, pengacara dan aktivis HAM: Membela Papua Butuh Orang Keras Kepala

    Pengacara dan aktivis pembela hak asasi manusia untuk Papua, Veronica Koman, kembali ramai dibincangkan setelah mengikuti diskusi #PapuanLivesMatter yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia di akun YouTube BEM UI, Sabtu pekan lalu.

    13 Juni 2020
  • Perjalanan

    Menziarahi Makam Sahabat Nabi di Guangzhou

    Di Guangzhou, Cina, terdapat situs penting umat Islam: makam paman Rasulullah SAW dan masjid bersejarah. Meski tak terlalu populer di kalangan warga lokal, tempat ini ramai dikunjungi peziarah mancanegara.

    13 Juni 2020
  • Sastra

    Cerita Penari untuk Kekasih

    Cerita ini ditulis untuk kekasih gelap saya, seorang laki-laki yang tidak suka membaca.

    12 Juni 2020
Koran Tempo
  • TEMPO.CO
  • Majalah Tempo
  • Majalah Tempo English
  • Koran Tempo
  • Tempo Institute
  • Indonesiana
  • Tempo Store
  • Tempo.co English

© 2018 PT. Info Media Digital, All right reserved