JAKARTA – Komisi Kejaksaan pernah menerima aduan tentang jaksa penuntut yang menangani perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Kejaksaan menerima aduan itu pada awal persidangan perkara ini di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan lembaganya telah menyampaikan laporan aduan masyarakat tersebut kepada Jaksa Agung dalam bentuk rekomendasi. "Kami belum terima jawaban dari Jaksa Agung atas rekomendasi itu," kata Barita, kemarin.
Ia mengatakan lembaganya akan tetap menagih ke Jaksa Agung agar publik bisa mengetahui tindak lanjut atas aduan tersebut, sekaligus menjadi bagian evaluasi lembaganya.
Menurut Barita, lembaganya juga memantau proses persidangan kedua terdakwa penyerangan terhadap Novel. Namun Komisi Kejaksaan baru akan memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung setelah hakim pengadilan membacakan putusan. Sebab, putusan hakim itu akan menjadi dasar pertimbangan bagi Komisi Kejaksaan untuk memberikan penilaian secara komprehensif dan obyektif terhadap kinerja jaksa penuntut.
Barita mengatakan Komisi Kejaksaan tidak boleh mempengaruhi kemandirian jaksa dalam melakukan penuntutan. Karena itu, ia tidak mau mengomentari materi ataupun teknis penuntutan oleh jaksa penuntut. Meski demikian, Barita memahami kekecewaan masyarakat atas tuntutan jaksa terhadap kedua terdakwa.
Ia berpendapat, sepatutnya aspek perlindungan negara kepada penegak hukum harus dilakukan secara maksimal melalui penuntutan yang berkeadilan. Sebab, kejaksaan merupakan representasi negara dalam melakukan penuntutan. "Di pihak lain, pelakunya adalah penegak hukum yang seharusnya mengetahui dan menjadi contoh ketaatan terhadap hukum," ujarnya.
Dua hari lalu, jaksa penuntut umum menuntut kedua terdakwa penyerangan terhadap Novel Baswedan dengan hukuman 1 tahun penjara. Kedua terdakwa itu adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulettu. Keduanya adalah anggota Brigade Mobil Polri. Jaksa penuntut menilai keduanya terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan Pasal 353 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun jaksa menyatakan terdakwa tidak ada niat saat melukai mata Novel.
Adapun Novel disiram air keras setelah menunaikan salat subuh di Masjid Jami Al-Ihsan, Jalan Deposito, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 11 April 2017. Insiden ini mengakibatkan mata Novel mengalami kerusakan parah hingga sekarang.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, enggan mengomentari tuntutan jaksa penuntut tersebut. Hari mempersilakan awak media menanyakan persoalan tersebut ke Kejaksaan Tinggi DKI. "Ke Kejati DKI, ya," katanya.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Giri Ahmad Taufik, mengatakan argumentasi jaksa yang menyatakan pelaku tidak sengaja menyiram mata Novel sebagai dasar tuntutan rendah itu merupakan penghinaan terhadap akal sehat. Tuntutan tersebut juga menjadi penghinaan terhadap doktrin hukum pidana universal ihwal kesengajaan.
Ia berpendapat, unsur kesengajaan seharusnya bisa dibuktikan dengan unsur mengetahui dan menghendaki. Dengan demikian, adanya unsur perencanaan dan penggunaan air keras telah mengindikasikan pelaku sadar bahwa menyiramkan air keras ke orang lain pasti menyebabkan luka berat pada bagian tubuh yang terkena.
Giri berharap hakim menimbang fakta dan hukum secara cermat sehingga bisa menghukum pelaku menggunakan Pasal 355 ayat 1 dengan ancaman 12 tahun penjara. Dasar putusan ini sudah tercantum dalam dakwaan jaksa penuntut umum. Ia juga meminta hakim mengabaikan tuntutan jaksa.
"Kami juga mendesak Jaksa Agung mengevaluasi jaksa penuntut umum sehubungan materi tuntutannya yang terindikasi keliru secara konsep hukum pidana," ujarnya. ***
DIKO OKTARA
Komisi Kejaksaan Soroti Jaksa Kasus Penyerangan Novel