Ilusi Sejahtera Ojek Daring Metropolitan
Perusahaan ojek daring mengeksploitasi pekerja informal dengan memberikan upah murah dan tanpa perlindungan kerja.
LAYANAN mobilitas on-demand berbasis platform digital (ride-hailing) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, terlebih di daerah perkotaan. Sejak kemunculannya pada 2010-an, pasar ride-hailing dengan cepat membesar di Indonesia, terutama layanan pemesanan makanan-minuman, kurir paket logistik, dan transportasi on-demand berbasis sepeda motor (ojek daring).
Namun, terlepas dari popularitas dan kecepatan pertumbuhan usahanya, model bisnis digital berbasis sharing-economy, yang awalnya digadang-gadang sebagai sistem ekonomi baru yang berkeadilan, kini semakin jelas terlihat tidak berbeda dengan kapitalis bengis yang tak sungkan mempraktikkan relasi kapital-buruh yang eksploitatif.
Retorika otonomi dan independensi dalam menentukan jenis pekerjaan, waktu kerja, hingga jumlah pendapatan yang diinginkan, yang populer dikenal dengan istilah gagah gig workers, menjadi jargon kosong untuk menutupi fakta eksploitasi pekerja informal yang dibayar murah tanpa pemberian hak dan perlindungan kerja yang memadai.
Baca juga: Belum Surut Pendaftar Ojek Online
Untuk lebih memahami karakter penciptaan lapangan kerja oleh sektor digital ini, pada April-Mei 2023 IDEAS melakukan survei non-probabilitas dengan teknik purposive sampling (teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu) terhadap 225 pengemudi ojek daring di 10 titik simpul transportasi di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi.
Temuan kami menunjukkan pengemudi ojek daring didominasi oleh pekerja usia 21-40 tahun (74,6 persen) dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan adalah SMA/SMK (66,7 persen). Dengan tingkat pendidikan seperti itu, mayoritas pengemudi ojek daring tidak memiliki keterampilan atau keahlian kerja yang memadai, yang menjelaskan rendahnya tingkat mobilitas, daya tawar, dan kapasitas mencari pekerjaan alternatif dari ojek daring.
Rendahnya kapasitas mencari pekerjaan alternatif ojek daring ini selaras dengan temuan kami berikutnya bahwa mitra ojek daring umumnya telah memiliki masa kerja 4-8 tahun (60,8 persen). Terdapat indikasi awal bahwa pengemudi ojek daring telah bertransformasi menjadi pekerjaan permanen bagi tenaga kerja kota tanpa keahlian. Menjadi mitra ojek daring adalah pilihan ekonomi kaum miskin kota yang tak bisa dihindari untuk bertahan hidup, bukan sebuah jenjang karier atau alternatif untuk menunggu pekerjaan di sektor formal dengan penghasilan tetap yang lebih tinggi.
Rendahnya tingkat mobilitas, daya tawar, dan kapasitas mencari pekerjaan alternatif membuat mitra ojek daring rentan terhadap eksploitasi dan terpaksa menjalani pekerjaan yang tak layak. Untuk menilai kualitas pekerjaan ojek daring, kami menggunakan lima kriteria utama dari kerja layak, yaitu pendapatan yang layak (fair pay), lingkungan kerja yang aman (fair condition), perjanjian kerja yang adil (fair contract), pengelolaan kerja yang partisipatif (fair management), dan keterwakilan yang memadai (fair representation). Dalam survei kami, pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring gagal memenuhi lima kriteria kerja layak tersebut.
Baca juga: Nyaring Tuntutan Ojek Daring
Fair Pay
Pendapatan mitra ojek daring merupakan hasil dari kombinasi banyak faktor, dari tarif dasar layanan, potongan yang dikenakan oleh aplikator, jumlah pesanan yang berhasil diselesaikan, bonus atas capaian performa, hingga banyaknya pesaing sesama mitra ojek daring. Pada masa normal pasca-pandemi (2022-2023), rerata pendapatan kotor harian pengemudi ojek daring adalah Rp 168 ribu per hari.
Dari responden dengan masa kerja lebih dari 4 tahun, diketahui bahwa rerata pendapatan kotor ojek daring ini cenderung menurun, yaitu dari Rp 305 ribu per hari pada masa pra-pandemi (2018-2019) menjadi hanya Rp 175 ribu per hari pada masa pasca-pandemi (2022-2023). Pada masa pandemi (2020-2021), rerata pendapatan kotor mitra ojek daring bahkan anjlok hanya Rp 100 ribu per hari.
Jika kita mempertimbangkan beban operasional harian yang ditanggung oleh mitra ojek daring, seperti biaya bahan bakar, pendapatan mereka akan menyusut signifikan. Sebagai contoh, rerata beban operasional harian, yaitu biaya bahan bakar dan makan-minum, mencapai 31 persen dari rerata pendapatan kotor harian. Lebih jauh, pendapatan yang semakin turun ini pun harus diraih dengan kerja yang sangat keras. Mitra ojek daring rerata menyelesaikan 10 order per hari, menempuh jarak 42 kilometer per hari, dan menghabiskan waktu kerja hingga 11 jam per hari.
Sebagai bisnis berbasis aplikasi digital, layanan ride-hailing mengusung jargon penghubung antara pengemudi ojek daring yang merupakan “mitra” dan pengguna layanan. Sebagai gig workers, mitra ojek daring diklaim memiliki otonomi dan independensi dalam menentukan jenis pekerjaan, waktu kerja, hingga jumlah pendapatan yang diinginkannya. Namun, pada kenyataannya, perusahaan aplikator-lah yang mengendalikan mitra, nyaris secara penuh: jenis dan jumlah layanan yang harus mereka kerjakan, tempat yang harus mereka tuju, hingga jumlah pendapatan yang akan mereka terima.
Dengan menggunakan asumsi 24 hari kerja, kami mendapatkan fakta bahwa rerata pendapatan kotor bulanan mitra ojek daring secara umum berada di bawah upah minimum kota. Misalnya, rerata pendapatan kotor bulanan ojek daring di Kota Bekasi adalah Rp 3,9 juta atau hanya sekitar 79 persen dari upah minimum kota yang sebesar Rp 5 juta. Bila kita hitung rerata biaya operasional bulanan, yaitu biaya bahan bakar, makan-minum, dan pulsa, rerata pendapatan bersih bulanan ojek daring di Kota Bekasi menyusut menjadi hanya Rp 2,6 juta, atau hanya sekitar 53 persen dari upah minimum kota.
Fair Condition
Ketentuan jumlah minimum order yang harus diselesaikan dari order yang diterima, yang dikombinasikan dengan tarif per kilometer yang rendah, rating minimum dari penumpang yang tinggi dan adopsi sistem bonus, telah memaksa pengemudi ojek daring terus bekerja dengan usaha yang semakin keras untuk sekadar mendapatkan penghasilan yang cukup. Sebanyak 59,1 persen mitra ojek daring mengaku menyelesaikan 9-15 order per hari.
Sistem penalti atas pembatalan order, dari skorsing (suspend) hingga putus mitra, memaksa mitra untuk selalu menerima setiap order yang datang. Mereka harus siap setiap saat pergi bekerja. Mitra ojek daring dipaksa untuk tidak pernah menolak order sehingga memiliki tingkat performa yang tinggi. Diperkirakan sebanyak 51,1 persen mitra ojek daring memiliki tingkat performa 85-100 persen.
Seiring dengan lonjakan jumlah pengemudi ojek daring, persaingan antar-ojek daring semakin keras. Sebagian besar responden, yaitu 68,9 persen, mengaku bekerja 9-16 jam per hari, jauh lebih lama dari jam kerja normal 8 jam per hari. Lebih jauh, 79,6 persen responden memiliki 6-7 hari kerja, melebihi batas normal 5 hari kerja. Bahkan 42,2 persen responden mengaku setiap hari bekerja tanpa libur dalam sepekan.
Diperkirakan sebanyak 58,7 persen responden memiliki jam kerja 61-112 jam per pekan, jauh di atas jam kerja normal yang di kisaran 40-60 jam per pekan. Kerasnya persaingan antar-sesama mitra ojek daring diperburuk oleh sistem pelevelan mitra oleh aplikator, dari peringkat terendah hingga tertinggi. Semakin rendah level mitra, semakin kecil peluangnya mendapatkan order dan semakin panjang waktu tunggu untuk mendapatkan order.
Kombinasi waktu kerja yang sangat panjang dan tempat utama kerja adalah jalan raya membuat mitra ojek daring terpapar serta memiliki risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Dengan sebagian besar waktu kerja dihabiskan di jalan raya, dikombinasikan dengan kondisi tubuh yang kelelahan akibat jam kerja yang panjang, mengalami kecelakaan menjadi tidak terhindarkan. Sebanyak 31,6 persen responden mengaku pernah mengalami kecelakaan selama menjadi mitra ojek daring, dengan 2,7 persen di antaranya mengalami luka berat dan sepeda motor rusak berat.
Ironisnya, dengan sifat dan desain pekerjaan yang membuat mereka terpapar risiko tinggi kecelakaan, mitra ojek daring tidak dilindungi dengan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja yang memadai. Sebanyak 35,1 persen responden mengaku tidak memiliki jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan). Hanya 12,9 persen responden yang terdaftar di BPJS Kesehatan karena bantuan atau difasilitasi oleh perusahaan aplikator.
Fair Contract
Secara formal, hubungan aplikator digital dan mitra ojek daring merupakan hubungan kemitraan berbasis sistem bagi hasil. Aplikator mendapat bagian persentase tertentu atas setiap pesanan yang diselesaikan mitra. Namun, agar hubungan kemitraan saling menguntungkan, kedudukan kedua pihak harus seimbang. Dalam realitasnya, hubungan kemitraan antara aplikator dan mitra ojek daring berjalan sangat tidak seimbang.
Perusahaan aplikator secara umum menetapkan persentase bagi hasil bagian mereka sebesar 20 persen. Sebanyak 52,9 persen responden menyatakan potongan yang dikenakan aplikator kepada mereka mencapai 20 persen. Hal ini secara jelas melanggar Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022 yang menetapkan biaya sewa aplikasi dari bisnis ride-hailing maksimal 15 persen.
Kombinasi dari tarif per kilometer yang rendah dan potongan dari aplikator yang besar membuat mitra ojek daring memiliki ketergantungan tinggi pada sistem bonus sebagai pendapatan utama. Bagi mitra ojek daring, untuk memperoleh penghasilan yang memadai tidak cukup sekadar dengan menyelesaikan order, tapi juga mengejar poin dan meraih bonus. Tapi, untuk meraih bonus, mitra ojek daring harus menyelesaikan sebanyak mungkin order yang masuk dan mendapatkan rating yang tinggi dari pelanggan.
Perusahaan aplikator menetapkan tingkat minimal performa dan rating dari penumpang yang sangat tinggi bagi mitra ojek daring untuk mendapatkan bonus. Sebagian besar responden menyatakan tingkat performa minimal yang ditetapkan aplikator untuk mendapatkan bonus berkisar 90-97 persen. Sedangkan untuk tingkat rating minimal dari penumpang, sebagian besar responden menyebutkan kisaran 4,6-4,8 dari skala 5.
Dengan ketentuan yang semakin ketat dan sulit untuk mendapatkan bonus, pendapatan mitra ojek daring semakin tertekan. Hanya 3,6 persen responden yang mengaku mampu mendapatkan bonus setiap hari. Lebih jauh, tingkat performa dan rating dari penumpang yang rendah akan berdampak serius bagi mitra. Contohnya, mitra yang mendapat rating 1 dari pelanggan berpotensi menerima sanksi serius hingga putus mitra yang dilakukan secara sepihak tanpa meminta konfirmasi dari pengemudi.
Fair Management
Meski secara formal pengemudi ojek daring berstatus mitra, dalam realitasnya, perusahaan aplikator berperilaku dan memiliki kewenangan penuh sebagai organisasi pemberi kerja, dari menetapkan tarif layanan, membuat aturan kerja, memberikan sanksi, hingga memutuskan hubungan kerja dengan mitra, yang karena itu menutup akses mitra ojek daring ke pelanggan dan pendapatan.
Dalam hubungan kemitraan antara aplikator dan mitra ojek daring, hubungan kerja kedua pihak cenderung merupakan hubungan satu arah, dengan pihak aplikator memiliki relasi kuasa yang nyaris mutlak terhadap mitra ojek daring. Hubungan satu arah tanpa interaksi timbal balik ini terjadi karena rendahnya daya tawar mitra ojek daring. Sebesar 76,9 persen responden mengaku tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan pihak aplikator. Selama menjadi mitra ojek daring, seluruh interaksi dengan pihak aplikator sepenuhnya hanya melalui aplikasi digital yang cenderung bersifat satu arah.
Lemahnya daya tawar mitra ojek daring terlihat dari rendahnya respons pihak aplikator atas aspirasi pihak mitra. Hanya 4,9 persen responden yang menyatakan aspirasinya direspons positif dan ditindaklanjuti dengan cepat oleh pihak aplikator. Sedangkan 81,3 persen responden menyatakan aspirasi mereka hanya direspons secara basa-basi melalui aplikasi atau bahkan tidak pernah direspons sama sekali. Relasi aplikator dengan mitra ojek daring nyaris sepenuhnya adalah hubungan satu arah.
Relasi kuasa pihak aplikator sangat terlihat jelas dari besarnya insiden pemberian sanksi ke mitra ojek daring, yang umumnya dilakukan secara sepihak, berupa pembekuan akun (suspend) yang berlaku dari 30 menit hingga 7 hari. Sebanyak 45,3 persen responden mengaku pernah terkena suspend untuk berbagai alasan, dari sering menolak atau membatalkan order, mendapat rating rendah dari pelanggan, sering menyampaikan keluhan ke aplikator, saldo top-up sering tidak mencukupi, hingga spesifikasi sepeda motor yang tidak sesuai dengan ketentuan aplikator.
Fair Representation
Akar penyebab kerentanan mitra ojek daring dari eksploitasi kerja adalah keterwakilan yang sangat tidak memadai dalam pembuatan keputusan-keputusan penting, dengan pihak aplikator sangat mendominasi hubungan kemitraan. Pekerja dan buruh pada umumnya meningkatkan daya tawar mereka di hadapan perusahaan dengan mengorganisasikan diri dan menyuarakan aspirasi mereka secara kolektif. Persoalannya, perusahaan aplikator tidak mengakui keberadaan serikat pekerja dengan alasan ojek daring adalah mitra yang memiliki hubungan setara.
Sebesar 67,1 persen responden menyatakan perusahaan aplikator secara eksplisit melarang mitra ojek daring bergabung atau membentuk serikat pekerja. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini dapat berimplikasi serius bagi mitra ojek daring, dari terkena suspend hingga putus mitra. Ancaman sanksi ini membuat upaya mengorganisasikan mitra ojek daring menjadi sangat sulit karena ketergantungan kepada aplikator yang tinggi sebagai pemberi kerja.
Mayoritas responden, yaitu sebesar 61,3 persen, menyatakan menjadi mitra ojek daring adalah satu-satunya pekerjaan mereka. Bagi kaum miskin kota yang tak memiliki kemewahan untuk tidak bekerja, menjadi mitra ojek daring adalah pilihan ekonomi yang tak bisa dihindari untuk melanjutkan hidup. Menjadi pengemudi ojek daring adalah pilihan menjanjikan bagi angkatan kerja miskin kota tanpa keahlian dan pengalaman kerja, dari penganggur hingga ibu rumah tangga, bahkan pensiunan.
Ojek daring telah menjadi katup pengaman dari pemutusan hubungan kerja atau rendahnya pendapatan dari pekerjaan di daerah perkotaan. Lebih dari setengah responden, yaitu sebesar 53,3 persen, mengaku telah memiliki pengalaman kerja sebelum menjadi ojek daring, dari buruh, pegawai atau karyawan swasta, sopir, hingga kurir di perusahaan ekspedisi.
Maka, potensi kehilangan pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring menjadi ancaman sangat serius bagi mitra. Terlebih ketika keputusan sanksi terhadap mitra dilakukan pihak aplikator secara sepihak. Dari seluruh responden yang memiliki pengalaman terkena suspend atau putus mitra, sebanyak 90,8 persen responden mengaku tidak dilibatkan atau diminta keterangan dalam pemberian sanksi tersebut. Pemberian sanksi sepenuhnya merupakan keputusan sepihak aplikator.
Tingginya risiko dan biaya psikologis dari berpindah pekerjaan membuat mitra ojek daring rentan terhadap eksploitasi dan terpaksa menjalani pekerjaan yang tak layak. Rendahnya daya tawar mitra ojek daring membuat mereka dipaksa menerima berbagai keputusan penting yang dibuat aplikator secara sepihak tanpa melibatkan mereka sama sekali.
Keputusan penting yang dibuat aplikator tanpa melibatkan mitra ojek daring terentang dari penurunan tarif per kilometer, pengenaan sanksi baik suspend maupun putus mitra, pemotongan dan penentuan nilai bonus yang semakin sulit, menaikkan jumlah minimum penerimaan order dan ketentuan tingkat performa, hingga sistem rating dari pelanggan yang semakin ketat.
Arah kebijakan yang menjanjikan ke depan adalah mendorong keterwakilan yang lebih memadai bagi mitra ojek daring, bahkan transformasi kelembagaan platform digital menjadi koperasi. Dengan kelembagaan koperasi, platform digital akan dimiliki, dikontrol, dan dikendalikan oleh pekerja lepas. Dengan keterwakilan yang memadai, aspirasi mitra ojek daring yang kini terbungkam akan dapat disuarakan dengan lebih keras dan diakomodasi secara lebih proporsional.
Aspirasi mitra ojek daring untuk sistem kerja yang lebih adil dan perbaikan kesejahteraan terentang luas, dari menurunkan tingkat bagi hasil atau potongan dari aplikator ke mitra; bantuan untuk perawatan dan perbaikan sepeda motor; sistem bonus yang lebih mudah dan berkeadilan; jaminan keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja; mendapatkan hak untuk berserikat; mendapatkan pendapatan sesuai dengan upah minimum; hingga bekerja sesuai dengan jam kerja normal.
Artikel ini merupakan hasil riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), yang ditulis oleh Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono, serta peneliti dari IDEAS, Dwi Raihan Ramadhan dan Meli Triana Devi.