Nicholas Angelich membawakan komposisi dari Johann Sebastian Bach-Ferruccio Busoni yang sangat lembut. Dengan perlahan, pianis Amerika Serikat itu memencet tuts pianonya dengan nada yang agak sendu dan tempo lambat. Ada nuansa kesunyian dalam komposisi ini.
Komposisi berjudul Nun komm, der Heiden Heiland itu mengawali konser resital piano tunggalnya pada 6 Oktober 2017. Pada 15 Mei lalu, konser itu ditayangkan di saluran YouTube dalam program Philharmonie de Paris. Hampir setiap malam, Philharmonie de Paris menghadirkan konser-konser musik klasiknya melalui saluran ini.
Dalam pentas itu, Angelich mempersembahkan beberapa komposisi dari Johann Sebastian Bach-Ferruccio Busoni, Ludwig van Beethoven, Johannes Brahms, dan Sergei Prokofiev.
Setelah karya Johann Sebastian Bach-Ferruccio Busoni, Angelich sedikit mengentak dengan karya Johannes Brahms, 7 Fantasies Op.116, yang bergelora. Ia memencet tuts agak cepat dan berpindah-pindah nada dalam intermezo andante. Namun kemudian ia kembali ke nada lembut dan terasa sangat menyentuh dalam empat bagian selanjutnya, yakni adagio, adagio sostenuto, intermezo adagio, dan intermezo adante.
Karya ketiga yang dibawakan adalah komposisi Ludwig van Beethoven dalam Piano Sonata no.14.0-27, no.2 in C Sharp Minor Moonlight. Pada komposisi ini terdengar gemerincing sentuhan tuts di nada tinggi dan cepat menjelang akhir karya.
Komposisi paling panjang yang dimainkan Angelich adalah karya Prokofiev. Sonata ini merupakan yang terakhir dari rangkaian karyanya, War Sonatas (No 6, 7, 8), yang dikarang saat Perang Dunia II. Sonata No 8 ditulis pada 1944. Ada kesan melankolis, juga seperti ada tekanan-tekanan dalam nada yang muncul.
Angelich menampilkan karya-karya itu dengan penjiwaan mendalam, suasana agak sendu, dan kontemplatif. Mengakhiri penampilannya, ia membawakan Mazurka karya Frederic Chopin dalam nada minor. Karya itu seperti menebalkan pesan dalam suasana yang kurang menggembirakan. Apalagi repertoar yang dipilih diputar ulang saat pandemi seperti saat ini.
Musikolog dari Jakarta City Philharmonic, Aditya Setiadi, menilai penampilan Angelich tersebut sangat bagus. Pemilihan repertoarnya lebih menonjolkan intensitas kedalaman penjiwaan dibanding virtuositas. Keputusan dan permainannya matang sekali. Dalam karya Brahms, ia memainkan komposisinya dengan sangat mendalam. "Sentuhannya Nicholas Angelich ini sangat peka untuk menciptakan imajinasi spektrum yang berbeda-beda," ujar Aditya.
Sedangkan pada komposisi sonata Prokofiev di bagian awal yang lambat dan manis berkesan misterius, melankolis, dan berputar-putar, seperti masuk ke dunia yang asing dan berjarak. "Tapi itu ciri khas Prokofiev. Musiknya terinspirasi suara mesin, mengilustrasikan perubahan zaman. Bisa juga perasaan teralienasi dari tatanan masyarakat era perang," ujarnya.
Di sisi lain, kata Aditya, daya artistiknya menggambarkan collective psyche dan zeitgeist (semangat zaman) pada era perang itu sendiri. Menurut dia, dalam pemilihan komposisi ini, Angelich seperti ingin menyampaikan sebuah pesan, tidak ingin menonjolkan kepiawaiannya bermusik.
Pianis Nicholas Angelich lahir di Cincinnati, Amerika Serikat, pada 1970. Sang ibu memperkenalkan piano kepada Angelich sejak dini. Ia menggelar konser pertamanya pada usia 7 tahun. Pada usia 13 tahun, ia meninggalkan Amerika dan masuk ke National Conservatoire Supérieur de Paris.
Di Paris, ia belajar kepada sejumlah musikus, seperti Aldo Ciccolini, Yvonne Loriod, dan Michel Beroff. Rupanya, ia sangat menyukai berbagai repertoar klasik, romantis, dan kontemporer. Dia memainkan komposisi Messiaen, Stockhausen, Boulez, Eric Tanguy, dan Pierre Henry, yang menciptakan konserto tanpa orkestra untuk piano.
Angelich telah mencetak banyak prestasi. Ia memenangi Hadiah Kedua Kompetisi Internasional R. Casadesus di Cleveland. Pada 1994, dia menjadi juara Kompetisi Internasional Gina Bachauer. Pada 2013, ia dinobatkan sebagai "instrumental soloist of the year" di Victoires de la Musique Classique.
Ia kerap menggelar tur dan memainkan piano di berbagai kota di penjuru dunia. Angelich pernah tampil dengan ansambel paling bergengsi, seperti Myung-Whun Chung, Marc Minkowski, dan Sir Colin Davis. Pianis ini bermain secara teratur dengan orkestra paling terkenal, seperti National Orchestra of Lyon, New York Philharmonic, Orkestra Metropolitan Montreal, National Orchestra of France di bawah tongkat Kurt Mazur, serta London Philharmonic di bawah arahan Kazushi Ono.
Aditya Setiadi menuturkan musik Angelich memiliki kedekatan dengan classical music scene Indonesia secara tidak langsung. Angelich belajar pada Yvonne Loriod, istri Olivier Messiaen, komposer berpengaruh pada abad ke-20. Loriod adalah murid Marcel Ciampi, guru piano Rudy Laban (almarhum), Direktur Sekolah Musik YPM. Adapun Messiean adalah salah satu mentor Slamet Abdul Sjukur (almarhum), komponis terkemuka di Indonesia. INFOCONCERT | FRANCEMUSIQUE | DIAN YULIASTUTI