Rudal berwarna hitam di angkasa bersiap meluncur. I Nyoman Masriadi, yang dikenal banyak menciptakan visualisasi game, membuat roket itu. Dia memberi judul karyanya berukuran 50 x 70 sentimeter dan bertarikh 2020 itu Rc. Karya ini seperti hendak menggambarkan situasi sekarang, yakni terjadi ledakan penyakit Covid-19.
Lukisan berbahan akrilik itu dipajang dalam pameran seni rupa bertajuk "Jejak Estetik Prasidha ‘93" di Kiniko Art Room Sarang Building, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, 21 Maret-13 Juni. Pameran ini menjadi ajang reuni 29 alumnus seni lukis Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta angkatan 1993. Mereka yang berpameran adalah teman satu kelas.
Karya Masriadi adalah satu dari 29 karya lukisan, patung, dan seni instalasi yang ditampilkan dalam pameran ini. Masriadi dikenal sebagai perupa yang moncer. Karya-karyanya menjadi magnet dalam jagat seni lukis. Harganya bisa mencapai miliaran rupiah. Dalam karya terbarunya itu, Masriadi mengatakan bom roket itu bicara tentang sesuatu yang bisa dikendalikan. "Tentang bom roket yang bisa diarahkan ke mana saja," kata Masriadi, Kamis lalu.
Kelas Seni Lukis Seni Murni Fakultas Seni Rupa ISI angkatan 1993 dikenal banyak mencetak "bintang" dan perupa miliarder. Selain Masriadi, ada perupa Yunizar dan Jumaldi Alfi yang memajang karyanya dalam pameran ini. Keduanya merupakan anggota kelompok seni rupa Jendela. Karya-karya mereka bernilai miliaran rupiah.
Yunizar kali ini menciptakan lukisan berjudul Kucing pada kanvas berukuran 60 x 60 sentimeter dengan bahan cat akrilik. Citraan kucing berwarna merah dan hitam menghiasi kanvas. Dia meletakkan goresan berwujud angka-angka dan berbagai obyek layaknya pada papan tulis.
Coretan Yunizar kerap mengingatkan kembali pada anak-anak yang melukis di dinding. Karyanya terasa naif dan kacau. Ia menciptakannya dengan bermacam bentuk obyek yang tidak proporsional. Lukisannya mengalir, tak ada perencanaan begitu jelas, seperti orang mencoret kertas.
Lain halnya dengan Jumaldi Alfi, yang dikenal punya karakter lukisan abstrak. Alfi, yang juga pemilik Kiniko Art Sarang Building, membuat karya berjudul Father and Son pada kanvas berukuran 100 x 50 sentimeter menggunakan bahan cat akrilik.
Perupa-perupa dalam pameran ini mayoritas laki-laki. Hanya empat perupa perempuan yang tampil. Sebab, jumlah perempuan yang diterima di kelas itu memang sedikit. Satu di antara yang ikut pameran adalah Sri "Nining" Wahyuningsih. Nining dikenal sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratik yang aktif melawan otoritarianisme Orde Baru. Nining kembali ke dunia seni rupa pada 2001, setelah sekian tahun aktif di gerakan prodemokrasi.
Dalam pameran ini, dia memberi judul karyanya Sang Pertapa dalam kanvas berukuran 60 x 80 sentimeter berbahan cat arang. Dia menggambar bayi bersama tali pusar. Nining menampilkan citraan kupu-kupu yang melayang di sekitar bayi.
Soal perempuan yang menjadi minoritas dalam dunia seni rupa, termasuk dalam pameran ini, Nining punya catatan. Menurut dia, perempuan harus dua kali lipat bekerja lebih keras untuk tetap bisa berkarya. "Dunia seni rupa adalah dunia yang patriarkis," kata Nining. Perempuan perupa mengerjakan karya-karyanya selepas menjalankan tugas domestik, misalnya mengurus anak.
Perupa perempuan lain yang terlibat dalam pameran ini adalah Tini Jameen, Laksmi Shitaresmi, dan Agni Tripratiwi. Tini, yang sempat berhenti melukis hingga 17 tahun karena kesibukannya mengurus rumah tangga, kerap melukis menggunakan alat-alat pembuat kue, bukan kuas. Ia memang mencari nafkah sebagai pembuat kue dan itu mempengaruhi caranya berkarya. Kali ini ia menampilkan karya berjudul Evergreen berukuran 80 x 80 cm.
Adapun Laksmi Shitaresmi membuat lukisan berbahan cat akrilik pada kanvas berukuran 70 x 80 sentimeter. Gambar berjudul Kesaksian Kananku berbentuk visual telapak tangan berukuran jumbo. Kuku pada jari-jari itu ia ganti dengan kepala binatang, tanaman, dan timbangan.
Kurator pameran, Mikke Susanto, mengatakan masing-masing alumnus 1993 yang tampil dalam pameran ini punya berbagai latar belakang profesi. Tidak semuanya berprofesi sebagai perupa. Mikke mencontohkan Noor Asif yang bukan berlatar perupa. Noor Asif merupakan pemilik kafe kopi. Noor menciptakan karya seni instalasi berupa mesin penggiling kopi.
Menurut Mikke, setiap perupa punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dia mencontohkan Nyoman Masriadi dan Yunizar. Sejak di bangku kuliah, keduanya dikenal memiliki goresan dan teknik berkarya yang bagus. Untuk lukisnya, mereka kerap mendapat nilai A. Tapi mereka irit bicara saat diminta presentasi di kelas.
Nyoman Masriadi, kata Mikke, sejak di bangku kuliah konsisten membuat karya seni yang bicara tentang isu sosial, budaya, dan politik. Secara visual, Masriadi menggunakan citraan game, permainan anak-anak, dan keluguan orang-orang urban. Ia dikenal peka dan tepat membaca situasi sosial sesuai dengan konteks. "Karyanya soal bom itu mengingatkan orang untuk hati-hati terhadap suatu ledakan. Seperti situasi sekarang," kata Mikke.
Kelompok Prasidha ‘93 ISI Yogyakarta sebelumnya telah menggelar lima kali pameran di Yogyakarta, yakni pada 1994, 1995 (dua kali), dan 1999. Dalam pameran reuni kali ini, panitia membebaskan tema yang diangkat setiap seniman. "Ini reuni, karena kami tidak bertemu selama 21 tahun," kata Ketua Prasidha ‘93, Oskar Matano. SHINTA MAHARANI