Kunyit menguar dari teks yang mengepung lantai ruang pamer. Aroma pala, cengkeh, kulit kayu, dan cabai Jawa menyengat dari balik bundelan kain yang bergelantungan. Lima lembar kertas berukuran jumbo menyerupai manuskrip kuno terhampar, ditambatkan pada langit-langit. Hampir semua kertas berhiaskan lukisan tubuh perempuan, matahari, dan unsur-unsur alam semesta.
Karya seni instalasi berjudul Timur Merah Project, The Embrace of Motherland ciptaan perupa Bali, Citra Sasmita, itu dipajang di Jogja National Museum. Citra merupakan satu dari 52 seniman dari Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Singapura yang berpameran di Biennale Jogja pada 20 Oktober-30 November 2019.
Biennale bertajuk "Do We Live in The Same Playground?" digelar di berbagai tempat, pusatnya di Jogja National Museum. Selain itu, karya seni dipajang di Kampung Ketandan, Kampung Jogoyudan, Taman Budaya Yogyakarta, dan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Seni instalasi Citra membongkar narasi maskulin dalam sastra kuno Jawa dan Bali, misalnya kakawin. Di hampir semua kakawin, perempuan hanya dianggap berarti ketika punya kesetiaan mutlak terhadap suami. Dalam hubungan seks, ia menjadi obyek. Khususnya di kalangan bangsawan, perempuan hidup dengan kendali ketat atas hasrat. "Karya kontra-narasi terhadap maskulinitas dalam kakawin. Ini upaya politis kembalikan otonomi perempuan," kata Citra, Sabtu dua pekan lalu.
Karya-karya Citra selama ini banyak berbicara tentang perempuan. Ia ingin menjelaskan akar diskriminasi terhadap perempuan yang muncul dalam teks-teks kuno. Contohnya penciptaan manusia yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah manusia pertama di bumi. Citra kemudian membalikkan narasi itu dengan melukis perempuan sebagai manusia pertama yang muncul. Ia juga menggambar matahari yang mewakili perempuan dengan kekuatan mengatur jagat raya. Tubuh perempuan dan hasil bumi ia lukiskan sebagai kekuatan.
Karya seni yang bernapaskan penguatan gagasan perempuan juga muncul di Taman Budaya Yogyakarta. Dua pedagang berjilbab jongkok menghadap barang dagangan di pasar Thailand Selatan. Keranjang dan karung menampung sebagian jualan mereka. Gerobak berderet menyimpan berbagai komoditas. Sekumpulan orang bertransaksi di bawah gerobak. Perahu bersama nelayan dan jala melengkapi kegiatan di pasar.
Keseharian penduduk tiga provinsi di Thailand Selatan, yakni Pattani, Yala, dan Narathiwat itu tergambar dalam berbagai karya seni rupa lima perempuan seniman Thailand Selatan dalam kelompok Muslimah Collective. Mereka terdiri atas Keeta Isran, Nuriya Waji, Heedayah Mhavi, Kusofiyah Nibuesa, dan Arichama Pakapet. Nuriya Waji terlibat dalam program residensi di Yogyakarta selama sebulan dan menghasilkan karya seni berupa batik berukuran jumbo.
Karya seni instalasi ciptaan seniman Denpasar Bali, Citra Sasmita di Biennale Yogyakarta (TEMPO/Shinta Maharani)
Kelima perempuan berjilbab itu menciptakan karya seni seperti drawing, batik, dan seni instalasi berupa jala. Konflik di perbatasan memang menjadi perhatian Biennale, satu di antaranya Pattani.
Muslimah Collective menyuguhkan karya seni yang mendobrak sekat-sekat identitas, seperti ketidaksetaraan gender dan identitas berbasis agama. Mereka menunjukkan bahwa seni bisa menjadi jalan untuk membawa misi perdamaian. "Seni dan agama bisa berdampingan, tidak berkonflik," kata Nuriya Waji.
Warga Thailand Selatan mayoritas berasal dari bangsa Melayu dan beragama Islam. Di Thailand, mereka kelompok minoritas. Sebab, mayoritas warga Thailand beragama Buddha. Dulu, selama ratusan tahun kawasan selatan Thailand merupakan wilayah Kesultanan Pattani yang berdiri sendiri. Sejak 1902, wilayah Pattani berada di bawah pengelolaan pemerintah Kerajaan Thailand.
Karya-karya seni di Biennale kental dengan kritik sosial-politik. Proses kurasi dilakukan oleh dua kurator dari Indonesia, Akiq A.W. dan Arham Rahman, serta kurator asal Thailand, Penwadee Nophaket Manont. Tema feminisme di Biennale tak lepas dari peran Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika, yang meminta kurator banyak melibatkan perempuan seniman. Sejak malam pembukaan, Biennale menegaskan sikapnya soal peran penting perempuan.
Biennale dibuka dengan penampil utama Voice of Baceprot, band remaja berjilbab asal Garut, Jawa Barat. Mereka memainkan musik heavy metal. Kepada penonton, mereka menegaskan dukungan mereka terhadap gerakan para aktivis melawan penyerobotan lahan. Sikap itu juga tergambar dalam lagu-lagu yang mereka nyanyikan. "Perempuan terlibat dalam banyak gerakan sosial dan gagasan yang progresif," kata Alia Swastika.
Memang, selain feminisme, karya-karya seni Binnale juga bicara tentang persoalan lahan atau penggusuran. Di Jogja National Museum, terdapat proyek seni kolaboratif antara seniman Vietnam Tran Luong dan seniman Indonesia Anang Saptoto. Mereka membuat stan Mie Ayam Bu Kawit. Bu Kawit adalah warga yang terkena dampak megaproyek wisata Parangtritis, Bantul.
Tran Luong telah berkeliling untuk bertemu dengan warga yang terkena dampak proyek Bandara Kulon Progo. Dia juga menemui warga Gunung Kidul yang terkena imbas karena megaproyek wisata Parangtritis merusak karst. "Masalah sosial, kemanusiaan, dan hak asasi manusia jadi fokus karya saya," kata Tran Luong.
Di stan mi ayam ini, Bu Kawit menjual mi ayam. Seniman Anang Saptoto memajang gambar-gambar tentang kehidupan petani yang tinggal di pesisir dan bertahan memperjuangkan hak hidup dan lahannya. SHINTA MAHARANI