Tubuh pria kurus itu belum lagi tegak berdiri ketika seseorang merenggut tubuhnya dari belakang dan melemparkannya hingga terjerembap. Ia mencoba berdiri lagi, tapi seseorang yang lain mengempaskannya lagi, lagi, dan lagi. Sembilan orang penampil mengempaskan tubuh penampil dari Jepang itu berkali-kali hingga beberapa lama. Ia harus berdiri, jatuh, berdiri lagi, dan jatuh lagi.
Si pria Jepang ini harus mengatur tubuhnya agar tak sakit saat jatuh diempaskan berkali-kali oleh banyak orang. Harus kuat jatuh dan berdiri seperti bola yang dibanting dan memantul. Sebelumnya, ke-10 orang ini seperti beradu kekuatan. Mulanya hanya dua orang yang meletakkan kepala dalam posisi beradu, tapi kemudian mereka saling dorong dan berusaha saling menaklukkan.
Belum selesai pergulatan itu, muncul orang ketiga ikut melebur dalam pergulatan tersebut. Demikian seterusnya hingga orang ke-10. Mereka berdiri dalam pergumulan, saling dorong, dan berusaha melemparkan seseorang dalam pergumulan itu. Mereka seolah-olah saling berebut.
Inilah penampilan anggota kelompok teater MuDA dari Jepang yang berkolaborasi dengan para peserta workshop dalam pentas berjudul Jolt, salah satu acara rangkaian acara Djakarta Teater Platform. Festival bertajuk "Silent Mass" menghadirkan seniman dalam dan luar negeri. Pentas Jolt disutradari Takahiko Fukui atau yang akrab dipanggil Quick dan dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 20 September lalu.
Quick senang akan ketangguhan dan kesungguhan para peserta workshop yang ia nilai tidak mudah. "Workshop, latihannya berat. Tapi mereka bersungguh-sungguh, dan saya lihat hasilnya cukup bagus," ujar Quick di panggung.
Muda memulai konsep bahwa semuanya dimulai ketika tabrakan. Manusia dapat tumbuh lebih jauh dan berkembang dari saat ini karena ada elemen negatif dari tabrakan. Demikian juga tindakan jatuh dan terus berdiri, jatuh, dan berdiri lagi, adalah gerakan paling mendasar manusia sehari-hari. Ada ritme universal bahwa kehidupan terus berlanjut dengan berdiri.
Gerakan-gerakan itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa manusia selalu berhadapan dengan berbagai masalah, dari masalah pribadi, perang, terorisme, bencana, kelaparan, sampai hal lain yang membuat manusia jatuh. Lalu bagaimana manusia berusaha untuk tetap bertahan hidup dan terus berdiri menghadapi masalah.
Pergerakan para pemain hanya diiringi gebukan seperangkat drum yang dipukul dengan tempo cepat. Gerakan mereka seperti makin menjadi liar dengan suara drum yang berdentum sepanjang pertunjukan. Filosofi mereka satu, yakni aktivitas kehidupan untuk bangkit.
Kelompok MuDA sudah beberapa kali tampil di Indonesia, biasanya beranggotakan beberapa orang. Gerakan saling berbenturan, saling menerjang, dan saling menghantam itu mereka sebut sebagai pertunjukan yang penuh ritual. Tapi, bagi penonton, aksi mereka bisa membuat stres saat melihat dan merasakannya.
Bagi para pemain, untuk melakukan pentas ini tidaklah mudah. Harus ada kesiapan fisik dan mental. Para penampil yang "hanya" berlatih selama empat hari ini harus menyiapkan tubuh dalam segala benturan, empasan, dorongan, dan pergumulan yang sangat ketat.
Tak hanya itu, mereka pun harus mengeluarkan seluruh energi ketika mereka secara sendiri-sendiri harus melontarkan tubuh dari posisi jongkok atau telungkup sambil menggoyangkan atau mengangguk-anggukkan kepala dengan keras.
Sangat berbeda dengan MuDA, pertunjukan dari Rokateater, Yogyakarta, pada Jumat, 21 September, sangat jauh dari rasa sakit dan keringat berleleran. Pertunjukan berjudul Passport, Passphoto itu tak terasa sebagai suatu pertunjukan.
Passport, Passphoto merupakan proyek yang berangkat dari proyek praktik fotografi dan pengarsipan foto di Nyoo Studio, salah satu studio foto tua yang berdiri sejak 1940 di Kalisat, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Sebuah praktik fotografi yang bertahan di era foto digital yang makin modern. Studio yang melayani jasa studio untuk keperluan potret pasfoto (foto identitas).
Dari ide dan gagasan pasfoto itulah proyek dikerjakan dengan cara melihat potensi ideologis yang terpapar dalam pasfoto, merupakan wilayah kekuasaan atau negara dengan individu berhadapan. Sebagai bagian dari administrasi di negara modern, pasfoto adalah wacana kepentingan dan kepemilikan.
Beberapa penonton terlihat agak bingung ketika datang tak menemukan sebuah panggung pertunjukan. Pertunjukan sebenarnya sudah dimulai sejak penonton datang dan diminta "mendaftar". Kemudian, mereka harus menunggu antrean, duduk di hadapan kain merah sebagai latar dengan dua payung pemantul cahaya di kiri dan kanan. Mereka akan dipanggil satu per satu untuk difoto.
Si tukang potret mulai berinteraksi dengan si obyek yang difoto. Jika ingin mendapatkan foto itu, dia harus menunggu satu jam. Di sudut ruang di samping panggung itu, terlihat tumpukan ribuan pasfoto milik banyak orang selama bertahun-tahun. Pertunjukan itu disutradarai oleh Shohifur Ridho. DIAN YULIASTUTI