MENJELANG isya, Bambang Wijaksana minta waktu untuk mengobrol sehabis berjemaah: "Ada yang ingin diperbincangkan." "Pribadi?" kataku. Ia mengangguk. Lalu ia ke depan, menempati shaf, tanda selalu siap jadi imam bila kebetulan Wa Haji Jamil tak datang. Aku tetap ambil shaf belakang, selalu jadi yang tidak yakin dengan otentisitas dan intensitas salat, karenanya memilih mengekor, jadi pengikut, kemudian jadi yang salatnya disahkan eksistensi imam yang afdal.
Sembahyang jadi tidak khusyuk karena omongan orang itu mengganggu pikiran, meski aku tak pernah benar-benar salat dengan benar, serta menjadi lebih banyak beristigfar, terus digoda: Tapi mau apa lagi? Tapi bisa apa lagi? Dan Rasyad, yang ada di kanan itu, malah ikut memperkeruh, dengan berkali-kali melirik, bertanya bisu tentang ada apa dan apa mau dari lelaki itu. Aku angkat bahu, mengasih isyarat untuk tenang, menunggu semuanya selesai, sampai nanti mampir di warung Hasmi. Menggerombol dengan Senora, yang tidak pernah ikut salat berjemaah itu, lantas kami semua mengobrol, seperti biasanya. Atau saat hening ketika Senora mulai mengarang, menjelang dinihari, meski itu pas Rasyad mengantuk dan lebih memilih bungkam.
Aku menarik napas panjang, bertekad akan mengulangi isya di rumah. Nanti.
"ORANG itu datang lagi," kataku, kemudian, kepada Rasyad serta Senora, mutlak menirukan ucapan Bambang Wijaksana, barusan. "Katanya: Seken Waluya selalu mengintip, mengawasi kala ia mengajar, kalau ia duduk di ruang guru, kalau ia rapat dinas, atau ketika di halaman sekolah serta mau meninggalkan sekolah. Menguntit ke rumah, mengawal di jalan saat berangkat atau pulang kerja. Ke mana pun, di mana punkecuali bila ia sedang di masjid. Benar. Sumpah!"
BAMBANG WIJAKSANA itu aktivis masjid kampung. Selalu datang sebelum azan subuh berkumandang dan pulang paling belakang; di sore harinya datang sebelum azan magrib, pulang sesaat, atau sering ia tetap tinggal sampai waktu isya tiba, bertahan sampai tak ada lagi orang, hingga jadi pemegang kunci masjid. Tapi tak banyak yang akrab, meski ia sering menjadi imam salat, dan (bahkan) memberi kuliah singkat bulan Ramadan, ketika masjid kami dipenuhi anak sekolah yang membawa buku kehadiran di masjid, yang harus ditandatangani pengurus masjid dan dilegalisasi cap Masjid Nur Diin. Tidak banyak cakap, dan sepertinya ia ingin berlama-lama merasakan kebahagiaan ada di masjidbebas, katanya, dari pantauan Seken Waluya.
Aku sampai di kampung ini dalam siklus pengembara: berpindah dari kamar kos ke kamar kos lainnyakeranjingan menyimak laku berinvestigasi cari berita wartawan Rasyad, serta juga mengamati pengarang Senora menulis cerita menjelang dinihari, bahkan ikut gandrung bergairah mencari suasana baru, agar mereka senantiasa berkreasi. Dan bersama mereka, aku ikut latah bertanya, menyudutkan dengan laku sok moralis. Misalnya, kenapa orang amat santun kalau berhadapan, tapi mencemooh ketika ada di belakang Bambang Wijaksana? Apa karena istrinya selalu berkostum artist sinetron’s minded, suka pakai tank top gantung dan hot pant ketat hingga garis tepi CD serta re-runcing BH itu jelas tampak? Kenapa ia, sebagai suami, tidak bisa menguasai padahal ia itu imam kedua di masjid kampung?
Bahkan, kata orang kampung, istrinya itu pernah, di halaman rumah, lantang memarahi Bambang Wijaksana sepulangnya dari pengajian, setelah ia menguraikan ciri istri saleha, sebab si istri tersinggung materi ceramahnya. Dan itu perihal laku individual jahiliah yang sangat bertentangan dengan moralitas. Pendek kata, istrinya itu kasar. Sekali waktu, ia geram pada anjing di rumah sebelah, yang di sepanjang malam menggonggong tiada putus karena baru dibeli serta melulu diikat, lantang dimaki sambil sigap melemparnya dengan potongan bata, sampai kepala anjing itu nyaris pecah. Satu peristiwa menggegerkan tapi tak pernah berterang dipermasalahkan, karena di sisi lain rumahnya tinggal Kolonel (Purnawirawan) Jaswar Jaskil, bapaknya.
"Kalau bukan anak Jaswar," desis si pemilik anjing serta orang kampung yang suka bergerombol di warung Hasmi. Menghabiskan malam sambil menenggak arak.
TAPI orang-orang santun memanggilnya Pak Bambang. Di belakang, sinis memanggilnya si Seken. Kenapa? Mungkin mereka amat geram kepada istrinya, dan satu-dua malah berterang ingin menjotos mulutnya, yang berlidah tajam gemar mencemooh itu. Terutama karena istrinya itu selalu nantang semua orang, tapi belum ada yang berani beraksicuma menggerundel sambil berkilah: suaminya baik, bapaknya baik, bahkan terhormati jadi Dandim, tapi ia mirip iblis. Mereka membisu dan menggerutu. Campuran ekspresi sebagai pelabi ketidakberanian dan ketakutan. Aku paham.
Ifritea Anugrahiana, nama istrinya Bambang Wijaksana, anak dari Kolonel yang pernah jadi Dandim. Pamannya pernah jadi Kadis Dikdasmen, mengepalai semua kepala sekolah seluruh sekolah di Mangar. Karena itu, ketika Bambang Wijaksana menikahinya serta masih menganggur, sementara Ifritea Anugrahiana telah jadi PNS, ayah si istri menulis memo agar Bambang Wijaksana diangkat jadi guru honorer, bersama lima GTT lain. Satu hari Seken Waluya, GTT paling senior di sekolah mereka, mendapatkan SK Capeg, yang diterimanya dengan sukacita, langsung minta izin pulang ke kepala sekolah, bergegas naik sepeda motor, melesat dari sekolah ingin mengabarkan kebahagiaan masa depan.
Dua belas menit kemudian, berita merangsek ke sekolah: Seken Waluya kecelakaan dan tewas di jalanan. Tujuh bulan kemudian, SK untuk Seken Waluya beralih menjadi SK bagi Bambang Wijaksana. Sejak itu orang menyebut Bambang Wijaksana dengan sebutan sinis Seken, terutama karena negara seperti sepakat untuk menyelipkan nama Seken ke dalam teraan lengkap Bambang Seken Wijaksana, pada SK Pengangkatanmeski di surat kenal lahir, buku rapor, dan ijazah cuma Bambang Wijaksana.
DI warung Hasmi itu, kami berkenalan dengan Polderia, anak Seken Waluya. Si pesuruh honorer SD Mangar Kidul 1, tepat depan warung Pak Hasmi, yang terkadang ikut menghabiskan malam dengan berkeluh kesah, sambil menenggak arak. "Kalau Bapak tak kecelakaan, aku bisa kuliah dan menjadi guru, tak sekadar lulus SMA dan jadi pesuruh. Saudara-saudaraku tak berpencar, diurus orang lain sebagai ngenger, si setengah pelayan tak dibayar. Ya! Dan kalau dipikirkan: takdir kami itu menyakitkan, tapi Gusti Allah tidak kejam. Ia cuma memberi paket cobaanyang sadis itu manusia sebab ia berani menangguk keuntungan dari kemalangan, kesempatan di kesempitan."
"Si Bambang Seken Wijaksana itu jadi PNS tujuh bulan setelah Bapak mati. Semua percaya, itu bermula dari SK Bapak yang dimanipulasidengan banyak uang dan dengan lobi kepada orang berpangkat. Ia melenggang menjadi PNS, kini akan enteng menjabat kepala sekolah. Eh ... Setiap ketemu selalu melengos, seakan-akan aku ini bangkai atau sampah menjijikkan yang tidak perlu dilihat. Tidak tahu malu, padahal di Masjid Nur Diin selalu ceramah tentang membina tali silaturahmi dan prasangka baik. Apa karena ia itu PNS menantu orang berpangkat? Apa tidak takut ada azab dari Allah ...?"
BAMBANG SEKEN WIJAKSANA akan jadi kepala sekolah pada kesempatan mutasi dan pengangkatan kepala sekolah berikutnya. Sedangkan Ifritea Anugrahiana lebih segera, meski itu bukan karena karier atau prestasi manajerial sebagai staf kepala sekolah. Bukan. Itu dikarenakan Jindan Bakathiana, adiknya Ifritea Anugrahiana, didapuk jadi ketua partai dan partainya memenangi pemilu legislatif, hingga spontan (legal) didaulat jadi Ketua DPRDmeski pencalonan sebagai cawabup dari cabup, yang dalam berkampanye royal membagikan uangamat didukung partai, tapi dalam pilkada itu kalah telak. Lebih tepatnya, sengaja dijatuhkan sebagian rakyat pemilih.
Ifritea Anugrahiana mengajar PPKN di SMP, mengikuti ijazah IKIP. Saat kuliah itu, ia berkenalan dengan Bambang Seken Wijaksana, pacaran, dan langsung menikah seusai wisuda. Jindan Bakathiana DO dari sebuah PTN tapi segera punya ijazah PTS, yang entah di manaserta segera pula jadi guru. Sebagai guru, Ifritea Anugrahiana otoriter, tidak pernah ramah pada siswa. Sebagai staf kesiswaan, Ifritea Anugrahiana amat impulsif, sering memotong kebijaksanaan kepala sekolah dengan improvisasi jelek. Kalau ditegur, ia segera angkat HP, segera memijit nomor khusus, meneleponmungkin cuma berpura-puraKetua DPRD Mangar. "Om, bagaimana nih. Kok realisasi otonomi keuangan sekolah jadi ngaco ..." katanya dengan suara sangat keras.
Semuanya terdiam. Mengalah. Sehingga sebagian guru berontak, mereka cerdas menghancurkan propaganda Ifritea Anugrahiana, agar memilih adiknya menjadi sang wabup, dengan anti-kampanye agar tidak memilihnya. "Biar tak angkuh, besar kepala," kata salah satu yang bosan dengan aroganitas Ifritea Anugrahiana. Memang, bila ia punya adik wabup, tidak akan terbayangkan level otoriter yang diraih dan diamalkannya, mungkin memasuki level adigung adiguna, yang muncul sebagai ekspresi mbake wabup? Jadi, tidak salah kalau dibilang Ifritea Anugrahiana akan mati dengan proses sekarat panjang. Azab dari Tuhan atas nama doa orang yang tanpa daya serta dendam dizalimi.
MOMEN kampanye pilkada itu membuat Rasyad berkenalan dengan Budi Cele, yang sedang merekayasa satu kampanye hitam untuk menjatuhkan Jindan Bakathiana. Ia peminum arak mahir, penjudi, suka main perempuan, dan makelar sepeda motor setengah membodohi si penjual dan pembeli, tapi masih dihormati karena ia itu guru. Mengajar di SMP lain dan pernah berinisiatif menarik pembelian kartu perpustakaan pada siswa dengan menjual blangko yang harus diisi siswapadahal perpustakaan sekolah minim buku. Ia juga sigap meminta uang kepada orang tua calon siswa dengan janji akan mengusahakannya lulus tes masuk. Atau berjanji mengusahakan naik kelas. Lantas suka mabuk atau mau perempuan di sela keranjingan berjudi, melenggang dengan uang tanpa berbuat apa-apa.
"Tak cuma karena tidak elok ia jadi wabup," bisik Budi Cele sambil menenggak arak di warung Hasmi. "Keluarga mereka suka sewenang-wenang, licik memanfaatkan kekuasaan buat kepentingan pribadi. Contohnya: aku ini, dimutasi ke SMP Terpadu, di perbatasan kabupaten, karena nekat mendatangi Bambang Wijaksana, menggertak dengan isu SK Seken Waluya, yang dimanipulasi keluarganya, meminta agar membayar uang duka bagi keluarga Seken Waluya. Ia bungkam. Istrinya melapor pada bapak dan pamannyadan aku dimutasi ke ujung dunia. Menyalahgunakan jabatan, terbiasa menyalahgunakan jabatan: jadi pilih yang lain saja. Terutama ..."
Tapi kampanye hitam itu dibalas Jindan Bakathiana dengan counter seperti ini: Budi Cele memang meminta uang duka atas nama Seken Waluya. Tapi saat disantuni, uang itu tak diberikan pada keluarga Seken Waluya, malahan dinikmati sendiri. Bahkan ia minta dana buat ritual doa 1.000 hari Seken Waluya. Ia minta duit juga ke kepala sekolah SMP. Terjadi perang opini dan gosip, tapi anggota tim sukses Jindan Bakathiana sepertinya berhasil membuat kampanye tandingan, karena Budi Cele diamankan dengan dimutasi ke wilayah terpencil. Meski tidak mutlak karena melakukan pemerasan dan penipuan, karena ia itu amat indisipliner, suka judi, mabuk, dan main perempuan. Sudah dari awal menceng.
AKU tersenyum ketika Rasyad mengedip, ketika aku mengenangkan semua itu. "Bukankah Budi Cele itu akrabe Jindan, keduanya pernah sama-sama jadi bajingan di SMP itu?" gumamku. Rasyad tersenyum, mengangguk sembari mengintip alur letup imajinasi yang akan dirajut Senora menjadi cerita di laptop, selepas tengah malam?
IFRITEA ANUGRAHIANA jadi kepala sekolah. Bambang Seken Wijaksana akan segera menyusul, begitu ada formasi, setidaknya kalau Jindan Bakathiana masih jadi si orang pertama legislatif. Dilantik Bupati dengan disaksikan Ketua DPRD, yang bersama Sekda dan lembaga Baperjakat aktif mempertimbangkan kelayakan para calon kepala sekolah. Tepat setelah dua puluh hari lampau Kolonel itu mengirimkan Tladungyang dingin menggertak Senora agar membuatkan cerita ihwal kegemilangan biografik Ifritea Anugrahiana, Kolonel, dan menantu. Dan Tladung pun mengantarkan tablet baru, dengan rincian: silakan dipakai sepuasnya seusai bikin cerita bagus tentang keluarga Kolonel. "Ada honor juga kalau cerita itumaksudnya featuredimuat di koran," kata Tladung.
Aku melobi koran bersama stasiun TV lokal agar memuat biografi gaya sinetron Ifritea Anugrahiana, suaminya, dan Kolonel. Semi-fiksi bergaya dramatik penuh bumbu fiksi dari yang tak pernah ada, tanpa peduli kalau aku, Rasyad, serta Senora punya fakta pahit ihwal Kolonel, Bambang Seken Wijaksana, Ifritea Anugrahiana, serta Jindan Bakathianadan itu telah diketahui umum hingga tak dibutuhkan teks pentersuratan. Jadi, sebenarnya, dalam mabuk pun akan bisa merangkai cerita, meneladani Kisah 1001 Malamsampai Tladung membawa tablet dan ancaman bila sampai menuliskan kisah yang sangat tidak baik?
TADI, di masjid, Bambang Seken Wijaksana mengaku tak siap jadi kepala sekolah, karena Seken Waluya terus menghantuinya. Aku diam saja, tapi terus menonton, menertawakan, dan menggugat dengan tanya lewat tatapan tanpa kata, dengan tanya bisu: apa kau berhak dapat kemuliaan jabatan itu, karena Bambang Seken Wijaksana itu tahu apa? Bisa apa? Menggeleng. Bahkan membujuk agar aku membuat feature prospektif yang kemudian diulang lagi dalam ujud amat mengancam Tladung, karenanya aku tidak merasa perlu membungkam Rasyad dan Senora, yang tahu semua keburukan itu, bahkan Tladung pun tahu kalau aku punya informan lain. Amat cemas karena tahu aku punya informasi fix tentang lobi mereka, dan berharap agar menyembunyikan itu.
Selepas dinihari, Tladung, atas nama Kolonel, dengan biaya Rp 50 juta, kontan, telah mengantarkan aku pindah kos ke ujung dunia. Tapi apa Kolonel tahu bahwa Bambang Seken Wijaksana itu tak siap dengan kebengkokan pengangkatannya menjadi kepala sekolah itu? Di luar itu, Rasyad pun melengos sambil berbaring miring di ranjang. Sedangkan Senora membisu di depan laptop mati, seperti mempertanyakan di mana tempat nurani tinggal dan apakah itu tetap terjaga hidup? Senora mendelong, Rasyad membatu, membiarkan aku main game online di tablet hadiah Kolonel. Lantas, seperti di kisah sci-fi: aku terburaiRasyad membubung, Senora raibdan aku kian kesepian. Sendirian.
Beni Setia, pengarang. Ia tinggal di Caruban, Jawa Timur.