Arianto Adipurwanto
Hidungku telah cacat sejak lahir. Ada garis yang menjorok ke dalam tepat di tengah-tengah. Jika kuperhatikan lebih lama, garis itu tampak seperti bekas tetakan parang. Mungkin karena garis itu atau bukan, yang jelas, aku memiliki wajah yang terlalu lebar, dengan kedua mataku terpisah terlalu jauh satu sama lain.
Ayahku seorang pemabuk yang lahir untuk menyadap nira, minum tuak, dan marah-marah. Ia selalu mengatakan bahwa aku anak yang lahir karena ia telah melakukan dosa yang sangat besar. Karena itu, ia begitu tidak menyukaiku. Ketika aku sudah besar, ia memaksaku menggantikannya untuk menyadap nira, dan ia setiap hari hanya minum tuak serta menumpahkan amarahnya kepada seluruh isi rumah.
Saat aku tengah melekat di batang enau yang menjulang tinggi di tepi sungai, aku sering berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan menjatuhkan diri. Dengan begitu, kepalaku kemungkinan akan membentur batu yang besar-besar tepat di bawah pohon enau yang kupanjat dan mungkin saja isi kepalaku akan muncrat. Suatu hari, ketika aku benar-benar tidak tahan hidup dan niat itu benar-benar hendak kulaksanakan, aku melihat ibu tengah mandi di sebuah sumur di tepi Sungai Keditan, tampak sangat menyedihkan.
Tubuhnya begitu kurus, dengan panu memenuhi punggungnya. Tulang-tulangnya menonjol. Dari atas, aku melihat ia seperti seekor burung yang telah dicabut seluruh bulunya. Meski begitu, ia sebenarnya perempuan tangguh. Tangguh dalam hal melahirkan anak. Ia melahirkan delapan anak, dan semua mereka, kecuali aku, lahir dengan normal. Mungkin karena aku anak pertama. Jika semuanya telah berkumpul, aku sering kali membayangkan mereka seperti sekumpulan anak-anak anjing. Betapa tidak, hanya satu-dua dari mereka yang memakai pakaian.
Kata ibu dan dua orang tua lain yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumahku, aku lahir begitu saja di Sungai Keditan. Ketika ibu sedang menggosok pantat panci dengan sepotong serabut kelapa. Dua ibu yang ada di sungai waktu itu dan orang-orang yang kemudian mendengar cerita mereka terheran-heran. Kata mereka, melahirkan anak pertama sangat sulit. Tapi ibu bisa melakukannya dengan mudah. Salah seorang dukun berkata ada jin yang membantu aku lahir ke dunia. Karena dugaan itulah, ketika aku sudah cukup besar, dukun itu menurunkan seluruh ilmunya padaku.
Setiap sore, aku akan datang ke rumah dukun ini, yang kupanggil Maq Kepaq, membawa dua kopek tuak. Dan setiap kali ke sana, aku akan diam beberapa saat, mendengarkan ceritanya. Ia bercerita bahwa dia juga cacat. Ia hanya memiliki satu kaki.
"Tapi ini dua?" kataku menunjuk kakinya yang sepasang dan tidak ada cacat sedikit pun.
"Ini pelepah kelapa kering," katanya.
Aku memegang kaki itu dan benar-benar kaki manusia. Mungkin karena ia melihat wajahku mengkerut, ia berkata padaku: dulu saya sering pergi perang. Suatu hari, ada musuh saya yang sakti sekali. Saya bertarung tujuh hari tujuh malam. Saya tetap menang. Dia mati. Tapi saya hilang kaki. Terpaksa saya ganti pakai pelepah kelapa. Kalau kamu mandikan pakai kelapa gading, pasti kaki saya berubah.
Aku merasa ia membohongiku. Tapi beberapa hari lalu, sang dukun mati, dan sebelum itu, ia berpesan kepadaku supaya meminta warga memandikannya dengan air kelapa gading. Aku akhirnya benar-benar percaya bahwa kata-kata sang dukun benar. Tubuh Maq Kepaq yang tidak lagi bernyawa itu benar-benar memiliki salah satu kaki pelepah kelapa, yang tampak akan segera membusuk.
Sejak Maq Kepaq meninggal, aku tidak mau bekerja. Ayah memarahiku habis-habisan dan mengatakan aku anak yang tidak berguna. Dia juga mengutukku supaya jatuh dari pohon enau yang akan kupanjat. Ibu duduk saja di pintu dan tidak berkata apa-apa. Kepalanya tertunduk, tampaknya ia sedang melihat mulut adik bungsuku yang sedang mengisap susu kirinya. Bocah telanjang meremas susunya yang kanan. Adik-adikku yang lain duduk di dekatnya, beberapa mengisap jari, salah seorang berusaha melepas kerak kering dari luka di lututnya.
Ayah terus mengomeliku. Umpatan-umpatan memberondong keluar dari mulutnya. Semakin lama, mungkin karena tuaknya mau habis, ia mulai tidak bisa menahan kesabarannya. Ia dengan susah payah meraih parang yang terselip di atap dan melemparkannya ke arahku. Jika aku tidak segera berlari, mungkin kepalaku akan terbelah.
Aku berlari menjauhi rumah dan tidak ada satu tempat pun yang terbayang di kepalaku selain makam Maq Kepaq. Aku duduk di tanah makam yang masih gembur. Selama aku berada di tempat itu, aku merapalkan mantra-mantra yang telah ia ajarkan kepadaku setiap malam ketika aku mengantarkan tuak ke rumahnya. Aku membaca mantra untuk membuat diri kebal dari api dan untuk membuat diri bisa terbang. Aku terus mengulang mantra-mantra itu sampai kepalaku panas dan rasa hangat menjalari tubuhku.
Rasa hangat sampai ke ubun-ubun ketika aku ingat ibu. Ia sepertinya hanya bisa melahirkan anak. Namun ia tidak bisa mengurusnya dengan baik. Walaupun ayah jelas-jelas akan membunuhku di depan matanya, ia hanya diam. Memang tubuhnya begitu kurus dan pucat. Anak-anak yang terus-menerus berada di dekatnya itu telah mengisap habis darahnya.
Aku terheran-heran, apa gerangan yang membuatnya tidak bisa memarahi ayah dan memaksa laki-laki tidak berguna itu untuk bekerja. Bahkan, ketika aku selama beberapa hari tidak mau menyadap nira, ia dengan sukarela pergi menyadap nira, dengan beberapa bocah mengekor di belakangnya. Dari makam Maq Kepaq, aku melihat dia memanjat, dengan dua kekelok menggantung di salah satu bahunya. Aku juga melihat anak-anak itu mendongak memandang ibu.
Aku mengulang-ulang mantraku sampai aku merasa kepalaku panas dan ada rasa hangat menjalari tubuhku.
Sampai aku mengulang mantra-mantraku puluhan kali, ibu turun dari pohon enau, dua kekelok yang terlihat berat menggantung di bahunya. Anak-anak itu menantinya dengan tatapan tidak sabar. Tubuhnya tampak semakin kurus dan ia terlihat dengan gampang diterbangkan angin seperti sehelai bulu burung dari ketinggian pohon. Rasa kasihanku terbit dan tubuhku begitu saja bangkit, ikut berjalan pulang. Karena ayahku tidak ada di rumah, mungkin ia pergi mandi atau pergi membuang kotoran yang mengisi perut buncitnya, aku langsung melabrak ibu dengan pertanyaan.
"Kenapa epe mau-mau aja disuruh?"
Ia menggantung dua kekelok itu di pohon gambal yang tumbuh di tengah halaman rumah. Adik-adikku melihatku dengan tatapan yang selalu begitu.
"Kalau bukan saya, siapa lagi. Kan kamu ndak mau." Suaranya begitu lemah lembut seperti orang yang tidak memiliki daya hidup. Itu membuatku ingin menendangnya.
"Kan ayah."
"Kamu disuruh ndak mau."
"Kan ada ayah!" bentakku.
"Ya, kalau dia bisa, ya dia."
"Kapan dia bisa? Dia duduk-duduk saja."
"Daripada dia marah, dilihat sama adik-adikmu, lebih baik kita yang kerjakan," katanya. Saya semakin ingin menendangnya.
"Kerjain dah epe!" bentakku lagi.
"Ya, nanti saya yang kerjain. Yang penting kamu mau jaga adik-adikmu."
"Kenapa epe mau aja kerja, dia duduk-duduk aja tiap hari. Suruh dia kerja!" Ibu memandangku dengan tatapan meminta belas kasihan. Kali ini aku benar-benar tidak sabar untuk segera menendangnya.
"Biar dah saya yang kerja, daripada kalian ribut-ribut."
"Tapi dia harus kerja, masak kita-kita aja?"
"Ya, nanti kalau dia mau, kita suruh kerja."
"Kapan?!"
Terdengar suara batuk-batuk dari arah jebak. Ayah datang tanpa baju, tubuh basah, dan cara jalan seperti sebentar lagi mau mati. Mudah-mudahan dia segera mati. Aku benar-benar membencinya.
"Kenapa epe ndak mau kerja? Kenapa epe ndak pernah mau kerja?" labrakku.
"Kamu mau mati!" katanya, kedua matanya melotot. Tapi aku tidak gentar. "Ya," tantangku.
"Tunggu ya, saya tetak kepalamu sekarang." Ia bergegas mengambil parang yang ia selipkan di atap.
"Epe suami ndak berguna. Ndak pernah mau kerja. Tiap hari ndak pernah kerja. Isi perut aja tiap hari. Ndak berguna," ocehku. Dan ia sepertinya benar-benar tidak bisa sabarkan diri. Aku terus-menerus menghinanya, sampai ia kehilangan kesadaran, dan meskipun ibu berteriak-teriak memintanya melepas parang, dan adik-adikku berkerumun di ujung rumah dengan wajah penuh ketakutan, sang ayah tidak mengindahkan satu pun dari mereka.
Awalnya ia mencekik leherku. Sampai aku tidak bisa mengeluarkan hinaan-hinaan lagi.
"Untuk apa saya punya anak banyak kalau saya masih harus kerja, ahh," katanya. Gigi-giginya seperti menempel. "Karena itulah saya buat kalian banyak-banyak. Biar pas kalian sudah lahir, saya bisa jadi raja," lanjutnya.
"Ndak berguna! Mati-mati sudah epe, mati-mati. Ndak berguna," kataku sambil berusaha membebaskan diri dari cengkeraman tangannya. Ibu berusaha merebut parang dari tangan kanannya, tapi ibu terlalu lemah untuk itu. Ia dorong sekali saja dan ibu terjengkang. Pada saat itulah, ia begitu saja menetakkan parang itu di kepalaku. Aku sempat diam sesaat, dan ternyata, aku hanya merasakan sakit sedikit. Aku sangat yakin pasti mantra sang dukun itu yang telah membuatku kebal. Dan ketika ia hendak menetak kepalaku sekali lagi, aku merapalkan mantra untuk terbang dengan kesungguhan hati, sampai aku benar-benar tidak menyadari apa pun, kecuali ketika aku telah berada di tempat yang sangat tinggi, dan melihat mereka di bawah sana, melihat ayah memandangku sambil mengacungkan parangnya.*
16 Desember 2016- 20 April 2020
Catatan Kaki:
Kopek: botol
Kekelok: wadah dari bambu
Epe: kamu (halus/sopan)
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Pada 2017, ia diundang mengikuti Literature & Ideas Festival (LIFE’s) di Salihara, Jakarta. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk lima besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa 2019.