Puisi Dimarifa Dy
Dimarifa Dy, penulis dari Lubuklinggau, Sumatera Selatan, menulis puisi dan cerita.
Dimarifa Dy
Puteri Dayang
/Dayang Torek
/1
dia datang pada malam paling terang
rapalan mantra-mantra
perjanjian raja biku dan permaisuri selendang kuning
kembang tujuh dari kayangan.
turunlah kau, dewi
singgahlah sebentar terhadap dunia
senyumnya adalah sihir, matanya sirius
semua kecantikan tersirap pada wajahnya
Putri Dayang bermain dalam sungai-sungai
menghunus wangi ladang-pipit
dua musim bergantian, delapan penjuru angin
perjanjian itu tidak benar-benar
membunuh sang perempuan
sekalipun begitu dia tidak mati
menjelajahi pintu demi pintu
dan tersenyum hangat
membebaskan tidur yang panjang
melelahkan lalu menyenangkan
matamu berubah warna
serupa motif mehendi dan songket
sangat merah!
hujan musim juga kadang jadi anomali
memuat banyak debaran
gadis-gadis berguman
demikian murni dalam pemujaan remajanya
segala puisi segala puji-pujian
keindahan terisap ke dalamnya
tetapi mimpi jadi kisah yang mana, dewi?
perempuan telah diletakkan belakang
menjadi puan segala penderitaan
kita yang kanak-kanak berharap keajaiban
kerling genit atau puteri langit
perasaan adalah kesedihan dan kegembiraan sekaligus
kau masuki cahaya cahaya
kau siapkan juga bayangannya
tetapi apa kau punya sedikit keberanian
Tuan Putri?
tanah ini begitu kacau, manusia-manusia temahak
birahi pangeran yang tidak welas asih
lemah lembutmu lebih dari alasan
hasrat mereka ditulis
juga dengan banyak keserakahan
bersiasat dalam paradoks
penghitungan rumit yang tak dapat di hitung
pembebasan kisah-kisah
permakluman segala yang tak lazim
lalu kakimu tidak lagi sebening embun
larilah. Kau tak berhak menanggung
semua kesedihan pada pundakmu
kau tentu boleh membangkang
sekalipun gegabah, sekalipun terjatuh
larilah!
hanya saja, perjanjian sakral telah diletakkan
dadu nasib digulirkan
apakah satu atau enam, kau mesti mengambil angka
begitulah cara kerjanya.
Putri Dayang, kesayangan kayangan
budinya terberkati dan tubuhnya adalah sinar
di tengah pelarian itu, mantra mengaliri aliran darahnya
jalan-jalan menyisa sungai berbatu
burung hantu mengitarinya, berteriak kwak-kwak!
Kasiye meluap-luap, berteriak:
‘Kembalilah pada asalmu! Kembalilah pada asalmu!”
wajahnya penuh tangis kesedihan, perlahan sayup
orang-orang bersaksi, saling bersahutan
silam, Puteri telah silam
kurun waktu yang panjang
tidak ada lagi yang mengingatnya!
Nb: Dari dongeng Dayang Torek (Lubuklinggau), yang sering dikisahkan melalui lagu-lagu.
/2
/Dayang Rindu
kita berputar di ladang
sepasang pipit merayakan bulir merunduk
bisikku, tetaplah menjadi langit yang pagi
berdoa diam-diam
memahat namamu dalam tiang-tiangnya
nyanyianmu, sungguh lagu yang manis
babad romantis, sajak-sajak mistis
teriakmu riang, ingatan-ingatan yang mengalir
mari membacanya lagi, nanti
sebagaimana aroma adalah ingatan penuh
menghirupnya sampai mengisi seluruh
kupastikan menyimpannya dengan pasti
serupa selendang bidadari yang turun
saat musim panas
(mungkin kau tak benar-benar tahu
berapa agung sebuah rindu
itu bahkan tak ada seperempat dari padi-padi ini
bagaimana kau begitu percaya diri
terus memilikinya sama seperti itu)
memupuknya lagi dan lagi
kurapal doa-doa, menyianginya
mengingat warnanya, mencatat siklus lainnya
kuharap kau tidak menjadi mabuk nantinya
karena kita akan membicarakan ini
dalam waktu yang lama
musim-musim berikutnya
punggungmu semakin bias
padi-padi sekarang terlihat semakin sunyi
pohon pohon itu pun banyak menghilang
dunia yang tua
anak-anak yang mati di situ
rumah-rumah hancur di situ
menjadi berita yang tak lagi sedih dari waktu ke waktu
sesekali kukirimkan mereka sebagian rindu
lalu seluruh aroma rindu
kadang kala aku merasa sedikit serakah
untuk terus dirindukan
sementara luka mereka sepanjang badan
barangkali, kau lupa membuka jendela pagi ini
hingga aroma menguar sampai jauh
tidak menyentuh salah satu saraf-mu
apa kau berasal dari tanah kutukan
yang dalamnya mengalir sungai-sungai
hinggaku terus mengenangmu setiap hujan
sajak pertama dari buku tulis kita
warnanya semakin kabur
aku terus menyeduh rindu
Lubuklinggau, April 2023
*) Kasiye: Nama sebuah sungai
Surat Cinta Kepada Gie
prihal kue putu yang selalu lewat di depan sana
beraroma harum kelapa
tapi aku tidak pernah mempertimbangkan
sebuah insting yang membuat lapar
saat pertemuan pertama dengannya
saat musim warna yang daunnya bermunculan
beberapa orang terjebak dalam bertemu
setiap itu aku tidak tahu kapan waktunya menunggu
apakah kita benar-benar bertemu setelah itu
atau aku hanya merasa rindu
barangkali kau punya mimpi favorit
yang terus mengulang kenangan dalam pikiranmu
menjadi salah satu puisi yang sering kita ulang
warna semarak pada awal musim
berumah dalam batu, setia kepada sepi
jalan-jalan lengang, burung gereja berbaris
gedung-gedung kusam
waktu semakin pendek, Gie
dalam tubuhmu, tubuhku
seperti sesuatu yang bergerak
dalam perjalanan kesepian
tiada, tiada, menjadi sejarah yang tidak ada
tidak ada yang benar-benar dari semua kisah
dunia semakin berisik semakin hening
semakin hilang
bagaimana jika satu hari, kau juga tidak mengingatnya
tanyamu: bagaimana perempuan melanjutkan trah
men-siasati rasa rindu dalam musim-musim?
mungkinkah banyak tahun kemudian kau juga menyesali
tidak menjadi bagian siapa-siapa
atau kau memang lebih suka menjadi pencerita
aku terpaksa berhenti mencintamu
usia menjadi tua dan tidak belas kasihan
mengikatku kepada sumpah
perempuan naif memercayai kerlingan
menjumpai neraka berkali-kali
manakah dari mereka yang berkhianat
orang-orang yang tertidur di siang hari
atau kita yang terjaga setelah malam?
malam yang buruk, dalam banyak waktu
waktu di dunia ini jadi terus berkurang
orang-orang yang mati
dikabarkan besoknya lagi
aku terpaksa berhenti mengenangmu
semoga tidak menjadi mimpi buruk bagi siapapun lagi
:demikianlah!
(2023)
Dimarifa Dy menulis puisi dan cerita. Buku puisinya berjudul Surat Cinta untuk Kekasih dan Catatan Perjalanan. Kerap mengikuti lomba menulis dan memenanginya. Tumbuh besar di Lubuklinggau, Sumatera Selatan.