Mengenal Pemenang Nobel Perdamaian
Narges Mohammadi dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2023 berkat perjuangannya menentang penindasan perempuan di Iran.
Narges Mohammadi, pejuang besar hak-hak perempuan Iran, dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2023 atas perjuangan panjangnya melawan penindasan terhadap perempuan di Iran.
Mohammadi sendiri saat ini menjalani hukuman kurungan di penjara Evin di Teheran, ibu kota Iran, atas tuduhan menyebarkan propaganda melawan negara. Komite Nobel Norwegia menghadiahi nobel bergengsi tersebut untuk “perjuangannya melawan penindasan perempuan di Iran dan untuk mempromosikan hak asasi manusia (HAM) serta kebebasan untuk semua”.
Penghargaan ini diberikan ketika para perempuan di seluruh penjuru Iran dan bahkan di seluruh dunia terus memprotes intimidasi yang terjadi setelah kematian Mahsa Amini di tangan “polisi moral” Iran, karena diduga melanggar aturan berpakaian perempuan di Republik Islam tersebut.
Komite mengatakan, “Moto yang diadopsi oleh para demonstran, ‘Kebebasan Hidup Perempuan', dengan tepat mengekspresikan dedikasi dan karya Narges Mohammadi.“
Protes "Kebebasan Hidup Perempuan” (Woman Life Freedom) untuk menentang penindasan negara yang telah berlangsung begitu lama merupakan hal yang luar biasa. Namun, dalam protes yang berlangsung selama setahun ini, gelombang terbaru dari beberapa dekade pertempuran yang dilakukan oleh para perempuan melawan otoritarianisme agama di Iran tampaknya akan berubah menjadi pergeseran yang belum pernah terjadi dalam “perang” melawan salah satu rezim yang paling represif dalam sejarah modern ini.
Pengunjuk rasa mengenakan jaket bertuliskan "Kebebasan Hidup Wanita" di dekat markas besar PBB selama kunjungan Presiden Iran Ebrahim Raisi di New York City, Amerika Serikat, 19 September 2023. REUTERS/Bing Guan
Setelah revolusi 1979 di Iran, para ulama Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini merebut kekuasaan pemerintahan. Rezim ini dengan cepat mengesahkan serangkaian undang-undang yang menindas ditujukan khusus untuk perempuan. Namun, terlepas dari kekerasan terhadap perempuan oleh rezim tersebut, perempuan di Iran terus berada di garis depan dalam melawan penindasan.
Narges Mohammadi bergabung dalam perjuangan ini ketika masih menjadi mahasiswa pada awal 1990-an. Setelah lulus dari jurusan fisika dan bekerja sebagai insinyur, ia mulai menyuarakan hak-hak perempuan serta menulis kolom di koran-koran reformis.
Mohammadi pertama kali ditangkap pada 1998 akibat kritik terhadap pemerintah Iran. Pada 2003, ia bekerja di Pusat Pembela HAM di Teheran, yang didirikan oleh Shirin Ebadi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun itu sekaligus perempuan pertama dari dunia Islam yang menerima penghargaan tersebut.
Ia pernah ditangkap 13 kali dan dihukum lima kali sebelum akhirnya dijatuhi hukuman total 31 tahun penjara serta 154 kali cambukan. Ia dipenjara di Teheran pada 2022 ketika gelombang protes Woman Life Freedom mulai mendapatkan pengakuan global.
Mohammadi mengorganisasi aksi solidaritas dengan sesama narapidana sehingga ia dihukum oleh otoritas penjara dan dilarang menerima pengunjung serta tidak mendapat akses telepon. Namun, Mohammadi berhasil menyelundupkan sebuah artikel yang ia tulis untuk New York Times, yang terbit pada September 2023 dengan judul “Semakin Mereka Mengurung Kita, Semakin Kita Kuat.”
Baca: Wawancara Maria Ressa Pemenang Nobel Perdamaian 2021
Gerakan #NiUnaMenos. Commons Wikimedia/TitiNicola
Suara Perempuan Bergema dalam Protes
Gerakan-gerakan yang dipimpin oleh perempuan sering kali efektif dalam memaksa perubahan demokratis. Banyak contohnya sepanjang sejarah dan terus berlanjut hingga saat ini.
Di Argentina, dalam beberapa tahun terakhir, gerakan #NiUnaMenos (Not One Less)—yang artinya “tidak boleh ada (perempuan) yang dibunuh—yang diprakarsai oleh perempuan dan anak perempuan dalam mencari keadilan atas rangkaian kejadian femisida pada 2019 langsung berujung pada pembentukan Kementerian Perempuan, Gender, dan Keberagaman yang baru oleh pemerintahan Presiden Alberto Fernandez. Berkat kegigihan para perempuan Argentina dalam menyuarakan pendapat mereka, negara ini mulai menapaki jalan menuju perubahan.
Perempuan juga telah berperan penting dalam perjuangan HAM di Cile, baik sebelum maupun sesudah masa pemerintahan diktator Augusto Pinochet. Namun, gerakan feminisme di Cile saat ini, yang juga sangat memperjuangkan hak-hak aborsi, dipengaruhi oleh gerakan #NiUnaMenos.
Gerakan mereka membuahkan hasil, dengan dimasukkannya pelindungan hukum untuk aborsi ke dalam konstitusi baru pada 2022. Aturan baru ini dicanangkan untuk menggantikan konstitusi yang sudah berumur puluhan tahun yang dibuat oleh rezim Pinochet.
Sebuah pemungutan suara telah menolak rancangan ulang konstitusi tersebut pada September 2022, tapi perempuan terus berada di garis depan dalam perjuangan HAM di tengah perdebatan yang terus berlanjut.
Ketua Komite Nobel Berit Reiss-Andersen mengumumkan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2023, Narges Mohammadi, di Oslo, Norwegia 6 Oktober 2023. NTB/Terje Pedersen melalui REUTERS
'Woman Life Freedom'
Para perempuan Iran masih terus bergerak memperjuangkan hak-hak mereka. Satu tahun setelah munculnya gerakan Woman Life Freedom masih belum dapat diprediksi apakah mereka akan berhasil menghadapi penindasan kejam dari kelompok ulama dan pendukung konservatifnya.
Namun rasa tak terkalahkan rezim yang berkuasa serta marginalisasi perempuan dari politik perlahan mulai berhasil diguncang. Bahkan ketika pihak keamanan mencoba menindak tegas para pengunjuk rasa, perjuangan melawan rezim patriarki akan terus berlanjut.
Bahkan jika protes tidak berujung pada runtuhnya rezim, suara-suara perempuan yang menuntut kebebasan berbicara, otonomi tubuh, dan keterlibatan politik ada kemungkinan dapat mengubah lanskap sosial serta politik di Iran.
Panel Hadiah Nobel memberikan penghargaan kepada Narges Mohammadi atas kiprahnya selama lebih dari 30 tahun dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Iran. Namun panel tersebut juga menjelaskan bahwa penghargaan ini juga diperuntukkan bagi “ratusan ribu orang yang pada tahun sebelumnya berdemonstrasi menentang kebijakan rezim teokratis yang melakukan diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan”.
Suara-suara perempuan kini menjadi ancaman serius bagi legitimasi teokrasi Iran. Orang-orang yang skeptis ada kemungkinan mengatakan bahwa pada masa lalu, rezim ini selalu berhasil menggunakan kekerasan dan sensor untuk membungkam protes.
Namun gelombang protes baru ini telah bergema di seluruh dunia, meningkatkan profil perjuangan perempuan di jalan-jalan kota Iran, dan mendorong perempuan di seluruh dunia memperjuangkan hak-hak serta kebebasan mereka.
---
Artikel ini ditulis oleh Hind Elhinnawy, dosen senior ilmu sosial di Nottingham Trent University, Inggris. Terbit pertama kali di The Conversation.