Pace Seprice Sakan
Karyawan, tinggal di Wina, Austria
Telepon seluler saya berdering sebelum saya menutup kelas daring pada Minggu siang, beberapa pekan lalu. Di layar gawai terlihat tiga panggilan tidak terjawab. Nomornya milik seorang teman di Wina. “Ayo, ke sini, aku share lokasinya, ya!” begitu suara dari seberang. “Iya. Maaf, tadi lagi ngajar. Baru aja selesai,” jawab saya saat berhasil mengangkat telepon.
Hari itu teman-teman muslim merayakan Idul Fitri. Namun, tak seperti biasanya, kali ini tidak ada salat Id yang digelar Kedutaan Besar Republik Indonesia di Wina, Austria. Pun dengan gelar griya (open house) yang menjadi agenda tahunan di wisma duta besar dan wakil duta besar saat hari raya tiba. Lebaran kali ini memang terasa berbeda. Sejak pagebluk Covid-19 menyerang seluruh dunia, semua kegiatan kumpul-kumpul di Austria ikut pula terhenti. Kegiatan di luar rumah juga tak pelak dibatasi.
Pemerintah Austria telah menyerukan pembatasan aktivitas sejak medio Maret lalu. Masyarakat hanya boleh pergi ke luar rumah jika ada keperluan mendesak, yakni untuk pekerjaan yang tidak dapat ditunda, berbelanja kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan, serta menolong orang lain yang membutuhkan bantuan.
Meski sudah bisa beraktivitas kembali di luar rumah sejak 1 Mei lalu, masyarakat tetap diimbau terus menjaga jarak dan tidak melakukan kegiatan berkumpul dalam jumlah besar. Pembatasan fisik dan aturan berkumpul yang hanya memperbolehkan maksimal 10 orang dalam satu titik pertemuan menjadi sebuah kebiasaan baru. Hal ini juga yang terlihat sore itu waktu saya tiba di taman Kota Wina, Wiener Stadtpark.
Taman publik milik Pemerintah Kota Wina ini menjadi lokasi kami berkumpul. Cahaya matahari petang yang hangat pada awal musim panas menyambut saya saat memasuki taman. Warga sekitar memanfaatkan cuaca cerah dengan menghabiskan waktu di taman yang dilengkapi dengan arena bermain, restoran, toilet umum, air mancur, dan monumen, serta patung figur-figur penting yang pernah tinggal di Kota Wina itu.
Salah satu hal unik dari Wiener Stadtpark adalah lokasinya yang diapit oleh dua distrik di pusat kota. Taman ini terletak di antara Parkring yang masuk wilayah Distrik 1 dan Heumarkt di Distrik 3. Wiener Stadpark dapat dicapai menggunakan U-Bahn U4 dengan stasiun tujuan Stasiun Stadtpark.
Taman kota juga dilalui oleh Ringstraße—jalan protokol yang membentang sepanjang 5,3 kilometer serta melewati hampir semua gedung bersejarah dan monumen penting kota itu. Taman publik pertama di Wina itu dirancang oleh Dr Rudolph Siebeck, arsitek lanskap, dengan bantuan sketsa dari seorang pelukis panorama bernama Joseph Selleny. Pembangunannya dilakukan bersamaan dengan pembuatan Ringstraße pada 1860 dan resmi dibuka untuk umum pada 21 Agustus 1862.
Pemandangan pertama saat tiba di taman seluas 95 ribu meter persegi ini adalah aktivitas warga sekitar yang mengisi tiap bagian taman. Ada yang membaca, berjemur, bermain, dan bercengkerama, serta ada yang sekadar jalan-jalan menikmati area taman. Dari kejauhan, terlihat beberapa teman sudah berkumpul di bawah sebuah pohon rindang, beralaskan tikar piknik, lengkap dengan aneka penganan khas Lebaran. Kami memang ingin makan bersama di tempat ini.
Rupanya mereka sudah selesai makan siang sebelum saya tiba. Selepas mengucap salam dan selamat Idul Fitri kepada teman-teman yang merayakan, saya dipersilakan duduk untuk menyantap kuliner khas Hari Raya. Ada lontong, opor ayam, sate kambing, sate ayam, sayur labu siam, sambal goreng kentang hati, telur balado, dan kerupuk. Tak ketinggalan kue istimewa yang selalu ada saat Lebaran, yakni nastar.
Angin sore yang sedikit kencang memaksa beberapa teman mengambil dan memakai jaket mereka. Walau hari cerah dan matahari sedang menunjukkan panasnya, embusan angin sore yang lebih kuat dari biasanya membuat mereka tak kuasa menahan dingin. Belum juga selesai dengan hawa dingin, langit kota itu sekonyong-konyong berubah menjadi gelap. Butiran-butiran kecil air hujan perlahan mulai jatuh. Beberapa orang di taman terlihat berhamburan. Kami beruntung karena dinaungi dedaunan pohon yang rimbun.
Agaknya cuaca Wina hari ini sedang labil. Sinar mentari muncul lagi hanya dalam hitungan menit. Sambil menghabiskan makanan yang tersisa di piring, ada teman yang mulai bercerita. Sesekali kami melempar canda dan tertawa bersama sembari menunggu salah seorang teman lagi yang hendak bergabung.
Tak lama berselang, teman yang dinanti pun datang. Dia baru saja hiking di luar kota. Begitu tiba, ia diminta langsung makan. “Makanannya masih banyak. Harus dihabiskan semua, ya,” ucap seorang teman lain yang menyiapkan sebagian besar santapan ini dengan nada menggoda.
Beberapa saat berlalu, tampak sebuah mobil patroli berkeliling taman untuk mengontrol warga. Meski pengunjung kelihatannya sudah menaati peraturan dan menjaga jarak, pemerintah setempat tetap melakukan fungsi kontrolnya melalui aparat kepolisian. Mereka ingin memastikan setiap pengunjung taman ikut menjalankan anjuran pemerintah dan berpartisipasi aktif dalam penanganan pandemi ini.
Sore itu, sebelum beranjak meninggalkan taman, kami menyempatkan diri mengambil beberapa gambar berlatar monumen komponis Austria, Johann Strauss-Denkmal. Patung emas Johann dalam pose sedang bermain biola ini menjadi salah satu ikon di Stadtpark dan tidak luput menjadi spot berfoto para pengunjung.
Johann Strauss dilahirkan pada 25 Oktober 1825, di St Ulrich bei Wien (sekarang Distrik Neubau, Wina). Ia merupakan anak dari Johann Baptist Strauss (senior). Strauss Jr mewarisi darah seni dari sang ayah dan menjadi seorang komponis. Semasa hidupnya, Strauss telah menghasilkan lebih 500 karya yang menobatkan dirinya sebagai “The Waltz King” (Walzerkönig). Strauss juga merupakan salah seorang tokoh sentral yang pernah mengisi era emas operet Wina.
Gubahan-gubahan besar Strauss antara lain The Blue Danube, Kaizer Walzer (Emperor Waltz), dan Tritsch-Tratsch-Polka. Karya-karya itulah yang menjadikan Strauss Jr lebih masyhur ketimbang Strauss Sr. Untuk membedakan kesamaan nama yang dimiliki dengan ayahnya, penulisan namanya yang paling umum adalah “Johann Strauss (Sohn)” alias Johann Strauss (anak). Strauss meninggal dalam usia 73 tahun pada 1899, di Wina.
Pada 1904, sebuah komite menginisiasi pembangunan monumen bagi Johann Strauss yang mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Kota Wina. Meski demikian, pembangunan sempat tertunda karena perang dan kondisi keuangan saat itu yang tidak memungkinkan, sehingga proses pembangunan baru rampung pada 1921. Monumen Strauss sempat beberapa kali dirombak dan dipugar sebelum bentuknya menjadi seperti sekarang. Kini patung Strauss menjadi obyek foto paling populer di Wina.
Dari Stadtpark, kami berjalan kaki menyusuri Ringstraße ke arah Urania—sebuah gedung pusat pendidikan dan observatorium. Kami melewati beberapa bangunan, seperti Museum für angewandte Kunst Wien (MAK), kampus University of Applied Arts Vienna, gedung Kementerian Sosial, Kesehatan, Keperawatan, dan Perlindungan Konsumen Austria, serta kantor Kementerian Keberlanjutan dan Pariwisata Austria. Selanjutnya, kami berbelok kanan di Urania dan menuju salah satu bar di pinggir kanal Danube.
Letaknya yang tak jauh dari pusat kota membuat bar ini sangat terkenal di kalangan muda-mudi di Kota Wina. Saat musim panas tiba, tempat ini selalu disesaki anak muda generasi milenial yang ingin berkumpul, bertemu dengan teman, dan bersantai sambil menghabiskan segelas koktail. Sayangnya, saat kami sambangi malam itu, bar ini tidak seramai biasanya. Hanya terlihat beberapa orang duduk di bagian depan. Kami juga masih harus menggunakan masker waktu masuk ke bar.
Beberapa teman langsung memesan seduhan cokelat panas. Saya dan dua orang teman lain memesan tiga gelas bir lokal. Celotehan kami makin tidak karuan di bawah temaram lampu warna-warni di dalam bar. Kami memutuskan menghabiskan malam itu di bar yang meminjam nama belakang penemu kartu pos, Emanuel Hermann.
Emanuel Hermann lahir di Klagenfurt, Austria, pada 1839, dan pernah menjadi guru besar di Technische Hochschule Wien (sekarang TU Wien). Profesor Hermann pertama kali mengenalkan kartu pos pada 26 Januari 1869 melalui artikelnya yang diterbitkan koran Neue Freie Presse. Hermann mengemukakan bahwa media baru ini dapat menjadi sebuah alternatif korespondensi pengganti surat.
Saat itu, biaya pengiriman surat melalui pos masih mahal, sedangkan biaya kirim kartu pos hanya setengah dari harga surat normal. Singkat cerita, lahirlah kartu pos yang kita kenal hingga sekarang. Mulanya penggunaan kartu pos hanya dikenal di Austria. Tapi, seiring dengan kepopulerannya, kartu pos kemudian menyebar dan digunakan di seantero dunia.
Untuk mengenang jasa Profesor Emanuel Hermann, Pemerintah Kota Wina membangun sebuah taman yang dikenal dengan Hermannpark. Kebetulan, bar yang sedang kami kunjungi ini masih berada dalam kawasan Taman Hermann.
Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Di luar semakin sepi dan malam kian dingin. Setelah menghabiskan minuman, kami menyudahi pertemuan dan pulang. Walaupun Lebaran kali ini berbeda, masih ada cara untuk bisa menghabiskan waktu bersama. Meski pada masa wabah corona ini ada jarak yang mesti dijaga, silaturahmi harus tetap dipelihara.*