Saya berbaur dalam arus karnaval yang meriah di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, pada Minggu pagi yang cerah, awal September lalu. Arak-arakan ratusan orang yang mengenakan warna-warni kostum karnaval dari tenun songket Silungkang memenuhi jalan raya kota. Mengular dari depan Pasar Remaja di tengah kota hingga ke Lapangan Segitiga.
Hari itu tengah berlangsung karnaval songket Silungkang di Sawahlunto yang dikemas dengan nama Sawahlunto International Songket Silungkang Carnaval. Ini karnaval yang kelima kalinya, diadakan setiap tahun. Silungkang adalah satu nagari penghasil kain songket, kain tenun tradisional di Sumatera Barat.
Peserta karnaval menggunakan kostum berbahan kain songket Silungkang. Para bundo kanduang, perempuan paruh baya, yang berkostum tradisional Minang, membawa selembar kain tenun yang sangat panjang berwarna merah dengan benang emas. Itulah kain tenun paling panjang yang pernah saya lihat, panjangnya sekitar 20 meter.
Banyak peserta karnaval yang mengusung tema "Sawahlunto kota tambang batu bara" ini terlihat menggunakan ikon-ikon kota, seperti miniatur tiga bangunan Silo, gedung tua, bahkan lubang tambang batu bara. Seorang perempuan dengan kostum songket kuning dan hijau cerah membawa miniatur kota tua dengan tulisan "Sawahlunto Heritage Town".
Perayaan karnaval yang meriah ini sepertinya untuk menyambut penetapan Sawahlunto sebagai kota warisan dunia yang diraih pada Juli lalu. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto sebagai Warisan Dunia UNESCO. Penetapan ini diumumkan di Kota Baku, Azerbaijan, 6 Juli lalu.
Dalam siaran Sekretariat Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto pantas diposisikan sebagai warisan dunia karena konsep tiga serangkai yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda pada masa itu.
Tiga serangkai meliputi industri pertambangan batu bara di Sawahlunto, yang selanjutnya dibawa keluar Sawahlunto dengan menggunakan transportasi kereta api dengan rangkaian rel sepanjang 155,5 kilometer melalui wilayah Sumatera Barat, dan sistem penyimpanan Silo Gunung di Pelabuhan Emmahaven yang sekarang menjadi Pelabuhan Teluk Bayur, Padang.
Hal ini menunjukkan perkembangan teknologi perintis abad ke-19 yang menggabungkan ilmu teknik pertambangan bangsa Eropa dengan kearifan lingkungan lokal, praktik tradisional, dan nilai-nilai budaya dalam kegiatan penambangan batu bara yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Barat. Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto menggambarkan dinamisnya interaksi sosial dan budaya antara dunia timur dan barat.
Peserta carnaval songket Silungkang.
Di Kota Sawahlunto saat ini masih berdiri kokoh sisa-sisa industri pertambangan batu bara di era kolonialisme, terdapat 74 bangunan cagar budaya. Mantan Wali Kota Sawahlunto, Amran Nur yang menjabat selama 2003-2013, merupakan orang yang berperan penting menyelamatkan Kota Sawahlunto, bekas kota tambang yang ditinggalkan menjadi kota wisata tambang. Ini pilihan terbaik setelah cadangan batu bara di Sawahlunto menipis dan ramai-ramai ditinggalkan pekerja tambang pada 20 tahun lalu.
Di tangannya, Kota Sawahlunto berkembang menjadi kota tua yang nyaman dan bersih, tempat menjenguk ke masa lalu.
Barisan karnaval berakhir di Lapangan Segitiga di halaman gedung PT Bukit Asam, gedung tinggi bercat putih, gedung paling megah di Sawahlunto yang menjadi landmark kota. Gedung ini didirikan pada 1916 untuk kantor pertambangan batu bara dan bergaya Art Deco dengan menara yang menjulang ditambah dengan jam di menaranya.
Menjelang tengah hari saya meninggalkan acara yang hampir selesai. Panas matahari terasa menyengat, saya berjalan kaki sekitar 300 meter ke Museum Lubang Tambang Mbah Soero. Saya ingin makan siang di kedai pecel Bude Suryati, yang sekarang kondang sebagai Pical Mbah Soero. Pecelnya enak sekali, mungkin ini salah satu kuliner orisinal di Sawahlunto.
Bude Suryati ternyata juga baru pulang melihat karnaval. Ia menyapa ramah. Saya memang selalu makan di warungnya sejak dulu. Saya duduk di kursi dan bangku yang menghadap ke halaman dalam Museum Goedang Ransoem. Di depan sana masih ada patung seorang Belanda penjaga sedang mengawasi dua pekerja tambang mendorong gerobak besi penuh batu bara yang berkilat diterpa sinar matahari. Di sebelahnya ada pintu masuk ke Lubang Tambang Mbah Soero. Masih sepi, belum terlihat ada pengunjung yang masuk ke lubang tambang.
Sambil makan saya ngobrol dengan Bude Suryati, ingin tahu tanggapannya terhadap Sawahlunto yang baru masuk situs warisan dunia. "Ya, Bude senang sekali. Makin banyak orang yang ke sini makan pecel Bude," jawabnya sambil tertawa. Ia bercerita, ayahnya dulu adalah pekerja tambang batu bara semasa Belanda. Ayahnya juga bekerja sebagai penjaga Gedung Pertemuan Buruh (GPB) yang dulunya berdiri tepat di depan kami duduk, tapi sekarang sudah dirobohkan. Gedung itu menjadi tempat acara kesenian rakyat yang ramai setiap bulan.
"Ada reog juga, dan dari cerita ayah saya: londo-londo itu bersama buruh tambang berkumpul di sini, gedungnya seperti rumah besar yang melingkar bulat dan depannya kaca semua, sayang juga dirobohkan," kata Bude.
Gedung itu dirobohkan saat Kota Sawahlunto mulai dipugar untuk pariwisata pada pertengahan 2000-an, dan dibangun gedung Info Box yang kini berdiri di depan kami.
Darman, ayah Bude, yang mendirikan rumah di sisi gedung tersebut, kemudian mendapat ganti rugi. Rumahnya dirobohkan untuk ruang terbuka di depan Lubang Tambang Mbah Soero. "Rumah kecil untuk warung saya ini peninggalan Belanda. Awalnya sudah diganti rugi Rp 17 juta oleh Pemerintah Kota Sawahlunto pada 2006. Tetapi setelah saya pikir-pikir, saya tolak. Saya kembalikan uangnya kepada Wali Kota Pak Amran Nur. Saya katakan, saya mau berjualan saja, karena uang sebanyak itu akan habis. Pak Amran tidak mau menerima uangnya. Dia katakan, silakan pakai rumah itu untuk berjualan makanan di Museum Lubang Tambang selama saya mau," kata Bude.
Di depan kami tiba-tiba lewat Kiplik, pemandu Lubang Tambang Mbah Soero. Ada beberapa orang tamu di belakangnya yang akan dia bawa masuk ke lubang tambang. Dia melambaikan tangan. Saya sudah lama mengenalnya.
Saya mengikuti dari belakang rombongan yang dibawa Kiplik. Kiplik memandu mereka masuk ke terowongan bawah tanah itu, menuruni anak tangga semen yang berair, menukik pada kedalaman 16 meter dari permukaan tanah kota. Ini adalah Lubang Tambang Batu Bara Mbak Soero, salah satu cagar budaya yang menjadi obyek wisata. Sebuah lubang tambang yang terkenal karena terkait dengan nasib "orang rantai", para tahanan dari Jawa, Sulawesi, dan Bali yang dipekerjakan dengan kaki terantai pada zaman kolonial Belanda.
Lubang Tambang Mbah Soero baru dibuka untuk umum pada 23 April 2008. Lubang ini merupakan bekas terowongan tambang tua batu bara sejak "emas hitam" Sawahlunto ditemukan oleh W.H. van Greve, seorang geolog Belanda, pada 1868, dengan perkiraan deposit 200 juta ton. Lubang Tambang Mbah Soero dulu terkenal dengan nama Lubang Lembah Soegar. Lubang ini terkenal sebagai "Lubang Mbah Soero" karena diawasi mandor dari Jawa bernama Soerono.
Lubang tambang ini memiliki lebar dua meter dan ketinggian dua meter. Dulu lorong ini digunakan untuk mengangkut batu bara dari penambangan di bawah Kota Sawahlunto. Dinding lorong terlihat hitam berkilat karena masih mengandung batu bara kualitas super, yaitu 6.000-7.000 kalori. Sebelum 1930, Belanda menutup lubang ini karena dekatnya lubang tambang dengan Sungai Lunto, yang mengakibatkan derasnya rembesan air.
Aslinya tidak ada tangga, hanya jalan untuk gerobak dorong dari besi dengan rel. Tangga semen dibuat setelah dibuka untuk kemudahan wisatawan. Namun terowongan ini tidak hanya satu. Terowongan tersebut mirip jaring yang saling terhubung. Terdapat dua jalur masuk yang sudah dibersihkan dan satu jalur sejajar yang tidak memiliki pintu keluar. Lalu ditambah dua jalur melintang yang datar dengan jarak setiap pertemuan 30 meter.
Pengunjung dibawa menuju ujung lubang mendatar dengan tur sejauh 186 meter dan keluar di seberang jalan depan gedung Info Box. Keluar dari lubang tambang, saya meneruskan melihat satu lagi museum yang tak kalah penting, Museum Goedang Ransoem. Bangunan Museum Goedang Ransoem didirikan pada 1918 dan berfungsi sebagai dapur umum tempat memasak makanan serta memenuhi kebutuhan makanan bagi pekerja tambang dan pasien rumah sakit Sawahlunto, yang berjumlah ribuan orang. Bangunannya terdiri atas dapur umum, gudang es, gudang makanan mentah, gudang beras, menara asap, dan power strom.
Pada masa itu, sebanyak 65 pikul beras atau hampir 4.000 kilogram beras dimasak setiap hari. Sistem memasaknya menggunakan tekanan uap yang dialirkan melalui pipa-pipa. Di dalam museum ini ada beberapa periuk, kuali yang sangat besar, dan tungku bermerek Rohrendampfkesselfabrik buatan 1894 berbahan bakar batu bara, yang membuktikan bahwa dapur umum ini sudah menggunakan peralatan memasak massal berteknologi modern pada zamannya.
Saya mengakhiri perjalanan mengitari kota tua ini di Taman Silo. Duduk di bangku taman yang dikelilingi pohon yang asri. Menatap tiga bangunan silinder raksasa berwarna abu-abu yang menjulang. Ini bangunan favorit saya, sangat indah dan unik.
Pada masa kejayaan tambang batu bara, Silo berfungsi sebagai penimbun batu bara yang telah dibersihkan dan siap diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur. Dulu di Silo terdapat sirene yang berbunyi tiga kali setiap hari, yakni pukul 07.00, 13.00, dan 16.00. Suara nyaring itu penanda jam kerja "orang rantai" atau pekerja paksa di tambang batu bara.
Saya masuk ke dalam bangunannya yang kosong. Tak ada lagi batu bara, tapi bangunan itu tetap menarik. Seorang pria tampak sedang menyiram dinding Silo dengan air dari atas bangunan. Seorang rekannya di bawah mengatakan Silo sedang dipersiapkan untuk atraksi panjat tebing pada hari ulang tahun TNI, 5 Oktober mendatang. Di dinding Silo sudah terlihat batu-batu handgrip aneka warna untuk panjat tebing. Saya tidak setuju dengan ide menjadikan Silo itu sebagai tebing buatan. Bangunan yang sudah berusia satu abad itu harusnya tidak dibebani. Saya ingin terus menikmati keberadaannya sepanjang zaman. FEBRIANTI
Ransel
- Kota Sawahlunto berjarak 94 kilometer dari Padang. Dapat ditempuh melalui darat dengan naik bus travel, mobil rental, atau kendaraan pribadi. Bus travel dapat ditemukan di jalan. Dari Padang dapat ditempuh dalam dua jam perjalanan. Jika naik bus travel dari Padang, ongkosnya Rp 20 ribu, sedangkan harga sewa mobil rental sekitar Rp 550 ribu.
- Selain hotel, kini tumbuh banyak homestay di Sawahlunto. Homestay tersebut biasanya di rumah-rumah penduduk di pusat kota, dengan tarif Rp 100-150 ribu semalam dengan sarapan.
- Jika Anda menyukai kain tenun, bisa berkunjung ke Silungkang, salah satu kecamatan di Sawahlunto yang terkenal dengan tenunnya yang beraneka ragam. Di Silungkang, Anda juga bisa menyaksikan orang menenun kain songket. Dari Sawahlunto ke Silungkang bisa menggunakan ojek atau minibus..