maaf email atau password anda salah


Manfaat Didikan Keras bagi Prestasi Olahraga

David Beckham menunjuk didikan keras ayah sebagai satu faktor kesuksesannya. Ahli ilmu olahraga menyatakan tak ada korelasinya.

arsip tempo : 171489006147.

Ilustrasi seorang ayah melatih anaknya dalam berolahraga. Shutterstock. tempo : 171489006147.

Dalam film dokumenter Netflix, pesepak bola David Beckham ditanya tentang bagaimana ia mengatasi caci maki dan kekerasan masyarakat Inggris yang ditujukan kepada dia setelah Piala Dunia 1998. Dia menjawab, “Saya mampu menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh para penggemar karena perlakuan ayah saya terhadap saya.”

Sebuah adegan mengharukan menunjukkan ibu David, Sandra, berjuang dan betapa kerasnya ayah David, Ted, terhadap putra mereka. Teriakan Ted kerap membuat David menangis. Ketika ditanya apakah dia terlalu keras kepada David, Ted berkata, “Tidak. Jika saya memberi tahu dia kalau dia sudah bagus, dia tidak akan berkembang.”

Sepanjang film ini, perilaku Ted dianggap normal oleh Ted, dan bahkan oleh David Beckham sendiri, sebagai hal yang diperlukan untuk mendukung perjalanan karier olahraga David. Namun David juga mengatakan ia takut terhadap masukan ayahnya sehingga merasa terdorong untuk berlatih berjam-jam setiap hari. Atlet lain dengan cerita serupa di antaranya atlet golf Tiger Woods, petenis Andre Agassi, dan atlet tenis asal Australia, Jelena Dokic.

Kontrol orang tua sering digambarkan sebagai hal yang diperlukan atlet untuk sukses. Namun bukti menunjukkan bahwa gagasan ini salah. Faktanya, pendekatan seperti itu dapat merugikan peluang anak untuk sukses dalam olahraga dan wellbeing-nya.

Hal ini bukan hanya masalah olahraga elite. Penelitian kami menunjukkan hal tersebut juga terjadi pada olahraga komunitas.

Ilustrasi seorang ayah melatih anaknya bermain basket. Shutterstock

Temuan Kami

Dalam penelitian yang kami lakukan, satu dari tiga orang yang kami survei mengatakan mereka pernah mengalami kekerasan oleh orang tua selama mengikuti olahraga komunitas di Australia.

Kekerasan psikologis yang dilakukan orang tua dilaporkan oleh kurang dari sepertiga responden kami. Kekerasan itu mencakup perilaku seperti:
- kritik berlebihan
- ejekan dan penghinaan
- latihan berlebihan hingga kelelahan/muntah
- mengabaikan anak setelah pertandingan.

Perilaku mengontrol dan kekerasan yang dijelaskan di atas telah dinormalisasi secara konsisten oleh orang tua, pelatih, ataupun organisasi olahraga sebagai sesuatu yang diperlukan untuk menciptakan atlet yang “tangguh secara mental” dan siap menghadapi kompetisi tingkat tinggi.

Namun tidak ada bukti bahwa perilaku kasar dan suka mengontrol berdampak positif terhadap performa olahraga. Sebaliknya, ada banyak bukti yang menunjukkan hal-hal berikut ini:
- merusak rasa percaya diri dan harga diri anak
- meningkatkan kecemasan terhadap persaingan
- menyebabkan anak meninggalkan olahraga
- dikaitkan dengan depresi dan kecemasan. 

Penelitian menunjukkan bahwa, ketika orang dewasa dalam olahraga komunitas menggunakan “pendekatan yang mendukung otonomi”—yang berarti generasi muda diberdayakan untuk membuat keputusan sendiri dan perasaannya diakui—anak-anak dapat lebih termotivasi.

Sebuah eksperimen dalam Olimpiade 2012 menemukan bahwa pelatih dengan pendekatan yang lebih suportif membuat atletnya meraih perolehan medali lebih tinggi dibanding mereka yang tidak. Sebagian besar bukti ini berfokus pada pembinaan. Namun, mengingat banyak orang tua bertindak sebagai pelatih bagi anak-anak mereka, temuan ini tetap relevan.

Ilustrasi seorang ibu melatih anaknya dalam berolahraga. Shutterstock

Jadikan Pengalaman sebagai yang Utama

Tidak ada bukti bahwa praktik pengendalian atau kekerasan meningkatkan performa anak dalam olahraga. Bahkan, kalaupun ada, performa olahraga tidak boleh dianggap lebih penting daripada kesehatan dan wellbeing anak.

Perilaku ini tidak akan ditoleransi di lingkungan yang berbeda, seperti tempat kerja atau sekolah. Jadi sudah saatnya perilaku tersebut dihilangkan dalam dunia olahraga.

Bagaimana langkah selanjutnya?

Sistem olahraga itu rumit, dan meskipun mudah untuk berpikir bahwa hanya segelintir orang yang bermasalah, praktik-praktik ini kenyataannya telah dinormalisasi dari generasi ke generasi.

Orang tua mengulangi pola dari pengalaman mereka sendiri dan mencerminkan praktik yang mereka anggap normal dalam olahraga elite.

Tidak ada cara cepat untuk memperbaiki hal ini. Namun kita semua dapat berperan dengan merefleksikan perilaku kita sendiri serta mempertimbangkan bagaimana kita dapat memprioritaskan pengalaman dan wellbeing anak-anak.

Orang tua harus memprioritaskan bagaimana anak-anak bisa menikmati olahraga, mempelajari keterampilan baru, menikmati momen, dan menjadi bagian dari tim sehingga anak-anak dapat memperoleh hasil maksimal dari permainan yang mereka sukai.

Meskipun David Beckham sendiri mengatakan semua proses yang ia alami itu sepadan, bukti menunjukkan bahwa dia sukses bukan karena mendapat tekanan tinggi di lingkungan rumahnya, melainkan karena kehebatannya untuk tetap bisa sukses terlepas dari adanya tekanan tersebut.

---

Artikel ini ditulis oleh Mary Woessner, Alexandra Parker, dan Aurellie Pankowiak, pakar ilmu kesehatan dan olahraga dari Victoria University, Australia. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Mei 2024

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan