maaf email atau password anda salah


Anak Pengungsi Kesulitan Bersekolah

Empat ribu pengungsi di Indonesia adalah anak-anak. Penelitian BRIN di Batam dan Makassar mendapati mereka kesulitan bersekolah.

arsip tempo : 171533015140.

Pengungsi Afghanistan saat menggelar demonstrasi di depan kantor Badan Pengungsi PBB (UNHCR) di Jakarta, 2021. TEMPO/Subekti. tempo : 171533015140.

Indonesia merupakan salah satu negara persinggahan pengungsi terbesar di Asia Tenggara. Pada Mei 2023, Indonesia menampung setidaknya 12.704 pengungsi, sebagian besar dari Afganistan, Somalia, Myanmar, Irak, dan Sudan. Hampir 30 persen di antaranya adalah anak-anak.

Sebagian besar dari mereka tinggal selama lebih dari empat tahun di Indonesia tanpa mengetahui kapan “masa transit” ini akan berakhir. Mempertimbangkan lamanya periode waktu yang dihabiskan, terutama bagi anak-anak pengungsi, kami yakin anak-anak pengungsi perlu mendapat akses atas pendidikan selama mereka menunggu.

Terlepas dari status tinggal mereka, mereka memiliki hak dasar untuk mendapatkan pendidikan guna mempersiapkan masa depan mereka dan membantu menjaga kestabilan proses tumbuh kembang mereka.

Sebelum masa pandemi Covid-19, Indonesia telah membuat kemajuan dalam menyediakan akses pendidikan bagi ratusan anak pengungsi. Ini termasuk menyediakan akses bagi anak-anak pengungsi untuk bersekolah di sekolah-sekolah di Indonesia selama mereka memiliki dokumentasi dari UNHCR, Rumah Detensi Imigrasi, dan surat jaminan keuangan dari lembaga sponsor, seperti dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

Baca: Perang Ukraina dan Nasib Para Pengungsi

Namun penelitian kami yang dilakukan di Kota Batam, Kepulauan Riau; dan Makassar, Sulawesi Selatan; pada Juni 2022 menunjukkan pandemi telah menghambat kemajuan ini.

Ibu dan anak asal Afghanistan beraktivitas di dalam tenda di ruas jalan Kawasan Kebon Sirih Barat Satu, Jakarta, 2021. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Hasil Riset

Kami mengumpulkan data melalui observasi dan wawancara mendalam dengan enam orang tua pengungsi dari berbagai kewarganegaraan—Afganistan, Sudan, Sri Lanka, dan Somalia—serta lima anak pengungsi yang terdaftar di sekolah dasar dan menengah.

Kami juga mewawancarai kepala sekolah dan guru-guru di sekolah-sekolah lokal di kedua kota tersebut; pejabat pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional; serta staf lokal dan pimpinan organisasi internasional yang bekerja dalam penanganan pengungsi di Indonesia, termasuk IOM dan UNHCR.

Kami menemukan empat masalah yang menghambat akses anak-anak pengungsi terhadap pendidikan di Indonesia.

1. Distribusi Informasi

“Sebelum adanya surat edaran, kami merasa sekolah negeri yang menyediakan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hanya bisa diakses oleh WNI sehingga kami mencari sekolah swasta untuk anak-anak pengungsi. Setelah adanya surat edaran tersebut, ada kesempatan bagi anak-anak pengungsi untuk mendaftar di sekolah negeri dan prosesnya cukup cepat,” - Staf IOM di Batam, 18 Juni 2022.

Surat edaran yang dimaksudkan adalah Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 752553/A.A4/HK/2019 tertanggal 10 Juli 2019 yang memungkinkan akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi di Indonesia.

Sayangnya, upaya tersebut menghadapi tantangan komunikasi selama masa pandemi sebagai akibat dari metode pengiriman pesan berantai yang diselingi dengan komunikasi yang harus dilakukan secara daring. Pemerintah pusat mengandalkan pemerintah daerah untuk membagikan informasi dan strategi tentang surat edaran tersebut kepada penyedia layanan pendidikan setempat.

Namun otoritas daerah setempat cenderung mengandalkan organisasi internasional, terutama IOM, untuk menjembatani komunikasi dan memberikan informasi kepada komunitas pengungsi ketimbang secara proaktif menyampaikan informasi tersebut sendiri.

Padahal situs-situs web organisasi ini sebagian besar hanya menyediakan informasi yang berpusat di Jakarta. Akibatnya, sebagian besar informasi yang ada di situs-situs web tersebut kurang bermanfaat bagi anak-anak pengungsi yang tinggal di provinsi lain di Indonesia.

IOM dan UNHCR juga memiliki kapasitas keuangan dan kemampuan terbatas untuk memberikan bantuan dan berkomunikasi langsung dengan populasi pengungsi secara teratur karena adanya pembatasan mobilitas.

Situasi ini akhirnya menyebabkan kesenjangan komunikasi yang menghambat implementasi surat edaran: sekolah-sekolah lokal menjadi ragu menerima anak-anak pengungsi, orang tua pengungsi tidak dapat memperoleh informasi tentang sekolah, dan pada akhirnya anak-anak pengungsi tidak dapat mendaftar di sekolah-sekolah ini.

Seorang anak asal Afghanistan di Kawasan Kebon Sirih Barat Satu, Jakarta, 2021. Tempo/Hilman Fathurrahman W

2. Kurangnya Akses Teknologi

Untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, sekolah-sekolah umumnya menggunakan sistem penugasan dan kelas online selama masa pandemi. Sistem ini membutuhkan kontak melalui aplikasi pesan instan (seperti WhatsApp), sementara kelas virtual menggunakan Zoom atau Google Meet. Hal ini berarti siswa membutuhkan akses Internet dan perangkat digital, seperti komputer.

Hal ini menjadi masalah bagi anak-anak pengungsi.

“Semuanya menjadi lebih mahal, tapi tunjangannya sama, sementara kami tidak bisa bekerja di sini.” (AJ, orang tua pengungsi, diwawancarai pada 22 Juni 2022, di Makassar). Meskipun pemerintah Indonesia menyediakan akses Internet gratis untuk setiap siswa Indonesia, hal ini tidak berlaku untuk anak-anak pengungsi. Selain itu, terdapat kendala bahasa antara guru dan murid saat mengkomunikasikan tugas melalui aplikasi pesan yang ada.

3. Keterlibatan Berbagai Pihak yang Berkepentingan

Jika anak-anak pengungsi akan dimasukkan ke sistem sekolah di Indonesia, banyak pihak yang perlu dilibatkan. Mereka termasuk otoritas pemerintah (terutama Kementerian Pendidikan), otoritas pemerintah daerah (provinsi ataupun kota), sekolah dan guru, dinas pendidikan setempat, serta organisasi internasional.

Namun Indonesia masih belum memiliki kerangka kerja peraturan yang komprehensif dan berjangka panjang yang dapat menjadi dasar bagi kemitraan berbagai pemangku kepentingan ini. Termasuk kerja sama dalam mengatasi kendala bahasa, kemampuan finansial yang rendah, dan kurangnya perangkat teknologi yang selama ini menjadi kendala utama bagi orang tua pengungsi sebelum mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah di Indonesia.

4. Motivasi untuk Bersekolah

Penelitian kami juga menemukan bahwa motivasi anak-anak bersekolah merupakan faktor kunci kesuksesan mereka untuk tetap bersekolah hingga selesai. Ada dua faktor penting yang mempengaruhi motivasi anak-anak pengungsi: penerimaan siswa lokal dan kemampuan bahasa guru sekolah. Kedua faktor ini harus ada dalam pembelajaran anak untuk memastikan kestabilan motivasi anak-anak pengungsi.

Di Batam dan Makassar, banyak anak pengungsi yang tidak bersekolah karena orang tua mereka takut anak mereka tidak diterima—karena perbedaan ras, hambatan bahasa, dan ketertinggalan dalam belajar. Mereka juga ragu akan manfaat jangka panjang dari pendidikan dengan kurikulum wajib yang sangat spesifik Indonesia, seperti pendidikan Pancasila dan kesenian daerah yang tidak akan digunakan setelah penempatan di negara ketiga.

Apa yang Diharapkan untuk Selanjutnya

Ke depan, kita perlu membantu sekolah-sekolah untuk menyambut para siswa pengungsi dengan lebih baik dan membuat keluarga pengungsi sadar akan dukungan yang tersedia di sekolah-sekolah ini. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu menyediakan kerangka kerja regulasi yang memungkinkan akses anak-anak pengungsi terhadap layanan pendidikan agar selaras dengan kepentingan nasional dan komitmen global Indonesia terhadap pengungsi.

Kita juga harus tetap mempertahankan kemitraan organisasi-organisasi internasional dengan pemerintah Indonesia untuk menjembatani kesenjangan komunikasi tentang cara mengakses pendidikan selama masa persinggahan mereka di Indonesia.

---

Artikel ini ditulis oleh Rizka Prabaningtyas, Athiqah Nur Alami, Faudza Farhana, dan Tri Nuke Pudjiastuti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 10 Mei 2024

  • 9 Mei 2024

  • 8 Mei 2024

  • 7 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan