Bijak Mengelola Mangrove
Target rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare masih jauh panggang dari api. Apa saja hambatannya?
MENJELANG berakhirnya periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tunggakan janji rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare masih menggantung. Padahal komitmen tersebut sudah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2021. Lewat perpres itu, pemerintah mendorong penguatan kelembagaan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) serta komitmen pengurangan gas rumah kaca melalui ekosistem mangrove.
Berbagai komitmen tersebut pada akhirnya hanya menjadi aturan di atas kertas. Selain implementasinya belum jelas, pemerintah tak mengatur model pengelolaan ekosistem mangrove secara komprehensif. Model ini tak disebutkan, baik dalam Perpres Nomor 92 Tahun 2021 maupun rancangan Perpres Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Luas mangrove yang akan direhabilitasi pun sebetulnya tak jelas dasar perhitungannya. Sebab, jika dilihat dari luas area mangrove yang rusak di seluruh Indonesia, luas tersebut mencakup sepertiganya saja. Langkah restorasi yang dijalankan BRGM pun hingga kini tak berjalan mulus. Setidaknya ada tiga sekat yang menghalangi implementasi komitmen tersebut, yakni kewenangan wilayah perairan, tata kelola mangrove yang beragam, dan koordinasi kontribusi para pihak.
Hambatan dalam hal kewenangan wilayah pesisir baru muncul belakangan. Terutama setelah ketentuan mengenai persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) yang diatur melalui Undang-Undang Cipta Kerja terbit. Dalam ketentuan itu, setiap kegiatan yang memanfaatkan ruang perairan, termasuk penanaman mangrove dan terumbu karang, harus mendapat izin pemanfaatan ruang laut.
Hal ini jelas menghambat aktivitas rehabilitasi yang sifatnya voluntary. Akibatnya, banyak inisiatif rehabilitasi yang dilakukan berbagai pihak harus antre agar mendapat izin. Idealnya, pemerintah membuka data kawasan ekosistem mangrove yang rusak dan membagi data tersebut kepada publik. Dengan demikian, inisiatif rehabilitasi sesuai dengan satuan wilayah penanaman dapat diadopsi langsung oleh para pegiat dengan mudah.
Selain itu, aktivitas pengembalian fungsi ekosistem sebetulnya eksis sebelum aturan tersebut berlaku. Karena itu, kegiatan rehabilitasi lingkungan seharusnya dapat dilakukan tanpa izin lantaran bertujuan mengembalikan ekosistem seperti semula. Rehabilitasi mangrove di lahan yang rusak seharusnya dapat dilakukan tanpa PKKPRL.
Hambatan kedua, tata kelola yang berbeda atas wilayah mangrove. Dalam hal ini, mangrove dikenal sebagai ekosistem pesisir yang tumbuh menjadi kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Akibatnya, tata kelola kawasan ini beragam, yakni sebagai kawasan konservasi yang juga lengket dengan kawasan hutan, kawasan adat yang dikelola masyarakat, serta kawasan sempadan pantai yang dikelola pemerintah daerah.
Keberadaan berbagai lembaga pengelola kawasan mangrove pun menjadi sandungan para pihak dalam program rehabilitasi dan restorasi. Situasi yang paling sulit terjadi ketika konservasi dilakukan terhadap kawasan hutan lindung. Walaupun area mangrove sudah dalam kondisi kritis, bahkan hancur, penataannya harus mendapat izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tak mudah keluar. Itulah mengapa banyak hutan lindung yang rusak parah, tapi tidak bisa langsung direhabilitasi karena harus mendapat persetujuan lebih dulu.
Lain lagi dengan lahan yang dikelola masyarakat. Aktivitas rehabilitasi lahan ini juga sulit dilakukan karena harus melalui proses negosiasi dengan komunitas masyarakat. Negosiasi kerap berjalan alot karena setiap pihak mempunyai tujuan, maksud, dan rencana berbeda. Faktanya, di lapangan pihak donor atau inisiator penanaman kerap kali berjuang sendiri. Padahal seharusnya urusan lahan sudah selesai dan disiapkan BRGM.
Demikian halnya dengan pengelolaan kawasan mangrove oleh daerah, terutama kawasan yang masuk rencana zonasi. Kawasan ini umumnya berada di daerah pasang-surut yang berbentuk kawasan konservasi daerah, sempadan pantai, atau kawasan pulau-pulau kecil. Meski lokasinya berada di wilayah kabupaten, pengelolaannya dilakukan pemerintah provinsi. Akibatnya, terjadi banyak kerumitan untuk pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi. Kerumitan ini dapat dihilangkan jika kewenangan pemerintah kabupaten/kota dikembalikan oleh pemerintah provinsi.
Strategi Pembenahan
Jika kita serius mengejar target rehabilitasi mangrove 600 ribu hektare agar terealisasi pada 2024 demi mendorong target netral karbon, beberapa langkah perlu dilakukan. Langkah itu di antaranya perbaikan kebijakan secara menyeluruh, pemusatan tata kelola dalam satu pintu, penguatan koordinasi kelembagaan, dan penguatan peran para pihak.
Perbaikan kebijakan yang diperlukan adalah menyinkronkan status hutan, pihak pemberi izin, serta penyediaan lokasi dan ruang. Jika kawasan mangrove ingin diurus dengan benar, status kawasan harus sejalan dengan tujuan dan fungsi utamanya. Target netral karbon saja tidak cukup menjadi dasar untuk penetapan status kawasan. Pengelolaan kawasan mangrove harus berada dalam lanskap integrated coastal management. Konsep ini memadukan semua unsur yang melekat pada kawasan, seperti yang selama ini dilakukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K).
Pengelolaan terpadu di kawasan mangrove diperlukan karena ekosistemnya dipengaruhi laut dan darat (intermediate zone). Karena itu, kekhasan kawasan ini seharusnya menjadi perhatian. Pemanfaatan fungsi mangrove sebagai ekosistem penyangga dan pendukung, termasuk ekosistem yang bernilai ekonomi, pun harus dilakukan secara terintegrasi. Tanpa pengelolaan terpadu, kita akan menyaksikan ekosistem mangrove lenyap karena tergerus investasi tiada henti.
Untuk mendukung strategi pertama, kelembagaan BRGM harus diperkuat dan saling mendukung dengan Ditjen PWP3K. Lalu jangan ada lagi status kawasan mangrove yang diubah menjadi area hutan produksi. Fungsi kawasan mangrove harus didorong penuh menjadi area konservasi dengan atribut ekonomi yang tidak menyebabkan kerusakan.
Pemberian izin atas ekonomi produktif, jika ada, harus dibatasi pada aktivitas yang mampu menjaga kelestarian, seperti wisata berbasis ekosistem, silvofishery, pusat riset dan edukasi konservasi ekosistem tropis, serta nursery ground bagi usaha kepiting. Urusan mangrove harus dipisahkan dari urusan kawasan hutan. Sebab, kawasan mangrove merupakan ekosistem yang unik serta berada di daerah pasang-surut di pesisir dan estuari.
Langkah ketiga, pemberian kemudahan bagi pelaku konservasi dalam melakukan aktivitas rehabilitasi dan restorasi. Seharusnya para pihak yang diminta kontribusinya tinggal memanfaatkan informasi dari BRGM sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab penanaman. Maka siapa pun yang berminat berkontribusi dapat langsung bekerja dengan mengacu pada satu peta. Dengan demikian, pemantauan dapat dilakukan dengan mudah dan upaya carbon accounting dapat dilakukan dengan baik.
Jika ingin terus mengejar komitmen rehabilitasi mangrove, kita harus berani keluar dari jerat regulasi. Sebab, jika situasi saat ini dibiarkan, target rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare pun hanya menjadi janji manis yang hasilnya tak akan pernah dapat kita rasakan.